KAJIAN ISU STRATEGIS : POLEMIK PENGAKTIFAN PAM SWAKARSA


Pendahuluan

Wacana penghidupan kembali pasukan pengamanan masyarakat atau yang sering disebut Pam Swakarsa kembali bergulir ketika Kapolri Listyo Sigit prabowo memasukkan gagasan Pam Swakarsa ke dalam salah satu program prioritas kerja kepolisian Negara Republik Indonesia. Tak pelak hal tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebab Pam Swakarsa sendiri sebenarnya sudah ada sejak tahun 1998 yang lalu. Di mana pada saat itu Pam Swakarsa dibentuk  untuk  membendung aksi mahasiswa dan masyarakat yang menolak  adanya sidang Sidang Istimewa MPR. Tidak hanya itu, Pam Swakarsa juga disalahgunakan oleh orang-orang dari orde baru untuk menjadi alat kepentingan partisan dari pemerintah yang berkuasa. Hal itulah yang menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran dari berbagai pihak jika nantinya Pam Swakarsa kembali diaktifkan di Indonesia.

            Penggunaan istilah “Pam Swakarsa” cenderung memberikan kesan traumatik kepada masyarakat mengingat peristiwa pada tahun 1998 saat Pam Swakarsa merupakan sekelompok masyarakat yang dipersenjatai oleh angkatan bersenjata kala itu untuk menghadapi mahasiswa yang melakukan demonstrasi seputar peristiwa sidang istimewa MPR tahun 1998. Sampai saat ini, tidak ada kejelasan baik mengenai pertanggungjawaban atas peristiwa tersebut maupun perihal legalitas Pam Swakarsa kala itu. Dengan kondisi demikian, pemilihan istilah Pam Swakarsa, terlepas dari disengaja ataupun tidak, memberikan pesan bahwa Polri ingin memberikan kesan menghidupkan kembali sebuah kelompok yang memiliki rekam jejak sebagai bentuk konkret penyalahgunaan wewenang oleh Negara.

Sejarah Pam Swakarsa

Berdasarkan laporan Majalah Tempo Edisi 23 November 1998, konsep Pam Swakarsa kala itu adalah bertugas melawan demonstran mahasiswa. Mereka dipersenjatai dengan bambu yang banyak dan di antaranya diruncingkan salah satu ujungnya.

            Berdasar dari laporan tersebut, Pam Swakarsa tidak hanya dikirim untuk mengamankan Gedung DPR/MPR Senayan, tapi juga dikirimkan ke loasi yang potensial menjadi daerah demonstrasi dan orasi mahasiswa pada masa itu, misalnya Tugu Proklamasi dan Taman Ismail Marzuki.

            Itu dibuktikan dengan temuan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS. Pendiri KontraS, Munir, waktu itu menyerahkan sejumlah barang bukti kepada polisi, antara lain 40 bambu runcing dari kawasan Taman Ismail Marzuki, 132 bambu runcing dari Tugu Proklamasi, sebuah samurai, satu batang besi bengkok, empat ikat kepala, dan selembar sapu tangan.

            Mereka juga juga disebut kerap berpawai melintasi kampus yang aktif dan melakukan patroli malam diiringi dengan sedan polisi. Di lingkungan Senayan, mereka beraksi menghalau para pejalan kaki dan pengendara sepeda motor yang lewat. Pam Swakarsa juga kerap turun ketika mahasiswa dan aparat keamanan berhadap-hadapan, misalnya pada peristiwa Cawang dan Semanggi.[1]

            Karena tindakannya  pada  tahun  1998  tersebut,  tak  mengherankan  apabila masyarakat   khawatir   terhadap   pembentukan   kembali   Pam   Swakarsa. Ketidakjelasan  asal-usul,  alur  komando,  sampai  legalitas  pembentukan  Pam Swakarsa   kala   itu   menjadikannya   simbol   nyata   kesewenang-wenangan Negara  terhadap  rakyatnya  sendiri.  Dengan  kondisi belum  terungkap  secara utuhnya berbagai ketidakjelasan terkait Pam Swakarsa pada saat itu, wacana penghidupa kembali Pam Swakarsa secara otomatis membangkitkan trauma masyarakat   berkaitan   dengan   peristiwa   tersebut.[2]

