Kontroversi Penambangan di Desa Wadas

 

Kontroversi Penambangan di Desa Wadas

Oleh : Thalia Salsadilla



         Nama Desa Wadas belakangan ini tengah ramai dibicarakan di beberapa media sosial. Desa Wadas merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Desa ini menjadi trending di media sosial bukanlah tanpa alasan. Desa yang terdiri dari empat dusun yaitu Kaliancar I, Loco, Mangsit, dan Senggigi dengan mayoritas masyarakat bermatapencaharian sebagai petani menyimpan banyak kekayaan alam atau sumber daya alam (SDA). Desa Wadas mengandung berbagai komoditas seperti cengkeh, akasia, mahoni, karet, kapulaga, dan masih banyak lagi.

     Namun sayangnya, desa yang kaya ini terancam untuk dirusak dengan adanya rencana pembangunan tambang batuan andesit atau penambangan quarry. Tambang quarry atau penambangan terbuka direncanakan dalam jangka waktu 30 bulan dengan cara dikeruk, diledakkan, dan dibor. Berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah 509/41/2018, Desa Wadas telah ditetapkan sebagai lokasi penambangan batuan andesit dimana tambang batuan andesit ini akan ditujukan untuk pembangunan bendungan Bener di Jawa Tengah yang berdasarkan pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020. Bendungan dengan tinggi 169 meter dan panjang 534 meter ini dicanangkan akan menjadi kedua tertinggi di Asia Tenggara. Menurut penelitian, Desa Wadas dapat menyediakan sekitar 40 juta meter kubik batuan andesit dari total 8,5 juta meter kubik material andesit yang dibutuhkan untuk pembangunan bendungan. 

   Adanya rencana pembangunan proyek tambang ini, menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat seperti aktivis lingkungan dan berbagai aliansi. Warga desa Wadas dengan tegas menolak segala bentuk perusakan lingkungan dengan adanya tambang andesit tersebut di desa mereka.  Hal ini dikarenakan rencana penambangan quarry di desa mereka menggunakan metode blasting atau dengan cara melakukan peledakan dinamit yang berjarak sekitar 300 meter dari pemukiman warga.

    Sehingga, dengan adanya proyek tambang andesit ini akan mengganggu mata pencaharian dan lingkungan warga desa. Dengan adanya aktivitas penambangan, akan merusak ekosistem lingkungan sekitar yang akan berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat sekitar mengingat bahwa warga Desa Wadas bergantung pada sumber daya alam sekitar. Rencana pertambangan ini juga berdampak pada banyak sumber mata air Desa Wadas yang dapat merusak lahan pertanian warga. Ini juga melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 mengenai sumber daya air tentang adanya larangan bagi kegiatan yang berpotensi dan menyebabkan daya rusak air.

    Adanya polemik proyek yang juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018 ini, menyebabkan warga Desa Wadas tidak mendapat keadilan dan kesejahtaraan sama sekali dari pemerintah, sebagaimana yang telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 alinea keempat yang berbunyi “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”. Namun pada nyatanya, pemerintah melakukan penyelewengan dengan merugikan warga Desa Wadas yang kehidupannya bergantung pada bentang alam Desa Wadas. Tidak hanya merugikan dari aspek lingkungan, tetapi juga dari aspek ekonomi dan hukum.

    Kemudian dari aspek hukum, pendirian tambang andesit ini tidak memiliki AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) sendiri, melainkan digabung dengan AMDAL pendirian bendungan Bener. AMDAL antara pertambangan dan bendungan yang disatukan bertentangan dengan Pasal 22 UU PPLH ayat (1)  “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal” dan Permen LH 5/2012. Seharusnya, proyek penambangan di Desa Wadas ini telah masuk pada kriteria usaha atau kegiatan yang wajib AMDAL. Pasal 23 Ayat (1) UUPPLH, menjelaskan kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas:

a.  pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;

b.  eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;

c.  proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;

d.  proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;

e.  proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;

f.   introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;

g.  pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;

h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau

i.   penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.

        Hal janggal selanjutnya adalah warga yang tidak dilibatkan dalam pembuatan AMDAL bendungan tersebut dimana bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ( UU PPLH) yang diubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Menteri LH 17/2012 tentang kegiatan wajib AMDAL.

    Selain mengganggu kesejahteraan warga Desa Wadas, penambangan quarry ini ternyata juga melanggar hak asasi manusia warga Desa Wadas. Pada Selasa, 8 Februari 2022 aparat keamanan melakukan kekerasan, kriminalisasi, dan penyerbuan dengan senjata ke rumah warga Desa Wadas yang menentang adanya tambang di tanah mereka. Ada sekitar 60 warga termasuk anak-anak dan kuasa hukum warga yang ditangkap. Hal ini menyebabkan anak-anak menjadi takut untuk pergi ke sekolah, saat ini Desa Wadas tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi warganya. Aparat yang seharusnya melindungi dan mengayomi warga justru menuduh warga yang mereka tangkap dengan tuduhan membawa senjata tajam dan tuduhan yang tidak berdasar lainnya.

        Tingkah aparat yang represif tersebut, semakin memperkeruh konflik antara warga Wadas dengan pemerintah, disatu sisi warga sudah tidak percaya pada pemerintah yang tidak mengedepankan asas pemerintahan yang baik yaitu untuk mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum, sebaliknya malah melanggar asas kepentingan umum. 

        Berbagai cara sudah dilakukan oleh warga Desa Wadas untuk mendapatkan keadilan di tanah mereka, namun hingga saat ini masih belum menemukan titik penyelesaian. Mulai dari membuat petisi, mediasi, hingga menempuh cara ajudikasi. Namun sayangnya pemerintah seolah menutup mata dan malah menyudutkan warga dengan dalih untuk kepentingan rakyat, tetapi pada faktanya warga sengsara dan direpresi. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo masih memberikan kalimat penenang agar warga setempat tidak perlu takut ketika tanahnya dikepung oleh aparat, sementara warga yang berusaha menentang proses pengukuran lahan ditangkap. 

       Jaminan yang diberikan dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 dan peraturan perundang-undangan seperti pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 2 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum” seolah hanya sebuah formalitas saja. Demi hak asasi manusia untuk hidup dengan aman, warga Desa Wadas hingga saat ini masih memperjuangkan hak yang seharusnya tidak pernah diusik dan direbut dari mereka.

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar