POLEMIK PENYELENGGARAAN PEMILIHAN
KEPALA DAERAH (PILKADA)
SERENTAK
PADA TAHUN 2024
Oleh : Trisna Septyan Putri
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
secara serentak pada tahun 2024 merupakan salah satu ketentuan yang termaktub
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota. Dalam pasal 201 Ayat 8 UU tersebut telah menegaskan bahwa,
”Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan
November tahun 2024”. Menanggapi hal tersebut, maka pada tanggal 24 Januari
2022 Pemerintahan dan DPR memutuskan bahwa Pilkada serentak akan dilaksanakan
pada tanggal 27 November 2024. Keputusan tersebut disepakati ketika rapat kerja
Komisi II DPR RI bersama dengan Menteri Dalam Negeri, Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Dewan Kehormatan Penyelenggaraan
Pemilu (DKPP) di Gedung DPR, di Senayan, Jakarta.
Selain diselenggarakannya Pilkada serentak, Pemerintah dan DPR juga mengeluarkan keputusan akan diselenggarakannya Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Badan Legislatif untuk memilih anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, serta anggota DPD RI yang akan dilaksanakan di tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 14 Februari 2024. Keputusan inipun menuai berbagai perdebatan di berbagai pihak sehingga menimbulkan adanya pro dan kontra terkait hal tersebut. Sebagian pihak beranggapan bahwa rentang waktu antara pemilu capres dan pilleg dengan pilkada bisa dikatakan cukup berdekatan, sehingga hal tersebut dinilai berpotensi menganggu rangkaian jadwal pemilu dan pilkada yang pelaksanaannya pasti akan beririsan.
Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yaitu Luqman Hakim mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan keputusan terkait pemilu dan pilkada serentak tersebut. Ia mengutarakan kekhawatirannya terkait dengan waktu pemilu dan pilkada yang bisa dikatakan cukup berdekatan. Ia mangingatkan bahwa kita tidak bisa memprediksi berapa jumlah kandidat calon presiden dan wakil presiden untuk pemilihan mendatang. Jika terdapat lebih dari 2 pasang calon, dan tidak ada dari pasangan calon tersebut yang mendapatkan perolehan suara sebanyak 50% + 1, maka akan terjadi 2 putaran pemilihan yang tentunya dapat menyita waktu, sedangkan pilkada serentak sudah menanti di bulan Novembernya. Kemudian ia juga mengingatkan bahwa syarat mengusung calon di Pilkada 2024 yaitu perolehan hasil dari Pemilu itu sendiri. Maka dari itu dibutuhkan rentang waktu yang cukup untuk menyelesaikan tahapan pemilu hingga penetapan hasil.
Dikarenakan adanya beberapa
perbedaan pendapat terkait keputusan tersebut, maka jauh sebelum keputusan itu
disepakati, pada tahun 2021 Komisi II DPR pernah mengusulkan Revisi Undang
Undang Pemilu. Salah satu poin perubahan dalam RUU Pemilu yang menjadi
perdapatan antar elite partai politik adalah normalisasi jadwal Pilkada dari
tahun 2024 menjadi tahun 2022 dan 2023. Karena jika Pilkada tetap dilangsungkan
pada tahun 2024, maka daerah yang masa jabatan kepala daerahnya akan habis pada
tahun 2022 dan 2023 akan dipimpin oleh pelaksana tugas (PLT) sampai menjelang
tahun 2024. Namun, tidak semua partai setuju akan hal tersebut, hanya Fraksi
Partai Demokrat, Fraksi Partai Nasdem dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang
mendukung adanya revisi Undang Undang Pemilu. Sedangkan fraksi lainnya menolak
revisi dan meminta agar Pilkada tetap dilaksanakan secara serentak pada tahun
2024. Pada akhirnya, Pemerintah dan Badan Legislasi DPR RI sepakat untuk
mengeluarkan RUU Pemilu dari daftar program legislasi nasional prioritas tahun
2021. Bersamaan dengan dicabutnya RUU Pemilu dari daftar Prolegnas 2021,
menandakan bahwa Pilkada tahun 2022 dan 2023 akan dilakukan secara serentak
pada tahun 2024, dengan kata lain Pilkada 2022 dan Pilkada 2023 tidak akan
dilaksanakan.
