Dea Tri Afrida
Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Andalas
Akhir-akhir
ini istilah Omnibus Law tentu tidak lagi asing di telinga kita, sebab
pemerintah terus menggembar-gemborkan penerapan Omnibus Law yang akan membabat
habis beberapa peraturan perundang-undangan yang dianggap menghambat investasi.
Akankah menjadi negara yang ramah akan investasi benar-benar mampu menopang
perekonomian nasional? Atau justru menimbulkan persoalan-persoalan baru yang
justru menyengsarakan masyarakat dan menguntungkan bagi para investor?
Omnibus Law sendiri lazim diterapkan di negara-negara yang menganut
sistem pemerintahan Anglo Saxon – Common Law, seperti negara Amerika, Kanada,
Suriname, dan Irlandia. Bagi Indonesia yang menganut sistem pemerintahan Eropa
Kontinental – civil Law, istilah Omnibus Law tentu istilah asing. Kata Omnibus
sendiri diambil dari bahasa latin yang berarti “for every thing”. Menurut
Bryan A Garner, dalam Black Law Dictionary Ninth
Edition menyebutkan:
“Omnibus: relating to or dealing with numerous objects or items at once;
including many things or having various purposes”.
Artinya omnibus law berkaitan atau berurusan dengan berbagai
objek atau hal sekaligus, dan memiliki berbagai tujuan. Sekali mendayung dua
tiga pulau terlampaui merupakan pepatah yang paling tepat untuk mendeskripsikan
apa itu Omnibus Law. Intinya, Omnibus Law merupakan metode pembuatan
undang-undang dengan cara membuat satu undang-undang baru yang mengamandemen
beberapa undang-undang sekaligus. Kini Omnibus Law lebih populer dengan istilah
“Undang-undang Sapu Jagat”. Istilah ini disebut-sebut oleh Presiden Jokowi pada
Oktober 2019 silam setelah dilantik menjadi presiden untuk periode kedua. Jokowi
sebut Omnibus Law ini dapat mengatasi masalah obesitas regulasi yang terjadi di
Indonesia yang menghambat investasi. Dilansir dari catatan Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan (PSHK) terdapat 10.180
regulasi yang diterbitkan pada 2014 hingga November 2019. Regulasi itu terdiri
dari 131 undang-undang, 526 peraturan pemerintah, 839 peraturan presiden, dan
8.684 peraturan menteri. Jika melihat keberhasilan Omnibus Law yang diterapkan
di Amerika terkait perpajakan yang mampu tekan defisit dan beberapa kawasan di
Vietnam, tampaknya Omnibus Law dapat menjadi solusi jitu untuk menangani
persoalan ini. NamunY inkonsistensi pemerintah justru tampak pada jumlah
rancangan undang-undang yang masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas)
yang diumumkan pada 17 Desember 2019 lalu . Pada periode 2020-2024, terdapat
248 RUU yang masuk ke dalam Prolegnas dengan 50 RUU menjadi Prolegnas Prioritas.
Dari jumlah RUU yang masuk Prolegnas tersebut, terdapat 12 RUU yang materi
muatannya sebenarnya tidak pantas menjadi undang-undang atau beberapa RUU
seharusnya dapat dimuat dalam satu RUU saja. Misalnya RUU tentang Perguruan
Tinggi dengan RUU Perguruan Tinggi Islam serta RUU Transportasi Darat dengan
RUU Transportasi Daring. Hal ini tentu sudah tidak sejalan dengan tujuan
Omnibus Law untuk merampingkan regulasi. Maka dari itu, ada banyak hal yang
harus dipersiapkan sebelum menerapkan Omnibus Law ini di Indonesia.
Pembentukan
Omnibus Law tentu harus tunduk pada asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diperbarui dengan UU No.
15 Tahun 2019. Salah satu asas yang harus diperhatikan adalah asas keterbukaan,
bahwa untuk memudahkan partisipasi masyarakat, setiap rancangan peraturan harus
dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat. Hal ini secara jelas dinyatakan dalam Pasal 96 ayat (4) UU No. 12
Tahun 2011. Namun nyatanya masih banyak informasi simpang siur terkait muatan
RUU Cilaka Omnibus Law ini, karena sampai saat ini belum ada draf RUU resmi
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah
terkait draf RUU yang beredar dan meresahkan masyarakat terutama kaum buruh
saat ini. Mulai dari masalah sistem pengupahan per jam, penghapusan pesangon, isu
soal tenaga kerja asing (TKA) yang dengan mudah bekerja di Indonesia, jaminan
sosial yang terancam hilang sementara masyarakat sudah terbebani dengan
kenaikan iuran BPJS, serta upaya menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Bayangkan,
sanksi pidana bagi pengusaha saat ini saja belum bisa ditegakkan seutuhnya,
apalagi jika kemudian sanksi pidana ini kemudian dihapuskan. Pemerintah
seharusnya memberi kejelasan kepada masyarakat agar tidak berujung pada
demonstrasi masyarakat yang sebenarnya tidak jelas arahnya karena draf RUU
resmi dari pemerintah belum kunjung keluar bahkan setelah diminta oleh
Ombudsman RI.
Tidak
sampai disitu saja, pembentukan RUU Cilaka ini pun tidak mengundang partisipasi
publik yang bisa-bisa membuat masyarakat terutama buruh atau pekerja justru
jadi cilako (celaka). Tidak hanya
merugikan kaum buruh, jika RUU Cilaka ini kemudian disahkan, RUU ini juga akan
merugikan pelajar atau mahasiswa yang masih duduk di bangku sekolah dan
perguruan tinggi. Betapa tidak, dengan adanya RUU ini pasar tenaga kerja
fleksibel akan terus diperluas yang mengakibatkan calon pekerja tidak akan
memperoleh jaminan pekerjaan dan bahkan sulit bersaing dalam mendapatkan
pekerjaan dengan tenaga kerja asing (TKA) yang sudah mulai menjamur di
Indonesia. Padahal hak-hak dalam hubungan kerja
sudah dijamin dalam konstitusi kita yaitu pada Pasal
28D ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebut setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Belum lagi jika kita lihat komposisi satgas Omnibus
Law yang terdiri dari 127 anggota ini didominasi oleh para pengusaha,
perwakilan pemerintah daerah, dan para akademisi. Padahal seharusnya pemerintah
melibatkan para buruh terkait pembuatan RUU Cilaka ini. Jangan sampai RUU
Cilaka ini hanya mengakomodir kepentingan pengusaha semata.
Rancangan
undang-undang Cipta Lapangan Kerja ini sendiri akan menyasar 1239 pasal dan 79
undang-undang. Ini tentu bukan hal yang mudah mengingat bahwa Omnibus Law ini
sendiri terdiri dari RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Perpajakan, dan RUU Usaha
Mikro Kecil Menengah (UMKM). Pembuatannya Omnibus Law ini tidak transparan dan
cenderung tergesa. Presiden Jokowi sendiri menginginkan agar RUU ini dapat
selesai dalam kurun waktu 100 hari.
Masyarakat tentu berharap agar pemerintah dapat bekerja maksimal. Meski Omnibus
Law dapat menghidupkan iklim investasi yang baik guna menopang perekonomian
nasional, tetapi muatan dan bagaimana penerapan dari undang-undang ini di
kemudian hari tentu memerlukan banyak pertimbangan dan masukan dari berbagai
pihak terutama masyarakat itu sendiri. Hukum itu ada untuk memberikan
perlindungan pada masyarakat bukan membawa cilako (celaka) bagi masyarakat,
karena sesungguhnya Le salut du people est la supreme loi (hukum
tertinggi adalah perlindungan masyarakat).
0 Komentar