Kajian Isu Strategis #3
“Mengawal Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana”
Tindak pidana dengan motif ekonomi
yang mulanya konvensional seperti pencurian, penipuan dan penggelapan, kini
berkembang semakin kompleks karena melibatkan pelaku terpelajar dan seringkali
bersifat transnasional atau lintas negara. Jenis kejahatan ini selain
menghasilkan banyak kekayaan, sekaligus juga melibatkan banyak dana untuk
membiayai peralatan, sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan tindak
pidana tersebut. Dengan kompleksitas seperti ini, penanganan tindak pidana
menjadi lebih rumit dan sulit ditangani oleh penegak hukum.
Tujuan utama pelaku tindak pidana
ekonomi adalah untuk mendapatkan kekayaan yang sebanyak-banyaknya. Secara
logika, harta kekayaan bagi pelaku kejahatan merupakan darah yang menghidupi
tindak pidana, sehingga cara yang paling efektif untuk melakukan pemberantasan
dan pencegahan terhadap tindak pidna dengan motif ekonomi adalah dengan
merampas hasil kekayaan yang didapatkannya dari suatu tindak pidana tersebut.
Hal ini bukan berarti mengerdilkan arti dari hukuman pidana badan/fisik
terhadap pelaku kejahatan tindak pidana. Namun pada kenyataannya harus diakui
pidana badan/fisik terbukti tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.[1]
Jika melihat dalam rumusan Pasal 1
angka 3 RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang dimaksud dengan “Perampasan aset
adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana
berdasarkan putusan pengadilan tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap
pelakunya”. Sedangkan aset tindak pidana itu sendiri berdasarkan Pasal 1 angka
2 RUU Perampasan Aset terdiri dari:
a.
Aset yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana
b. Kekayaan tidak wajar yang dipersamakan dengan aset tindak pidana.
1. 1. Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perampasan Aset di Indonesia
Urgensi kehadiran Undang-Undang Perampasan Aset dapat dilihat dari beberapa faktor diantaranya:
a. Ratifikasi UNCAC
Ratifikasi UNCAC oleh Indonesia dilakukan melalui UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Penelusuran, Penyitaan, dan perampasan hasil dan instrumen pidana antar negara menjadi salah satu bagian penting yang diatur dalam UNCAC. Maka konsekuensi dari ratifikasi itu, pemerintah Indonesia harus menyesuaikan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang ada dengan ketentuan-ketentuan di dalam konvensi tersebut, sehingga Indonesia dapat melakukan upaya perampasan aset hasil tindak pidana secara maksimal, terkhusus hasil tindak pidana yang diperoleh dari kejahatan korupsi.
b. Perkembangan Jenis Tindak Pidana Motif Ekonomi
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, perkembangan praktik
tindak pidana dengan motif ekonomi di Indonesia kian kompleks. Kemajuan
teknologi informasi telah menciptakan kemudahan bagi para pelaku untuk
melakukan aksi tindak pidana sehingga menciptakan variasi dalam modus operandi
yang digunakan. Ditengah munculnya berbagai macam modus operandi baru dalam
tindak pidana, maka upaya penegakan hukum atas tindak pidana tersebut lebih
sulit dilakukan. Kemajuan teknologi dan informasi juga memudahkan upaya pelaku
tindak pidana untuk menyembunyikan aset yang diperoleh dari suatu tindak pidana,
yang tidak lagi mengenal batas negara tertentu dan melewati yurisdiksi antar
negara satu dengan negara lainnya.
c. Mekanisme Yang Belum Memadai
Saat ini dalam sistem hukum yang ada di Indonesia, metode yang
digunakan dalam penegakan hukum atas tindak pidana dengan mencari dan menemukan
pelakunya kemudian menempatkan si pelaku kedalam penjara. Namun, metode
tersebut belum cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan karena
mekanismenya hanya ditekankan pada penghukuman pelaku dengan menempatkan pelaku
di penjara. Sedangkan penyitaan dan perampasan aset hanya dilakukan sebagai
pidana tambahan semata. Padahal dengan menyita dan merampas hasil kekayaan yang
diperoleh dari suatu tindak pidana, tidak saja memindahkan sejumlah harta
kekayaan dari pelaku kejahatan kepada masyarakat. Namun akan memperbesar
kemungkinan masyarakat untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu terbentuknya
keadilan dan kesejahteraan bagi semua masyarakat Indonesia.[1]
2. Sulitnya
Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana
RUU perampasan
aset yang sudah disiapkan sejak tahun 2012 ini, selalu gagal untuk disahkan. Pun
pada tahun 2022 ini RUU Perampasan Aset kembali gagal masuk Prolegnas
Prioritas. Jika membaca secara cermat Naskah Akademik dan draf RUU Perampasan
Aset Tindak Pidana, tidak ada alasan bagi DPR untuk menolaknya. UU ini akan
memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana ekonomi seperti korupsi,
mengingat sasaran utama UU tersebut adalah aset atau kekayaan yang diperoleh
dari suatu tindak pidana bukan kepada pelakunya. Jika RUU tersebut terus
menerus ditolak DPR, sulit untuk menampik anggapan yang menyatakan RUU ini akan
menjadi “senjata makan tuan” bagi DPR jika nantinya disahkan.[2] Anggapan tersebut sejalan
dengan hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) 2020 oleh Transparency
International Indonesia (TII), yang menyebutkan DPR adalah lembaga paling korup
di Indonesia[3]
Daftar Pustaka
Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2015, hlm. 1-2
Marfuatul Latifah, Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perampassan Aset Hasil Tindak Pidana di Indonesia, (2015), Jurnal Negara Hukum, Vol. 6, No. 1, hlm. 26-28
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2330-senjata-makan-tuan-ruu-perampasan-aset
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201204075231-32-577831/survei-tii-dpr-lembaga-paling-korup
[1]
Marfuatul Latifah, Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perampassan Aset Hasil
Tindak Pidana di Indonesia, (2015), Jurnal Negara Hukum, Vol. 6, No. 1, hlm.
26-28
[3] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201204075231-32-577831/survei-tii-dpr-lembaga-paling-korup
0 Komentar