KAJIAN ISU STRATEGIS : POLEMIK REVISI UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Pendahuluan

            Keberadaan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali jadi sorotan publik. Presiden Joko Widodo membuka wacana untuk merevisi kembali regulasi tersebut. Jokowi menangkap kegelisahan publik yang menilai UU ITE tak memberikan rasa keadilan.

            Penyusunan UU ITE dimulai di era Presiden Megawati, tepatnya pada 2003. Kala itu, dua buah RUU yakni Tindak Pidana Teknologi Informasi dan e-commerce alias perdagangan elektronik dijadikan satu naskah RUU dan diserahkan ke DPR. Pembahasan UU ITE dibahas pada 2005 hingga 2007, dan disahkan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2008.

            UU ITE memiliki beberapa bagian. Bagian pertama dari UU ITE terkait e-commerce mengatur tentang market place, nama domain, tanda tangan elektronik baik yang digital (mengandung algoritma private dan public key infrastructure) maupun non digital (scan tanda tangan, password, pin, dan sidik jari). Bagian kedua terkait dengan tindak pidana teknologi informasi memuat banyak sub bagian. Sub bagian satu adalah ilegal konten seperti informasi SARA, ujaran kebencian, informasi bohong/hoaks, penipuan online, pornografi, judi online, dan pencemaran nama baik yang tertuang pada Pasal 27, 28, dan 29. Sub bagian dua adalah akses ilegal seperti hacking di Pasal 30, sub bagian tiga mengenai illegal interception di Pasal 31 seperti penyadapan, dan sub bagian empat mengenai data interference seperti gangguan atau perusakan sistem secara ilegal yang tertuang pada Pasal 32, 33, 34, dan 35.

            UU ITE telah mengalami satu kali revisi pada Agustus 2016 di era Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara. Dari 54 pasal ada 7 ketentuan yang direvisi, diantaranya penegasan soal delik pencemaran nama baik adalah delik aduan, dimana pada ketentuan sebelumnya merupakan delik umum. Kala itu, banyak kasus UU ITE yang ramai jadi perbincangan publik dan melibatkan figur publik. Ada kasus mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang; pengusaha, Hary Tanoesoedibjo; hingga Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar.

            Sayangnya, menurut Ketua Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) M Arsyad, saat itu revisi tak menyentuh substansi UU yang justru bermasalah. revisinya hanya fokus ke Pasal 27 ayat 3, yang di mana menurunkan ancaman hukuman dari enam tahun jadi empat tahun.

            Jika dirincikan, secara umum terdapat sejumlah pasal bermasalah, dimulai dari Pasal 27 hingga Pasal 29. Pasal-pasal di sana dianggap karet dan kerap dimanfaatkan penguasa sebagai alat pembungkam kritik.

Pasal 27

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Pasal 28

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal 29

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Pengertian Informasidan Transaksi Elektronik (ITE)

            Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, ‘informasi’ adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik kata, fakta, maupun penjelasan yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi dan komunikasi secara elektronik maupun non-elektronik.[1] Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik yang tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronik data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan, Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Adapun UU ITE adalah undang-undang yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yuridiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia, maupun diluar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.[2]

 

Peran Hukum dalam Era Percepatan Informasi

Pada era digital saat ini, informasi bergerak sangat cepat dengan media penyebaran informasi yang sangat beragam dan mudah digunakan, maka pada akhirnya terjadi fenomena penyebaran informasi oleh masyarakat secara masif. Percepatan penyebaran informasi adalah hal yang baik di satu sisi, karena sebuah informasi pada hakikatnya merupakan pondasi dari terbangunnya pengetahuan sehingga pada akhirnya juga mempercepat perkembangan peradaban manusia. Namun disisi lain, peredaran informasi justru merugikan jika informasi yang dibagikan tidak mengandung kebenaran. Informasi yang bohong tentu saja merupakan suatu hal yang merugikan, apalagi jika ditambah dengan adanya faktor peredaran atau perluasan berita yang instan daam perkembangan media teknologi informasi.

Atas hal tersebut, hukum ada agar mampu memaksa setiap orang untuk berperilaku secara bertanggungjawab. Sifat hukum merupakan suatu unsur kewajiban dimana setiap orang harus tunduk kepadanya.[3]

Pada era teknologi informasi saat ini, perkembangan kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, dapat menyebabkan persinggungan hak antar individu secaralebih kompleks. Untuk itu perilaku yang bertanggungjawab adalah sebuah sebuah kewajiban yang juga berlaku tidak terkecuali dalam aktifitas penggunaan teknologikhususnya dalam penyebaran informasi. Salah satu bentuk tanggungjawab tersebut misalnya melalui chek and re-check sebelum sebuah informasi itu dianggap benar dan dapat diedarkan. Hal itu dimaksudkan agar aktifitas penggunaan teknologi tidak menyebabkan kerugian pihak lain.

John Stuart Mill mengungkapkan teori tentang Harm Principle, yaitu suatu teori yang menyatakan bahwa kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kebebasan orang lain. Jadi seseorang bebas melakukan apapun yang ia inginkan dengan batasan tidak menyebabkan kerugian/menyakiti orang lain. Sejatinya, konsep tersebut menjelaskan bahwa suatu kebebasan tidak ada yang sifatnya absolut, karena pastilah kebebasan manusia tetap dibatasi dengan kebebasan orang lain.[4]

Hal tersebut menguatkan bahwa meskipun zaman telah mengalami perubahan dengan pesatnya teknologi informasi dan elektronik, namun setiap orang tidak boleh melupakan kewajiban hukumnya untuk menggunakan hak dengan selalu menghormati hak orang lain. Untuk itu tantangan selanjutnya adalah bagaimana hukum tetap mampu berperan dalam menjaga keseimbangan antar hak kekebasan masyarakat ini.

Menurut teori law as a tool of social engineering yang dikemukakan oleh Roscoe Pound, hukum sebagai alat rekayasa dalam masyarakat diharapkan dapat berperan mengendalikan nilai-nilai sosial. Teori ini juga mengungkapkan bahwa hukum dan perubahan masyarakat adalah hal yang saling berkaitan. Perubahan masyarakat dapat mempengaruhi hukum, dan sebaliknya, hukum dapat pula mempengaruhi perilaku masyarakat.[5]

Hukum hendaknya harus turut berakslerasi mengikuti perkembangan kehidupan manusia, agar tetap mampu menjaga penggunaan hak kebebasan masyarakat senantiasa disertai kedewasaan dan tidak melanggar hak asasi orang lain. Maka adalah sesuatu yang wajar bila pengaturan hukum yang sesuai dengan perubahan masyarakat diperlukan sebagai wujud respon hukum sesuai dengan teori diatas.

UU ITE sebagai Respon Perubahan Masyarakat

Salah satu pertimbangan dilahirkannya UU ITE sebagaimana termuat dalam konsiderannya, adalah karena perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sebagaimana banyak ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain lain, sifatnya membatasi kebebasan seseorang agar tidak melanggar kebebasan pihak lain sesuai prinsip Harm Principle.

Pasal 27 UU ITE ayat (3) menyebutkan tentang larangan yang berkaitan dengan penyebaran informasi yaitu sebagai berikut:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Ketentuan tersebut diatas memberikan norma bahwa seseorang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya “informasi” oleh khalayak (termasuk didalamnya yang memuat tentang konten-konten ekpresif, seni, dokumentasi pribadi, dokumen terbatas/rahasia) yang melanggar kesusilaan, muatan perjudian, muatan penghinaandan/atau pencemaran nama baik, serta muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Penilaian bahwa pasal tersebut berpotensi membungkam kebebasan berpendapat, ada pada anggapan bahwa masih bias dan kurang konritnya rumusan “penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” dalam pasal tersebut sehingga rawan untuk disalahgunakan.