 

Dasar Hukum Pam Swakarsa

Pam swakarsa pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU tentang Polri. Pasal ini menentukan bahwa pengemban fungsi kepolisian adalah Polri yang dibantu oleh:

a) kepolisian khusus;

b) penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau

c) bentuk-bentuk pam swakarsa.

            Mengenai yang dimaksud dengan fungsi kepolisian ditegaskan dalam Pasal 3 UU tentang Polri, yaitu sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

            Makna “dibantu” dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) adalah dalam lingkup fungsi kepolisian, bersifat bantuan fungsional, dan tidak bersifat struktural hierarkis. Sedangkan yang dimaksud dengan "bentuk-bentuk pam swakarsa" adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Polri, seperti satuan pengamanan lingkungan dan badan usaha di bidang jasa pengamanan. Bentuk-bentuk pam swakarsa memiliki kewenangan kepolisian terbatas dalam "lingkungan kuasa tempat" (teritoir gebied/ruimte gebied) meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, dan lingkungan pendidikan. Contohnya adalah satuan pengamanan lingkungan di pemukiman, perkantoran, atau pertokoan. [3]

            Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c UU tentang Polri menyebutkan bahwa pengaturan mengenai pam swakarsa merupakan kewenangan Kapolri. Terkait dengan hal ini, sebelum Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menyampaikan gagasannya, Kapolri sebelumnya, Jenderal Idham Azis menerbitkan Peraturan Polri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa (Perpolri No. 4 Tahun 2020). Perpolri ini menyebutkan bahwa pam swakarsa adalah bentuk pengamanan oleh pengemban fungsi kepolisian yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Polri. Sedangkan tugas pam swakarsa disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Perpolri No. 4 Tahun 2020, yaitu untuk menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungannya secara swakarsa guna mencegah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban.

            Perpolri No. 4 Tahun 2020 juga menentukan bahwa pam swakarsa terdiri atas satuan pengamanan (satpam) dan satuan keamanan lingkungan (satkamling), serta bisa juga berasal dari pranata sosial/kearifan lokal seperti: pecalang di Bali; kelompok sadar keamanan dan ketertiban masyarakat; siswa bhayangkara; dan mahasiswa bhayangkara. Pam swakarsa yang berasal dari pranata sosial/kearifan lokal terlebih dahulu memperoleh pengukuhan dari Kepala Korbinmas Baharkam Polri atas rekomendasi Direktur Pembinaan Masyarakat Kepolisian Daerah.

            Mengenai proses pembentukannya, satpam dibentuk melalui tahapan perekrutan, pelatihan, dan pengukuhan. Calon anggota satpam berasal dari orang perseorangan dan purnawirawan TNI dan Polri yang memenuhi beberapa persyaratan yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Perpolri No. 4 Tahun 2020. Selanjutnya calon yang telah memenuhi persyaratan akan menjalani pelatihan yang diselenggarakan oleh Polri atau badan usaha jasa pengamanan yang memiliki surat izin operasional jasa pelatihan keamanan. Setelah lulus pelatihan, calon anggota satpam dikukuhkan dan diberikan: keputusan kepangkatan satpam; kartu tanda anggota satpam; dan buku riwayat anggota satpam.

