KAJIAN ISU STRATEGIS : PEMBERLAKUAN KEBIRI KIMIA TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL ANAK

 Pendahuluan

            Masalah perlindungan hukum dan hak-hak bagi anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia dari tindakan kekerasan seksual. Dalam Konvensi Hak Anak (KHA), hak anakdikelompokkan dalam 4 (empat) kategori, yaitu: hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), hak terhadap perlindungan (protection rights), hak untuk tumbuh kembang (development rights), hak untuk berpartisipasi (participation rights).  Agar perlindungan hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

            Kekerasan seksual terhadap anak merupakan salah satu ancaman yang cukup signifikan dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Kekerasan (Violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kasus kekerasan seksual yang berupa perkosaan terhadap anak, perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, mengingat usia anak yang relatif sangat muda, kebanyakan dari anak yang menjadi korban perkosaan belum mengetahui atau mengerti terhadap perbuatan yang menimpa dirinya, bahkan tanpa disadari mereka telah menjadi korban dari suatu tindak pidana pemerkosaan, karena anak tidak menyadari dan tidak mengerti mengenai arti perbuatan yang dilakukan oleh pelaku perkosaan terhadap mereka.

            Tingginya jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak, mendorong lembaga pemerhati anak seperti Komnas Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, mengusulkan adanya langkah-langkah luar biasa dalam penegakan hukum supaya ada efek jera terhadap pelaku. Proses hukum dan


 hukuman berat memang layak dikenakan kepada pelaku kekerasan terhadap anak.             Usulan pemberatan hukuman yang diusulkan oleh Komnas Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah penjatuhan sanksi kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, karena jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin tinggi.

Berikut grafik kasus kekerasan seksual terhadap anak di indonesia tahun 2016-2019

Sumber : LPSK dikutip dari Lokadata.id

            Atas dasar itu pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan yang kemdian ditetapka menjadi UU Nomor 17 tahun 2016. Sanksi kebiri kimia yang diatur dalam dalam Pasal 81 dan Pasal 81A Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, masih menuai pro dan kontra ditengah masyarakat. Pihak yang mendukung pemberlakuan hukuman tambahan kebiri secara kimia menyetujui hal ini sebagai langkah pencegahan dan sebagai efek jera bagi pelaku yang mengulangi perbuatannya. Sedangkan pihak yang menolak pemberlakuan hukuman kebiri secara kimia dikarenakan Indonesia sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi ICCPR dan CAT seharusnya tidak menerapkan hukuman yang bersifat mengamputasi dan membuat disfungsi organ manusia, dalam hal ini melanggar pemenuhan hak dasar manusia yakni hak untuk tidak disiksa dan hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabatnya sebagai manusia sebagaimana telah dijamin oleh UUD NRI 1945. Selain itu, pelaksanaan kebiri secara kimiawi juga harus memperhatikan aspek biaya tinggi dan adanya persetujuan (informed consent) dari pelaku kekerasan seksual atas tindakan kebiri kimiawi yang dilakukan padanya.

Sejarah Praktek Kebiri

            Sepanjang sejarah peradaban manusia, kebiri dilakukan dengan berbagai tujuan. Victor T Cheney dalam “A Brief History of Castration 2nd Edition”, 2006, menyatakan, kebiri sudah dilakukan di Mediterania Timur pada 8.000-9.000 tahun lalu. Tujuannya, agar ternak betina lebih banyak dibandingkan yang jantan. Tak ada catatan pasti kapan kebiri dilakukan pada manusia. Namun, di Mesir, pada 2.600 sebelum Masehi (SM), budak yang dikebiri berharga lebih tinggi karena dianggap lebih rajin dan patuh kepada majikannya. Tindakan serupa ditemukan pada budak di Yunani sekitar 500 SM, penjaga harem raja di Persia, serta bendahara dan sejumlah pejabat kekaisaran Tiongkok.

            Di era modern, tujuan pengebirian lebih beragam, mulai dari usaha mendapat suara soprano pada anak laki-laki di Italia hingga upaya menghindarkan perbuatan tak bermoral di beberapa agama. Kebiri juga dilakukan untuk mengurangi orang dengan gangguan fisik dan mental serta populasi kelompok tertentu. Secara historis pengebirian kimia telah dipaksakan pada berbagai kelompok seperti homoseksual, transgender, pemerkosa dan pedofil sering dengan imbalan pengurangan hukuman.

            Kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan serius yang semakin meningkat dari waktu ke waktu dan secara signifikan mengancam dan membahayakan jiwa, anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta menganggu rasa kenyamanan, ketentraman, keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga pemerintah mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Sanksi Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual

            Sanksi kebiri sebagai salah satu bentuk hukuman (punishment) atau tindakan (treatment) telah diterapkan pada beberapa negara termasuk negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Berdasarkan World Rape Statistic atau statistik dunia tentang perkosaan di berbagai negara di dunia saat ini ada 20 negara yang memberlakukan hukuman kebiri yakni 9 (sembilan) negara-negara Eropa dan 9 (sembilan) negara-negara bagian Amerika, satu negara Amerika Latin dan satu negara di Asia. Kesembilan Negara Eropa tersebut adalah Inggris, Polandia, Rusia, Jerman, Republik Ceko, Denmark, Swedia dan Spanyol. Sedangkan Sembilan Negara bagian Amerika adalah California, Florida, Georgia, Iowa, Lousiana, Montana, Oregon, Texas dan Wisconsin. Satu Negara Amerika Latin yang memberlakukan hukuman kebiri adalah Agentina dan satu Negara di Asia Tenggara adalah Korea Selatan. Beberapa negara Uni Eropa telah memasukan pasal kebiri dalam hukum pidana yang diberikan dalam bentuk suntikan kimiawi (chemical castration) kepada pelaku kejahatan seksual. Norwegia adalah satu-satunya negara Uni Eropa yang secara terang-terangan menyatakan di dalam hukum pidananya pada tahun 2010 bahwa kebiri merupakan salah satu hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Polandia hanya menerapkan chemical castration sebagai bagian dari treatmentuntuk paedofilia. Australia juga sudah memasukkan dalam hukum pidana untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan pelaku perkosaan. Rusia yang sudah menerima chemical castration dalam hukum pidana mereka untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang berusia 12 (dua belas) tahun atau kurang dari 12 (dua belas) tahun. Sementara itu Turki sedang mempertimbangkan untuk memasukkan suntikan kebiri kepada pelaku perkosaan. India dan Taiwan memberikan suntikan kebiri ini khusus pada pedofilia dan residivis pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

            Metode Penerapan sanksi kebiri dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu: (1) sanksi kebiri dilakukan melalui operasi bedah (surgical castration) yang mengintervensi atau memotong bagian testis pelaku untuk menghilangkan pertumbuhan hormon testosteron yang dianggap memicu munculnya dorongan seksual; dan (2) sanksi kebiri dilakukan melalui suntikan kimia (chemical castration), yaitu penyuntikan secara bertahap cairan kimia anti-androgen yang di Amerika dikenal dengan MPA (medroxyprogesterone acetate) dan di Inggris dan Canada dikenal dengan CPA (cyproterone acetate). Di Indonesia berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2016, sanksi tindakan kebiri dilakukan melalui suntikan kimia, yang teknis pelaksanaannya diatur dalam PP nomor 70 Tahun 2020.

Tantangan Kebiri Kimia di Indonesia

            Laporan World Rape Statistic Tahun 2012 menunjukkan bahwa hukuman mati atau hukuman kebiri bagi pelaku perkosaan di berbagai negara di dunia tidak efektif menimbulkan efek jera. Tidak ada bukti yang menjamin bahwa penggunaan kebiri kimia telah mengurangi jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Seiring dengan peradaban HAM, kebiri kimia diterapkan hanya sebagai bentuk pengobatan medis yang bersifat sukarela dan harus disetujui pelaku tindakan kekerasan seksual, dimana pelaku bersedia untuk melakukan hal tersebut berdasarkan analisis dan rekomendasi para ahli medis. Hal inilah yang saat ini masih diterapkan di Inggris, Jerman, Australia, Denmark, dan Swedia.

            Penerapan kebiri kimia sebagai penghukuman adalah pelanggaran HAM. Penolakan dari organisasi-organisasi HAM pada dasarnya bersandar pada beberapa alasan yaitu; Pertama, hukuman kebiri tidak dibenarkan dalam sistem hukum pidana nasional atau tujuan pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum Indonesia. Kedua, hukuman kebiri melanggar Hak Asasi Manusia sebagaimana tertuang di berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi dalam hukum nasional kita diantaranya Kovenan Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipil/ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan juga Konvensi Hak Anak (CRC), penghukuman badan, dalam bentuk apapun harus dimaknai sebagai bentuk penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat manusia, terlebih apabila ditujukan untuk pembalasan dengan alasan utama efek jera yang diragukan secara ilmiah. Dan ketiga, segala bentuk kekerasan pada anak, termasuk kekerasan seksual, pada dasarnya merupakan manifestasi atau operasionalisasi hasrat menguasai, mengontrol dan mendominasi terhadap anak, dengan demikian, hukum kebiri tidak menyasar akar permasalahan kekerasan terhadap anak. Karena itu, organisasi-organisasi HAM tersebut meminta agar pemerintah berfokus pada kepentingan anak secara komprehensif, dalam hal ini sebagai korban, negara harus memastikan korban mendapatkan perlindungan serta akses pada pemulihan fisik dan mental, maupun tindakan lainnya yang menitikberatkan pada kepentingan anak korban.