Ruang Gerak Warga Menyempit

Selain indeks demokrasi yang anjlok, situasi di 2021 dinilai oleh banyak pengamat jauh lebih buruk dari 2016. Laporan Freedom House 2020 mencatat bahwa skor Indonesia kembali turun menjadi 61 dan Indonesia terus berjuang dengan tantangan termasuk korupsi sistemik, diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas, ketegangan separatis di wilayah Papua, dan penggunaan politik yang dipolitisasi, problem hukum pencemaran nama baik dan penistaan ​​agama.

Menyempitnya ruang gerak masyarakat sipil tampak dari banyaknya penangkapan dan kekerasan terhadap para penolak kebijakan pemerintah seperti UU Revisi KPK dan UU Cipta Kerja, beroperasinya buzzer (pendengung) untuk mengganggu dan paid-influencer untuk “mengendorse” kebijakan pemerintah yang kontroversial, serta meningkatnya insiden serangan digital terhadap aktivis yang bersuara vokal, membuat Larry Diamond dalam “Democratic regression in comparative perspective: scope, methods, and causes” (2020), menilai Indonesia termasuk dalam kategori negara “demokrasi illiberal” sama seperti Meksiko, Kolumbia, dan Thailand (sebelum kudeta 2014). Negara-negara dalam kategori ini berisiko menjadi otoriter dan bahkan rentan terhadap kegagalan demokrasi.

Perbedaan lain dari kondisi 2016 adalah lonjakan jumlah warganet yang dihukum dengan UU ITE. Norma pada pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, norma pada pasal 28 ayat (2) tentang berita bohong atau informasi yang membuat rasa permusuhan dan kebencian terhadap suku, agama ras dan antargolongan, dan norma pasal pasal 27 ayat (1) tentang kesusilaan merupakan tiga pasal yang paling banyak terjadi.

Dari data kasus 2008-2020 yang dikumpulkan Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet menunjukkan aktivis, jurnalis, akademisi kini menjadi pihak yang lebih sering dilaporkan, meskipun mayoritas yang dilaporkan masih warga kebanyakan. 70% dari para pelapor UU ITE adalah kalangan pejabat publik (38%), kalangan profesi (27%) dan kalangan pengusaha (5%), sedang sisanya adalah sesama warga (29%) dan tidak jelas latarnya (1%).

Dari pemantauan kasus-kasus UU ITE di lembaga peradilan oleh Koalisi Masyarakat Sipil menunjukkan dari tahun 2016-2020 terdapat 768 perkara terkait pasal bermasalah UU ITE. Bila sebelumnya kebanyakan kasus diputus dengan pidana percobaan ringan, pasca revisi UU ITE 2016 kasus-kasus UU ITE justru menunjukkan tingkat penghukuman hingga 96,8% (744 perkara) dan tingkat pemenjaraan mencapai 88% (676 perkara) dengan putusan penjara 1-5 tahun, sedang putusan pidana percobaan hanya 9% (68 perkara).

Revisi UU ITE 2016 telah gagal membendung kriminalisasi dan mencegah ketidakadilan. Fakta memerlihatkan bahwa sekalipun ancaman pidana telah diturunkan menjadi 4 tahun dan denda 750 juta rupiah dan disertai penjelasan pada pasal 27 ayat 3 UU ITE harus mengikutsertakan pasal 310-311 KUHP agar tidak terjadi penafsiran keliru atas pasal defamasi, ternyata regulasi ini tetap gagal dalam melindungi orang yang seharusnya dilindungi, seperti perempuan korban KBGO, whistleblower kasus korupsi, akademisi dan jurnalis.

