Kajian Isu Strategis #6

 

Kajian Isu Strategis #6
Revisi UU PPP, Mengakali Putusan MK?

 


A.    Latar Belakang

Pada hari Kamis Tanggal 25 November 2021 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengabulkan untuk Sebagian permohonan uji formil UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.[1] Dalam putusan a quo terdapat beberapa poin pokok yang menjadi perhatian:

1.     Pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan”.

2.     UU Ciptaker masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan.

3.   Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan diucapkan dan apabila dalam rentang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU Ciptaker, menjadi inkonstitusional secara permanen.

4.  Apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipker maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Ciptaker dinyatakan berlaku kembali.

5.         Menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Ciptaker.

B.    

    Revisi UU PPP

Alih-Alih memperbaiki UU Ciptaker sebagaimana amanat dari putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, DPR justru melakukan revisi atas Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP). RUU mengenai perubahan kedua atas UU PPP disahkan menjadi undang-undang pada rapat paripurna DPR Selasa, 24 Mei 2022. Revisi atas UU PPP ini memberikan legalitas akan pembentukan suatu undang-undang dengan metode omnibus law. Menurut DPR revisi UU a quo merupakan tindak lanjut dari putusan MK mengenai uji formil UU Ciptaker. Sebab, metode omnibus dalam pembentukan UU Ciptaker tidak diakomodir dalam UU PPP.[2]

            Revisi atas UU PPP menjadi polemik ditengah masyarakat dan mendapat tanggapan yang beragam dari ahli hukum tanah air. Feri Amsari ahli hukum tata negara menilai langkah DPR merevisi UU PPP bertentangan dengan putusan MK. Sebab yang diperintahkan MK adalah memperbaiki UU Ciptaker, bukan untuk merevisi UU PPP. Menurut M. Isnur selaku Direktur YLBHI, Revisi UU PPP sebagai upaya justifikasi boroknya UU Cipta Kerja. Revisi UU PPP tidak semestinya dilakukan secara sporadis dan tergesa-gesa hanya karena ingin memberi justifikasi terhadap UU Ciptaker, karena proses revisi tersebut akan mengulangi kesalahan yang sama dengan proses penyusunan UU Ciptaker yang menciderai partisipasi masyarakat.[3]

 

C.    Omnibus Law

Omnibus Law menjadi pokok persoalan utama dalam revisi UU PPP yang dilakukan oleh DPR beberapa waktu yang lalu. Pada prinsipnya yang dimaksud omnibus law adalah suatu metode dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang substansinya merevisi dan/atau mencabut banyak undang-undang.[4] Sedangkan istilah omnibus law dalam Black Law Dictionary dikenal dengan Omnibus Bill yang didefenisikan, “a bill including in one act various separate and distinct matters, and particularly one joining a number of different subjects in one measure in such a way as to compel the executive authority to accept provisions which he does not approve or else defeat the whole enactment.”[5]   

Konsep omnibus law sendiri sejatinya tidak dikenal dalam sistem hukum civil law yang merupakan sistem hukum yang diadopsi oleh Indonesia. Namun, konsep ini berkembang di negara-negara yang menganut sistem hukum common law seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Belgia. Tujuan utama dari penerapan omnibus law adalah untuk melakukan pembenahan permasalahan yang disebabkan karena peraturan yang terlalu banyak (over regulation) dan terjadinya tumpang tindih (overlapping).[6] Konsep omnibus law pertama kali dikenal dalam peraturan perundangan di Indonesia adalah dengan disahkannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mana undang-undang tersebut dalam pembentukannya mengadopsi metode omnibus law.

Penerapan pembentukan suatu produk perundang-undangan dengan metode omnibus law memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Hal tersebut sebagaimana paparan ahli ilmu perundang-undangan dari Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono:[7]

1.     Kelebihan

·       Mempersingkat proses legislasi

·       Mencegah kebuntuan dalam pembahasan RUU

·       Efisiensi proses legislasi

·       Harmonisasi pengaturan akan terjaga

2.     Kelemahan

·       Pragmatis dan kurang demokratis

·       Membatasi ruang partisipasi

·       Mengurangi ketelitian dan kehati-hatian dalam penyusunannya

·       Terdapatnya potensi melampaui ketentuan dalam konstitusi

Terlepas dari kontroversi revisi UU PPP, metode omnibus law memang sudah semestinya diakomodir dalam UU PPP, mengingat semakin dinamisnya perkembangan hukum saat ini. Dengan dinamisnya perkembangan hukum terkadang membutuhkan suatu produk hukum yang cepat tanggap dalam menghadapi berbagai polemik yang terjadi. Pembentukan UU dengan menggunakan metode omnibus law tersebut bisa menjadi langkah yang bijak dalam menghadapi tumpang tindih regulasi. Namun disisi lain pembentukan UU dengan metode ini juga seharusnya mengakomodir partisipasi masyarakat luas. Jangan sampai nantinya terbentuk lagi produk legislasi seperti UU Ciptaker yang sarat akan kontroversi, yang menggunakan metode omnibus law dalam pembentukannya.

[4] Antoni Putra, Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Reguasi, (2020), Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 17, No. 1, hlm. 2.

[5] Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern, Fourth Edition, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1968), hlm. 1239.

[6] Antoni Putra, Loc.Cit.

Posting Komentar

0 Komentar