            Perpolri No. 4 Tahun 2020 juga menentukan bahwa satkamling dibentuk oleh masyarakat yang terdiri atas ketua (ketua) dan pelaksana satkamling. Selanjutnya satkamling yang telah dibentuk dilaporkan kepada Polri melalui kepolisian sektor untuk melaksanakan pendataan dan pembinaan. Ketua satkamling diemban oleh ketua rukun tetangga (RT), ketua rukun warga (RW), atau tokoh masyarakat yang dipilih berdasarkan kesepakatan dalam musyawarah warga. Sementara pelaksana satkamling merupakan warga setempat atau warga yang ditunjuk oleh masyarakat setempat.[4]

            Dikutip dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] KontraS mencatat beberapa pengaturan dalam Perpol nomor 4 tahun 2020 yang bermasalah atau berpotensi menimbulkan permasalahan dalam penerapannya, yakni:[5]

1.     Penggunaan istilah Pam Swakarsa yang memberi kesan represif kepada masyaraka takibat beban masa lalu yang belum tuntas;

2.     Pasal 3 Ayat (3) yang memberikan diskresi penuh kepada Polri dalam mengukuhkan kelompok masyarakat sebagai Pam Swakarsa;

3.     Pasal 38 Ayat (2) huruf b tentang peran Satkamling dalam membantu Polri dalam pembinaan Kamtibmas yang menempatkan Satkamling seakan-akan berada di bawah otoritas Polri;

4.     Pasal 39 Ayat (2) huruf h tentang tugas pelaksana Satkamling untuk melakukan tindakan kepolisian non yustisial yang ambigu dan merupakan kemunduran dari pengaturan pada Perkap 23/2007 yang telah membatasi tindakan siskamling hanya dalam melakukan tangkap tangan untuk kemudian diserahkan penanganannya kepada Polri;

5.     Tidak adanya pengaturan mengenai tugas, fungsi, dan wewenang Pam Swakarsa selain Satpam dan Satkamling;

6.     Minimnya pengaturan mengenai mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi kepada Pam Swakarsa yang melakukan pelanggaran HAM ataupun penyalahgunaan wewenang; dan

7.     Minimnya peraturan mengenai prosedur serta batasan dalam mengerahkan massa Pam Swakarsa, termasuk sanksi terhadap penyalahgunaan wewenang dalam pengerahan massa Pam Swakarsa.

 

Polemik Pam Swakarsa.

            Wacana peangktifan pam swakasra menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, wacana tersebut dinilai akan mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru yang otoriter[6].  Kontras khawatir iklim kekerasan akan terus terjadi apabila wacana pengaktifan kembali Pam Swakarsa terlaksana. Karena tak menutup kemungkinan kelompok yang mendapat amanat sebagai Pam Swakarsa melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan demi menjaga ketertiban umum. Alih-alih menjaga ketertiban dan keamanan, Polri dinilai hendak merawat ketakutan masyarakat karena trauma dengan sepak terjang kelompok ini pada gerakan Reformasi 1998.

            Penolakan tak hanya berasal dari kalangan pro demokrasi dan pegiat HAM. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menentang rencana menghidupkan kembali Pam Swakarsa. Pasalnya, Pam Swakarsa rentan memicu premanisme. MUI khawatir, Pam Swakarsa akan menjadi wadah bagi para preman untuk melakukan aksi-aksi kekerasan.[7]

            Kekhawatiran dan kecemasan sejumlah kalangan terkait Pam Swakarsa ini cukup beralasan. Pasalnya, dalam sejarahnya, Pam Swakarsa adalah organ yang akrab dengan kekerasan dan rentan dipakai kekuasaan. Jika menengok pada era Orde Baru, Pam Swakarsa adalah organ paramiliter yang dibentuk untuk membendung aksi demonstrasi mahasiswa dan gerakan perlawanan yang dilakukan masyarakat. Jika menilik rekam jejaknya, Pam Swarksa pernah terlibat dalam pengamanan Sidang Istimewa 10-13 November 1998 yang melantik B.J Habibie sebagai presiden. Selain itu mereka juga dikerahkan guna mengamankan Sidang Umum MPR pada Oktober 1999. Pam Swakarsa juga digunakan aparat untuk membendung dan melawan demonstrasi mahasiswa. Dan dalam tiap aksinya, mereka kerap terlibat bentrok dengan mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya. Pam Swakarsa tidak hanya dikerahkan untuk mengamankan Gedung DPR/MPR Senayan, tapi juga dikirimkan ke lokasi-lokasi yang potensial menjadi daerah demonstrasi dan orasi mahasiswa kala itu, misalnya Tugu Proklamasi dan Taman Ismail Marzuki. Mereka juga juga kerap ‘meneror’ para mahasiswa dengan menggelar pawai melintasi kampus yang aktif dan melakukan patroli di malam hari.

