Kajian Isu Strategis #1 (Edisi 2023)

 

KAJIAN ISU STRATEGIS #1

Vonis Mati Ferdy Sambo, Sudahkah Tepat?


 

Latar Belakang

Pada 8 Juli 2022 kemarin publik dikejutkan dengan pemberitaan mengenai insiden “polisi tembak polisi” antara dua ajudan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo yaitu Richard Eliezer (Bharada E) dan Brigadir Yosua Hutabarat (Brigadir J), yang menyebabkan tewasnya Brigadir J dalam insiden tersebut. Keterangan awal Mabes Polri menyatakan bahwa peristiwa tersebut dipicu oleh pelecehan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J terhadap istri Ferdy Sambo, yakni Putri Candrawathi. Namun terdapat sejumlah kejanggalan atas wafatnya Brigadir J tersebut. Salah satunya Bharada E sama sekali tidak terluka dan tertembak, padahal dalam keterangan awal pihak kepolisian juga disebutkan bahwa pistol dari Brigadir J mengeluarkan tujuh peluru.[1]

Setelah mendapatkan atensi publik yang cukup tinggi, akhirnya Mabes Polri membentuk Tim Khusus. Berdasarkan hasil investigasi Tim tersebut, Mabes Polri akhirnya menetapkan lima orang tersangka. Mereka adalah Ferdy Sambo, Bharada E, Bripka Ricky Rizal, Kuwat Ma’ruf, dan Putri Candrawathi. Kasus pembunuhan Brigadir J dengan terdakwa Ferdy Sambo mulai bergulir di pengadilan sejak 17 Oktober 2022.[2] Di samping dugaan pembunuhan, Ferdy Sambo juga didakwa telah melakukaan perintangan penyidikan (obstruction of justice). Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Ferdy Sambo Kesatu, dengan Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Subsidair, Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kedua, pertama primair Pasal 49 jo Pasal 33 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik  (UU ITE) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Subsidair, Pasal 48 jo Pasal 32 ayat (1) UU ITE jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Atau kedua, primair pasal 233 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Subsidair, Pasal 221 ayat (1) ke-2 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.[3]

Setelah melalui rangkaian panjang persidangan, akhirnya pada 13 Februari 2023 majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis pidana mati atas terdakwa Ferdy Sambo. Putusan majelis Hakim tersebut melebihi tuntutan jaksa (ultra petita), yang sebelumnya hanya menuntut pidana penjara seumur hidup atas mantan Kadiv Propam Polri tersebut. Adapun hal yang memberatkan Ferdy Sambo dalam pertimbangan Majelis Hakim diantaranya:[4]

1. Perbuatan terdakwa dilakukan terhadap ajudan sendiri yang telah mengabdi selama tiga tahun;

2.   Perbuatan terdakwa mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga Brigadir J;

3.   Perbuatan terdakwa menyebabkan kegaduhan di masyarakat;

4.   Bukan kelakuan yang pantas bagi seorang penegak hukum seperti terdakwa;

5. Perbuatan terdakwa telah mencoreng institusi Polri baik di kancah nasional maupun internasional;

6.   Perbuatan terdakwa menyebabkan anggota Polri lainnya terlibat;

7.   Terdakwa berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya.

 

Sesuai Harapan Publik?

Atas putusan di atas, banyak masyarakat Indonesia yang memuji keberanian Hakim. Karena di tengah tekanan dalam menyelesaikan perkara tersebut, terlihat bagaimana mejelis Hakim mencoba menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut selaras dengan pendapat Mahfud MD selaku Menko Polhukam, menurutnya vonis mati yang dijatuhkan hakim kepada Ferdy Sambo telah sesuai dengan rasa keadilan publik.[5]

Penegakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat memiliki arti penting dalam upaya membangun peradaban bangsa yang bermartabat. Tidak akan maju peradaban dari suatu bangsa apabila tidak didasarkan atas peri kehidupan berkeadilan. Keadilan adalah tujuan akhir dari sebuah sistem hukum, yang memiliki hubungan erat dengan fungsi sistem hukum sebagai sarana untuk mendistribusikan dan memelihara suatu alokasi nilai-nilai dalam masyarakat, yang ditanamkan dengan suatu pandangan kebenaran, yang secara umum merujuk kepada keadilan.[6]

 

