Penundaan Pemilu 2024, Urgensi atau Politisasi ?

 

Penundaan Pemilu 2024, Urgensi atau Politisasi ?

Oleh 

Trisna Septyan Putri 



Pemilihan umum pada tahun 2024 merupakan agenda yang wajib dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai bentuk dari sarana legitimasi kekuasaan. Pemilu sendiri bertujuan untuk menghasilkan suatu kepemimpinan yang benar – benar dikehendaki oleh rakyat. Maka dari itu sesuai dengan jadwal yang seharusnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan tanggal 14 Februari 2024 sebagai hari pelaksanaan pemungutan suara pemilihan umum.

Akan tetapi, saat ini di Indonesia terdapat adanya isu akan penundaan pemilu di tahun 2024 mendatang yang tentunya menimbulkan pro dan kontra dikalangan elite politik dan masyarakat Indonesia. Isu penundaan pemilu ini pertama kali digaungkan oleh Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yaitu Bahlil Lahadalia. Ia mengatakan bahwa usulan penundaan pemilihan umum (pemilu) 2024 ini didapatkan dari sejumlah pengusaha. Menurutnya penundaan tersebut sah – sah saja dilakukan. Pernyataan ini pun di dukung oleh beberapa pihak seperti Muhaimin Iskandar yang merupakan Ketua Umum dari partai PKB, Ketua Umum PAN, yaitu Zulkifli Hasan, serta Ketua Umum partai Golkar yaitu Herlangga Hartanto. Mereka mengatakan bahwa pemilu ini lebih baik ditunda dengan alasan yang beragam, dimulai dari sector ekonomi bangsa ini yang masih lemah atau pun situasi pandemi yang masih terjadi. Sedangkan pihak elite politik yang lain menolak dengan tegas usulan tersebut dan tetap ingin menjalankan pemilu sebagaimana mestinya, yaitu di tahun 2024. Adapun tokoh – tokoh yang kontra akan hal tersebut seperti mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman yaitu Rizal Ramli, wakil wekjen partai Demokrat, Jansen Sitindaon, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan masih banyak lagi.

Jika kita lihat dari segi yuridis, penundaan pemilu ini bisa dikatakan sebagai pengkhianatan akan konstitusi. Kalau pemilu ini ditunda maka otomatis masa jabatan dari presiden dan wakil presiden akan bertambah yang tentunya hal ini bertentangan dengan Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “ Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk hanya untuk satu kali masa jabatan”. Selain itu, penundaan ini tentu harus diiringi dengan proses amandemen dari UUD yang tentunya tidak mudah. Indonesia pun juga tidak berada dalam kondisi yang mendesak untuk melakukan suatu amandemen Karena untuk melakukan amandemen UUD 1945 perlu ada kajian yang strategis dan mendalam, sebelum melakukannya. Dan tentunya diperlukan beberapa persyaratan mutlak, yakni harus diusulkan oleh 1/3 dari anggota parlemen serta membutuhkan 2/3 anggota parlemen yang menghadiri sidang MPR. Selain itu, jika hal tersebut berhasil terjadi maka dikhawatirkan eksistensi dari UUD tersebut tidak lagi sama. Karna bukan tidak mungkin hal serupa bisa terjadi kembali di masa yang akan datang. Dimana terdapat hal yang bertentangan dengan konstitusi maka pemerintah bisa melakukan amandemen kembali.

     Jika alasan dari penundaan pemilu ini adalah karna ekonomi, maka sebenarnya hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Karena meskipun ekonomi terpuruk oleh pandemi, situasinya telah membaik dan posisi ekonomi nasional sedang menuju pertumbuhan yang sustain dan secara berangsur-angsur dimungkinkan akan menuju ekonomi yang lebih kuat pada tahun 2022 ini. Indikatornya, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 sudah bertahap membaik dibandingkan tahun sebelumnya. . Pemerintah pun sudah sepakat untuk menerapkan era kenormalan baru. Sehingga belum bias dikatakan bahwa Negara berada dalam status darurat ekonomi. Dan jika dikaji dari situasi kita yang berada dalam masa pandemi, kita bisa berkaca dari Pilkada pada tahun 2020, yang mana Pilkada tersebut tetap dapat dijalankan dengan lancar

Prof Edy Suandi Hamid juga menyatakan bahwa gagasan penundaan pemilu ini harus dijauhi dan dihindari.  Karena apabila dikaitkan situasi nasional sedang sulit keadaan sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19, menurut dia, kondisi saat ini jauh lebih baik dengan saat krisis ekonomi 1998, 1999, dan 2008.

Maka dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa isu penundaan pemilu 2024 ini tidak memiliki urgensi yang jelas. Karena apabila dikaitkan situasi nasional sedang sulit keadaan sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19, kondisi saat ini jauh lebih baik dengan saat krisis ekonomi 1998, 1999, dan 2008. Dan jika penundaan ini dilakukan hal tersebut bisa memicu tejadinya instabilitas nasional dan menimbulkan kontroversi di berbagai pihak yang dapat menganggu ekonomi nasional. Dan memperpanjang masa jabatan presiden merupakan suatu pengkhianatan konstitusi. Pemilu tahun 2024 merupakan estafet kepemimpinan di level eksekutif dan legislatif demi lahirnya kebijakan kebijakan baru yang dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan Negara ini, sehingga pemilu ini sangat diperlukan meskipun dalam kondisi pandemi.

Jika penundaan pemilu ini tetap dilakukan maka hal itu artinya kita mengulang kembali kenangan buruk yang terjadi di masa lampau yaitu tepatnya sebelum reformasi yang sebenarnya tidak ingin kita rasakan kembali pada saat ini. Kita justru butuh Pemilu untuk memastikan keberlanjutan legitimasi para penyelenggara negara lewat proses yang demokratis. Jangan sampai amanat reformasi itu dikorbankan untuk kepentingan pragmatis.

Posting Komentar

0 Komentar