            Namun rencana Polri ini didukung Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Mereka menyanggah jika Pam Swakarsa yang digagas Polri akan sama seperti era Orde Baru. KSP berpendapat bahwa apa yang dilakukan Polri tersebut hanya mengejawantahkan UU Polri. Pengaturan terkait Pam Swakarsa ini dianggap penting karena memiliki sejumlah fungsi. Salah satunya memberi kesempatan bagi masyarakat untuk bersama sama Polri memaksimalkan upaya menjaga keamanan dan ketertiban.[8]

            Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa atau PAM Swakarsa versi Listyo Sigit Prabowo disebut bakal berbeda dengan kelompok serupa pada era 1998 silam. Jaminan itu diutarakan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono merespons polemik penghidupan kembali pasukan yang terdiri dari kelompok sipil tersebut. Rusdi menjelaskan, tindakan PAM Swakarsa kelak bakal dikoordinasikan dan diawasi aparat kepolisian. Sehingga, pembentukan pasukan yang mengikuti kebutuhan wilayah tersebut tidak akan disalahgunakan di luar dari pengawasan aparat penegak hukum. Bentuk PAM Swakarsa juga akan beragam. Pertama, pasukan ini akan diisi petugas pengamanan pada lingkungan tertentu. Misalnya, pengamanan di perusahaan, kawasan tertentu dan, bisa pula di permukiman masyarakat. bentuk kedua, adalah satuan keamanan lingkungan yang merupakan kemauan, kesadaran dan kepentingan dari elemen masyarakat untuk menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di lingkungannya sendiri. Kemudian bentuk lainnya, Polri mengakomodasi kearifan lokal di antaranya seperti Pecalang di Bali, maupun kelompok-kelompok yang sadar kamtibmas di lingkungan masyarakat.[9]

Kesimpulan

            Wacana pengaktifan kembali Pam Swakarsa merupakan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang kemudian diatur dalam peraturan pelaksana Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa. Namun penggunaan nama PAM Swakarsa ini membuat polemik di tengah masyarakat dikarenakan beban masa lalu yang sampai saat ini belum terselesaikan. Istilah Pam Swakarsa yang berpotensi memicu trauma dan rasa takut masyarakat akibat preseden penggunaan istilah yang sama padatahun 1998 terhadap sekelompok masyarakat sipil yang dipersenjatai untuk berhadap-hadapan dengan masyarakat sipil yang melakkan aksi demonstrasi dengan berbagai aksi kekerasan.

            Dalam releaseannya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] berpendapat terdapat celah penyalahgunaan wewenang dalam implementasinya. Pengaturan bermasalah initerdiri atas:

1)     Tidak ada pengaturan yang jelas mengenai kualifikasi dan syarat bentuk-bentuk Pam Swakarsa dari kearifan lokal yang dapat dikukuhkan sebagai bagian dari Pam Swakarsa.

2)     Tidak adanya pengaturan mengenai tugas, fungsi, dan wewenang yang dimiliki oleh bentuk-bentuk Pam Swakarsa selain Satpam dan Satkamling.

3)     Penyeragaman seragam dinas satpam dengan polisi yang minim urgensi dan terkesan ingin memberikan kesan “represif”kepada masyarakat.

4)     4.Besarnya intervensi Polri terhadap Satkamling berpotensi digunakan untuk kepentingan praktis di luar kewenangan Satkamling sebagai organ komunal yang tumbuh dalam masyarakat.

5)     5.Tidak adanya pengaturan mengenai batasan wewenang Polri dalam melakukan pengerahan massa Pam Swakarsa dalam menjalankan tugas dan fungsi Polri.

6)     Tidak adanya ketentuan mengenai sanksi baik bagi anggota Pam Swakarsa yang menyalahgunakan wewenang atau melanggar HAM serta bagi anggota Polri yang memerintahkan pengerahan massa Pam Swakarsa untuk hal-hal yang melanggar hukum ataupun represif kepada masyarakat sipil lainnya.[10]

            Melibatkan masyarakat dalam mejaga keamanan dan ketertiban merupkan hal yang baik, akan tetapi pengggunaan nama PAM Swakarsa tidak tepat dikarenakan beban masa lalu meskipun akhir-akhir ini POLRI mencanakan pergantian istilah. Selain itu dibutuhkan pengaturan yang jelas mengenai batasan tanggungjawab serta tugas dan wewenang dari PAM swakara, jangan sampai nantinya terjadi kesewenangan oleh oknum yang atas nama PAM Swakarsa yang di atur undang-undang. Pengaktifan PAM Swakarsa diharapkan tidak menghadapkan masyarakat dengan masyarakat.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

               Suryani, Lidya W. Peran Pam Swakarsa Dalam Lingkup Fungsi Kepolisian Sebagai Upaya Pemeliharaan  Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat. Info Singkat Vol. XIII, No.3 Februari 2021. Hal 1-6

            https://nasional.tempo.co/read/1425546/bakal-dihidupkan-lagi-oleh-listyo-sigit-begini-sejarah-pam-swakarsa/full&view=ok

               https://nasional.kompas.com/read/2021/01/27/10574521/pam-swakarsa-untuk-siapa?page=all.

               https://nasional.kompas.com/read/2021/01/25/08304921/polemik-wacana-dihidupkannya-pam-swakarsa?page=all

            https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210126191759-12-598712/polri-beberkan-konsep-pam-swakarsa-versi-listyo-sigit-prabowo

            KonstraS. Kertas Posisi Berpotensi Melanggar HAM, Segera Cabut Perpol Pam Swakarsa!. https://kontras.org/wp-content/uploads/2020/09/final_Kertas-Posisi_Pam-Swakarsa-1-1.pdf

 



[1] https://nasional.tempo.co/read/1425546/bakal-dihidupkan-lagi-oleh-listyo-sigit-begini-sejarah-pam-swakarsa/full&view=ok

[2] KonstraS. Kertas Posisi Berpotensi Melanggar HAM, Segera Cabut Perpol Pam Swakarsa!. https://kontras.org/wp-content/uploads/2020/09/final_Kertas-Posisi_Pam-Swakarsa-1-1.pdf

 

[3] Lidya Suryani W. Peran Pam Swakarsa Dalam Lingkup Fungsi Kepolisian Sebagai Upaya Pemeliharaan  Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat. Info Singkat Vol. XIII, No.3 Februari 2021. Hal 1-6

[4] Ibid.

[5] KonstraS. Kertas Posisi Berpotensi Melanggar HAM, Segera Cabut Perpol Pam Swakarsa!. https://kontras.org/wp-content/uploads/2020/09/final_Kertas-Posisi_Pam-Swakarsa-1-1.pdf

[6] https://nasional.kompas.com/read/2021/01/25/08304921/polemik-wacana-dihidupkannya-pam-swakarsa?page=all.

[8] Ibid

[9] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210126191759-12-598712/polri-beberkan-konsep-pam-swakarsa-versi-listyo-sigit-prabowo

[10] KonstraS. Kertas Posisi Berpotensi Melanggar HAM, Segera Cabut Perpol Pam Swakarsa!. https://kontras.org/wp-content/uploads/2020/09/final_Kertas-Posisi_Pam-Swakarsa-1-1.pdf

Posting Komentar

0 Komentar