            Menakar efektivitas tindakan intervensi dengan memberikan suntikan kimiawi medroxyprogesterone acetate (MPA) (Amerika Serikat) atau Cyproterone acetate (CPA) (Eropa, misalnya Androcur) terhadap pelaku kejahatan seksual tidak bisa serta-merta digeneralisasi dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Faktor-faktor yang berkaitan dengan metodologi dari satu riset tertentu perlu diperhatikan sedemikian ketatnya sebelum menyimpulkan satu tindakan tertentu efektif menurunkan tingkat residivitas pelaku kejahatan seksual. Kastrasi memang dapat menurunkan dorongan seksual pada pelaku kejahatan seksual, namun demikian jika dilakukan pengebirian dengan penghilangan testis, maka akan menghilangkan organ secara permanen. Di samping itu walaupun dorongan seksualnya akan turun secara drastis masih dapat kembali apabila suntikan kimia dihentikan, karena masih adanya faktor-faktor psikologis yang dapat menimbulkan kembali dorongan seksual. Pengebirian juga dapat menimbulkan kemungkinan pelaku menjadi lebih agresif karena faktor psikologis dan sosial, perasaan negatif, seperti sakit hati, marah, dan dendam, sudah terbentuk sejak pelaku merasakan viktimisasi pada dirinya. Walaupun secara medis memberi dampak penurunan dorongan seksual, namun harus dikaji secara mendalam, dampak sosial dan psikologis pada pelaku yang dikebiri sehingga diperlukan pendampingan psikologis dan sosial terhadap pelaku selama dan setelah menjalani masa hukumannya. Kesulitan menemukan faktor pencetus dan treatment yang tepat terhadap pelaku kejahatan seksual adalah kesulitan metododologis yang harus menerapkan desain eksperimental. Sampel hanya terbatas pada pelaku yang sedang menjalani hukuman. Guna memberlakukan suatu hukuman pemberatan untuk pelaku kejahatan seksual dan sekaligus memberikan perlindungan masyarakat, tidak boleh hanya didasari oleh pertimbangan emosional, common sense, pencitraan, melayani tuntutan publik yang lebih banyak merupakan pertimbangan emosional. Bagi ilmuwan, praktisi tenaga kesehatan, dan aparatur penegak hukum setiap pertimbangan atau rekomendasi haruslah didasarkan pertimbangan ilmiah yang ditandai adanya kesesuaian antara gagasan dengan fakta dan sekaligus merupakan pelaksanaan amanah konsitusi yakni melindungi dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

            Disahkannya  UU  17 Tahun 2016  yang  bermula  dari  diterbitkannya  PERPU  1 Tahun 2016  dilatarbelakangi oleh meningkatnya  angka  kekerasan  seksual  terhadap  anak  secara  signifikan dan dikhawatirkan membahayakan jiwa dan tumbuh kembang anak, selain  itu  juga  mengganggu  keamanan  dan  ketertiban  masyarakat.  Sanksi  pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Terkait penerapan tindakan kebiri kimia dalam UU Nomor 17 Tahun 2016 muncul pendapat berbeda dinyatakan oleh para tenaga medis. Menurut Ketua Bagian Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Wimpie Pangkahila, pada era modern, kebiri memang tak lagi dilakukan dengan membuang testis, tetapi secara kimia. Prosesnya bisa melalui pemberian pil ataupun suntikan hormon anti-androgen. Kebiri secara kimiawi dapat merusak bahkan menggerogoti fungsi organ, yakni pengecilan fungsi otot, osteoporosis, mengurangi jumlah sel darah merah, dan mengganggu fungsi organ kognitif lainnya. Menurutnya, sejauh ini tidak ada data yang mendukung apabila penerapan kebiri secara kimiawi bisa memberi efek jera lebih dari hukuman yang ada. Menurut Dr. Arry Rodjani, Sp, seorang urolog, biaya untuk menyediakan suntikan kebiri kimiawi sebesar Rp. 700.000,00 – Rp. 1.000.000,00 untuk sekali pemakaian, dan efek suntikannya dapat bertahan dari 1 – 3 bulan. Menurutnya, biaya tersebut mahal dan tidak efektif. Selain itu dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga menyatakan penolakannya menjadi eksekutor hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual kepada anak. Hal ini menurut IDI dikarenakan pelaksanaan hukuman kebiri oleh dokter dianggap melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.         Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan juga diatur mengenai larangan penerapan hukuman yang melanggar hak asasi manusia. Seperti yang diatur pada Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia) menyatakan:

“Each State Party shall undertake to prevent in any territory under its jurisdiction other acts of cruel, inhuman or degrading treatment or punishment which do not amount to torture24 as defined in article I, when such acts are committed by or at the instigation of or with the consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official capacity. In particular, the obligations contained in articles 10, 11, 12 and 13 shall apply with the substitution for references to torture of references to other forms of cruel, inhuman or degrading treatment or punishment”.

            Senada dengan aturan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998, Pasal 7 dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), menyatakan: “Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.” Indonesia selaku negara yang telah meratifikasi ICCPR dan CAT, memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi ketentuan larangan untuk tindakan penyiksaan, perlakuan yang tidak manusiawi, serta segala bentuk perlakuan dan sanksi yang merendahkan martabat manusia. Apabila Indonesia menerapkan sanksi kebiri secara kimiawi dan tanpa adanya persetujuan yang diberikan secara bebas oleh pelaku kejahatan kekerasan seksual maka hal demikian dianggap telah melanggar kewajiban yang tertera dalam dokumen ICCPR dan CAT. Kebiri secara kimiawi juga telah melanggar hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam UUD NRI 1945 terutama Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28I ayat (1)

            Selain itu, hukuman kebiri juga melanggar Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan:

“setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”

Kesimpulan

            Tiap tahunnya Kejahatan kekerasan seksual di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual yang diatur dalam KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak dianggap belum efektif sehingga Pemerintah mengesahkan PERPU No 1/2016 menjadi UU 17/2016 yang menerapkan pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan kekerasan seksual yang salah satunya memberlakukan kebiri secara kimiawi. Penerapan kebiri secara kimiawi menimbulkan pro kontra di masyarakat terkait efektif atau tidaknya mengurangi kekerasan seksual dan pemberlakuannya yang dianggap melanggar hak asasi manusia sebagaimana termuat dalam UUD 1945, Konvensi Internasional ICCPR dan CAT yang mana telah diratifikasi oleh Indonesia, dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Namun, terlepas dari pro kontra tersebut, Pemerintah perlu menyiapkan sumber daya manusia, sarana prasarana, dan peraturan pelaksananya agar aturan ini dapat diberlakukan secara efektif, efisien, dan tepat sasaran guna mengurangi peningkatan jumlah kekerasan seksual dan mencegah kejahatan yang berulang.

            Pemberlakuan hukuman kebiri kimia ini dianggap sebagai jawaban atas tingginya tuntutan publik atas penghukuman yang berat bagi para pelakunya. Padahal, nyata bahwa aturan hukum pidana dan perlindungan anak yang ada selama ini tidak pernah diberlakukan secara optimal. Pendekatan hukum bukanlah satu-satunya cara untuk menghentikan tindakan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Pemberlakuan suatu kebijakan haruslah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sosiologis masyarakat mencakup upaya-upaya pembenahan sistem peradilan, memperbaiki cara pandang partriarki dan merasa dominan atas perempuan dan anak-anak serta kebijakan keberpihakan bagi korban berupa pelayanan dan pemulihan yang efektif. Selain itu perlu diperlukan langkah pencegahan berubapa pendidikan sex (Sex Education) kepada anak yang selama ini masih di anggap tabu dalam masyarakat.

            Hukum kebiri kimia tentu tidak bisa jadi solusi tunggal untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual. Perlu ada kesadaran dan kerjasama masyarakat dan pemerintah untuk menemukan akar permasalahan dan penanganan yang tepat untuk menangani kejahatan kekerasan seksual.

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Qur’aini, N. Mardiya. 2017. Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual. Jurnal Konstitusi. 14(1) : 213-230

Ngurah, N Suwarnatha. 2018. Merekontruksi Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial dalam Membangun Karakter Bangsa. Proseding Senahis 2 : 06-12

Marpaung, Leden, 1996, Kejahatan Terhadap Kesusilaan, Jakarta: Sinar Grafika.

Nawawi, Barda Arif, 2005. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti.

Andi Hamzah dan Sumangilepu, 1983, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Moerti Hadiati Soeroso, 2011, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, Jakarta : Sinar Grafika.

Mohammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hariadi,Sri Santuti, 2000, “Tindak Perkosaan Terhadap Anak Perempuan” dalamAnak Rawan: Bunga Rampai Tentang Anak-Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus.Surabaya: Lutfansah Mediatama

Moleong, Lexy J, 2006, Metodologi Penulisan Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Florida State Law Review Number 25, Florida’s 1997 Chemical Castration Law: A Return to the Dark Ages.

Unicef, Effective Strategies to Combat Sexual Violence Against Women and Children: A Background Analysis.

Posting Komentar

0 Komentar