Jika Pilkada serentak digelar pada 27 November 2024, maka hal tersebut dapat menyimpan sejumlah masalah yuridis dan administrasi yang sangat serius, terutama karena akan menimbulkan kekosongan jabatan kepala daerah pada saat yang bersamaan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum, maka dapat diketahui bahwa terdapat 101 Kepala daerah hasil dari Pilkada tahun 2017 yang masa jabatannya akan berakhir pada tahun 2022. Kemudian juga terdapat 171 kepala daerah dari hasil pilkada tahun 2018 yang masa jabatannya akan berakhir pada tahun 2023. Dengan ditidakannya penyelenggaraan Pilkada serentak pada tahun 2022 dan 2023 maka akan terdapat 272 pelaksana tugas (Plt) atau pejabat sementara (Pjs) untuk menggantikan posisi kepala daerah sampai lahirnya kepala daerah dari hasil Pilkada pada tahun 2024 mendatang. Hal inilah yang kemudian dikhawatirkan dapat merusak kualitas dari demokrasi di negara kita dan menimbulkan adanya disharmoni mengenai kebijakan pembangunan. Karena sejatinya salah satu syarat dari negara yang demokratis adalah pertukaran kepala daerah secara reguler yaitu selama 5 tahun sekali yang dipilih oleh rakyat secara langsung melalui suatu pemilihan umum. Selain itu, kepala daerah yang terpilih dari Pilkada tahun 2020 hanya akan menjabat selama 3,5 tahun, maka dikhawatirkan kepala daerah tersebut belum bisa mewujudkan visi misi mereka yang berkaitan dengan pembangunan daerah yang telah dituangkan dalam RPJMD Provinsi dan Kab/Kota.
Kemudian, jika kita berkaca pada pengalaman Pemilu eksekutif dan legislatif yang dilaksanakan secara serentak pada tahun 2019 lalu, maka kita bisa melihat bahwa dari pemilu tersebut terdapat sebanyak 894 orang penyelenggara pemilu yang meninggal dunia. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada, hal tersebut dapat terjadi dikarenakan beban kerja yang sudah diluar batas. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah dapat melakukan pertimbangan terkait pelaksanaan Pilkada serentak di tahun 2024 mendatang yang tentunya akan lebih berat dari Pemilu serentak tahun 2019. Karena jika tidak disiati dengan baik, bukan tidak mungkin hal serupa bisa terjadi kembali di periode mendatang. Apalagi ditambah dengan situasi negara kita yang masih belum terlepas dari pandemi Covid 19, tentunya hal ini dapat menjadi suatu hambatan dalam melakukan pilkada serentak.
Dewan Pembina Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yaitu Titi Anggraini mengatakan untuk mengadakan Pemilu Serentak Nasional dan Pemilu Serentak Lokal secara terpisah untuk menghindari berbagai kekhawatiran terkait dilaksanakannya pilkada serentak 2024, dengan jadwal diadakannya pemilu serentak nasional pada tahun 2024 dan mengadakan pemilu serentak lokal setelahnya, yaitu bisa di tahun 2025 ataupun 2027. Karena mengingat rentang waktu antara Pilpres dan
Pilleg dengan Pilkada yang dinilai tidak ideal. Selain itu, anggota KPU RI, Hasyim Asy’arie memiliki pandangan yang sama dengan Perludem. Ia pun merekomendasikan diadakannya pemilihan serentak nasional dan lokal. Dengan diadakannya pemilu serentak lokal dan nasional dan terpisah maka akan terdapat beberapa manfaat ; pertama, konsolidasi politik yang semakin stabil karena koalisi partai politik terbangun sejak masa pencalonan. Kedua, beban penyelenggara pemilu lebih proporsional sehingga dapat meminimalisir adanya korban jiwa. Ketiga, memudahkan pemilih untuk menentukan pilihan.
Maka dari penjelasan diatas, penulis setuju dengan diadakannya Pemilu serentak nasioal dan pemilu serentak lokal secara terpisah, karena Pilkada serentak yang akan digelar bersamaan dengan Pilpres dan Pilleg pada tahun 2024 bisa dikatakan cukup riskan mengingat beberapa hal yang dikhawatirkan dapat terjadi di Pilkada serentak mendatang yang menyimpan kompleksitas dan mebutuhkan tenaga ekstra dalam penyelenggaraannya yang dapat menimbulkan kerugian di beberapa pihak. Dengan menerapkan sistem ini, diharapkan dapat mengurangi beban bagi para penyelenggara pemilu serta dapat mewujudkan pemilu dan pilkada yang logis, jujur dan demkoratis serta dapat berkontribusi terhadap efektivitas pemerintahan di Indonesia.
0 Komentar