 

Peluang Revisi UU ITE ini perlu dimaknai sebagai kesempatan merevisi total UU ITE dari 9 pasal bermasalah

Sembilan pasal bermasalah ini terbagi atas tiga cluster. Cluster kejahatan siber di Pasal 27 Ayat (1) tentang kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) tentang defamasi, Pasal 28 ayat.(2) tentang permusuhan dan kebencian, Pasal 27 Ayat (4) dan Pasal 29 tentang ancaman. Selain rumusan pasal yang tidak rigid akan menimbulkan multi-tafsir, pasal-pasal ini juga memiliki problem yuridis karena menimbulkan duplikasi aturan sehingga memunculkan ketidakpastian hukum. Oleh karenanya, pasal-pasal di cluster ini sebaiknya dihapuskan. Sekalipun dihapuskan, tindak pidana di ranah siber masih dapat dihukum dengan regulasi dan aturan hukum yang telah berlaku seperti KUHP, UU Pornografi, UU Perfilman, UU Penghapusan Diskriminasi, sesuai dengan arahan PBB.

Lebih lanjut, yang perlu direvisi berikutnya adalah cluster ancaman pidana, yaitu pasal 36 sebagai pemberat hukuman atas tindak pidana Pasal 27 sampai Pasal 29 UU ITE. Rumusan pasal ini perlu dibatasi secara tegas, hanya dalam konteks hubungan konsumen dengan produsen. Selain itu, Pasal 45 Ayat (3) yang mengatur tentang ancaman pidana penjara bagi tindakan defamasi sebaiknya dihapus atau diubah pengaturannya mengikuti hukum perdata sebagaimana yang kini tengah menjadi tren hukum di masa modern.

Cluster ketiga adalah pasal-pasal yang rentang disalahgunakan. Pasal 26 Ayat (3) tentang penghapusan informasi berpotensi dapat digunakan untuk melakukan sensor informasi alih-alih menjadi pengakuan atas hak privasi warga. Sedang pasal 40 Ayat (2a) dan (2b) tentang kewenangan pemerintah dan pemutusan akses berpotensi melahirkan perbuatan yang sewenang-wenang dan pemerintah dapat memutus akses tanpa pengawasan. Tanpa melakukan revisi menyeluruh, sulit membayangkan UU ITE akan membaik.

Kesimpulan

Kebutuhan akan revisi UU ITE sepatutnya merupakan suatu hal yang memang dianggap perlu. Banyaknya miskonsepsi terhadap isi pasal-pasal UU ITE yang selama ini masih banyak dianggap sebagai pasal karet menjadikan undang-undang ini kerap disalahgunakan untuk membungkan pendapat orang lain. UU ITE sebagai satu-satunya undang-undang yang hadir untuk melindungi berbagai kegiatan yang dilakukan melalui teknologi informasi sudah sepatutnya memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada rakyat Indonesia. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan :

UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Buku :

Munir Fuady (2013), Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, Jakarta: Prenadamedia Grup.

Jurnal :

Nur Rahmawati, Muslichatun, M. Marizal, 2021, Kebebasan Berpendapat Terhadap Pemerintah Melalui Media Sosial Dalam Perspektif UU ITE, Vol. 3, No. 1

Website :

Suara Kebebasan, (2015), Harm Principle dan Ujaran Kebencian, https://suarakebebasan.org/id/opini/item/530-harm-principle-dan-ujaran-kebencian , , Diakses Pada 28 April 2021

Voi, Sejarah UU ITE: Megawati Ajukan Draf, Disahkan SBY, Berlanjut Sampai Era Jokowi, https://voi.id/memori/33702/sejarah-uu-ite-megawati-ajukan-draf-disahkan-sby-berlanjut-sampai-era-jokowi, Diakses Pada 28 April 2021

Damar Juniarto, Revisi UU ITE Total Sebagai Solusi. https://id.safenet.or.id/2021/03/revisi-uu-ite-total-sebagai-solusi/ Diakses Pada 28 April 2021



[1] UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

[2] Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

[3] Munir Fuady (2013), Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, Jakarta: Prenadamedia Grup, hlm. 105

[4] Suara Kebebasan, (2015), Harm Principle dan Ujaran Kebencian, Tersedia pada: https://suarakebebasan.org/id/opini/item/530-harm-principle-dan-ujaran-kebencian

[5] Munir Fuady (2013), Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, Jakarta: Prenadamedia Grup, hlm. 251

Posting Komentar

0 Komentar