Perspektif HAM

Meskipun vonis Ferdy Sambo disambut baik oleh banyak masyarakat Indonesia, namun nyatanya juga mendapatkan pertentangan oleh para aktivis HAM. Menurut mereka, pada prinsipnya sebagaimana yang telah digariskan dalam Konstitusi bahwa hak untuk hidup adalah HAM yang tidak dapat diganggu gugat. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 28A dan 28I UUD NRI 1945, yang masing-masing menyebutkan:

Pasal 28A

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Pasal 28I ayat (1)

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Ketentuan tersebut juga diakomodir dalam Pasal 4 dan Pasal 9 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hak atas hidup sebagai HAM yang tidak dapat diganggu gugat (non derogable right), juga terdapat dalam instrumen hukum internasional. Seperti pada Universal Declaration of Human Rights 1948 dan pada International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (ICCPR 1966) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.  Pun sejatinya dalam teori pemidanaan, pidana mati hanya bertujuan untuk pembalasan semata. Sehingga tidak akan pernah tercapai kemanfaatan dalam penjatuhan hukum, hal tersebut jugalah yang menjadi pertimbangan oleh banyak negara dunia meninggalkan hukuman pidana mati dewasa ini.[7]

 

Reformasi Polri Adalah Keniscayaan

Disebabkan putusan dalam perkara ini belum berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Maka belumlah dapat dipastikan apa hukuman yang nantinya akan dijalankan oleh Ferdy Sambo. Namun terlepas dari itu semua, bagaimana seharusnya kasus ini dapat menjadi momentum bagi institusi Polri sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum di tanah air untuk bereformasi ke arah yang lebih baik lagi. Sehingga kepercayaan masyarakat dapat terjada adanya. Kegaduhan atas insiden tersebut tentu menjadi suatu ironi, karena sejatinya Polrilah yang harus mendeterminasi keamanan dan ketentraman di tengah masyarakat. Hal tersebutlah yang ditegaskan dalam norma Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang menggariskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada msyarakat, serta terbinanya ketentraman dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.  

 

 

Referensi

Ismail Rumadan, Peran Peradilan Sebagai Institusi Penegak Hukum Dalam Menegakkan Keadilan Bagi Terwujudnya Perdamaian, Jurnal Rechtsvinding, (2017), Vol. 6, No. 1, hlm. 70.

Krisnadi Bremi, Politik Hukum Pidana Terhadap Pidana Mati Pelaku Pembunuhan Berencana Pasal 340 KUHPIDANA, Jurnal Ilmiah Publika, (2021), Vol. 9, No. 1, hlm. 47

Kompas.com, Ferdy Sambo Divonis Mati, Ini Jejak Kasus Pembunuhan Brigadir J, https://www.kompas.com/tren/read/2023/02/14/080500565/ferdy-sambo-divonis-mati-ini-jejak-kasus-pembunuhan-brigadir-j?page=all, diakses pada 21 Februari 2023.

Hukumonline, Ini Jeratan Pasal Dakwaan Ferdy Sambo dkk, https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-jeratan-pasal-dakwaan-ferdy-sambo-dkk-lt6345203ed1c9d, diakses pada 21 Februari 2023.

Tempo.co, Menyimak Lagi Deretan Pertimbangan Hakim Jatuhkan Hukuman Mati ke Ferdy Sambo, https://nasional.tempo.co/read/1691567/menyimak-lagi-deretan-pertimbangan-hakim-jatuhkan-hukuman-mati-ke-ferdy-sambo, diakses pada 21 Februari 2023

Tempo.co, Ragam Reaksi atas Vonis Mati Ferdy Sambo, https://nasional.tempo.co/read/1691012/ragam-reaksi-atas-vonis-mati-ferdy-sambo, diakses pada 21 Februari 2023

 


[1] https://www.kompas.com/tren/read/2023/02/14/080500565/ferdy-sambo-divonis-mati-ini-jejak-kasus-pembunuhan-brigadir-j?page=all

[2] ibid

[3] https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-jeratan-pasal-dakwaan-ferdy-sambo-dkk-lt6345203ed1c9d

[6] Ismail Rumadan, Peran Peradilan Sebagai Institusi Penegak Hukum Dalam Menegakkan Keadilan Bagi Terwujudnya Perdamaian, (2017), Jurnal Rechtsvinding, Vol. 6, No. 1, hlm. 70.

[7] Krisnadi Bremi, Politik Hukum Pidana Terhadap Pidana Mati Pelaku Pembunuhan Berencana Pasal 340 KUHPIDANA, (2021), Jurnal Ilmiah Publika, Vol. 9, No. 1, hlm. 47

Posting Komentar

0 Komentar