Vonis Hukuman Mati Sambo : Bentuk Pembatasan HAM Yang Diatur Oleh Negara

 

Vonis Hukuman Mati Sambo : Bentuk Pembatasan HAM Yang Diatur Oleh Negara

Oleh

Resti Chairunnisa Devara

Kasus Ferdy Sambo menemukan titik terang seiring dengan dijatuhinya vonis hukuman mati bagi terdakwa Ferdy Sambo oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Meskipun keputusan ini belum final dan Ferdy Sambo masih dapat mengajukan banding, akan tetapi putusan hukuman mati ini tetap mendapat antusiasme yang luar biasa dari berbagai kalangan masyarakat. Sebagian besar masyarakat menyambut baik putusan hakim tersebut karena dianggap telah mampu mewujudkan rasa keadilan yang diidamkan oleh masyarakat. Namun, tak sedikit juga masyarakat yang mengecam vonis mati Ferdy Sambo sebab dinilai sebagai pengambilan secara paksa hak untuk hidup seseorang oleh negara.

Apabila menguraikan permasalahan mengenai hukuman mati, maka tidak akan pernah terlepas dari permasalahan hak asasi manusia. Ketentuan mengenai hak asasi manusia sejatinya telah diatur dalam UUD NRI 1945, tepatnya dalam Pasal 28A yang menentukan bahwa negara menjamin hak untuk hidup seluruh warga negaranya. Dengan demikian, pelaksanaan hukuman mati bagi seorang terpidana ini secara tidak langsung mengartikan bahwa negara telah mengambil secara paksa hak mereka untuk bertahan hidup yang semestisnya dijamin oleh negara.

Penerapan vonis hukuman mati ini tidak hanya bertentangan dengan peraturan hak asasi manusia dalam UUD NRI 1945 saja, melainkan juga bertentangan dengan ketentuan hak asasi manusia yang diatur dalam hukum internasional. Dalam lingkup internasional, pelaksanaan hukuman mati secara tegas dinyatakan sangat bertentangan dengan hak yang dimiliki setiap individu untuk hidup dan bertahan hidup. Dengan adanya pengaturan tersebut, tak heran negara yang masih menjalankan hukuman mati ini semakin sedikit jumlahnya.

Lalu yang menjadi pertanyaan, mengapa Indonesia masih bertahan dan mempergunakan vonis hukuman mati kepada tersangka Ferdy Sambo, disaat hal ini telah bertentangan dengan Pasal 28A UUD NRI 1945 dan hukum internasional? Selain karena adanya ketentuan Pasal 340 KUHP yang mengatur mengenai pembunuhan berencana, alasan lain Indonesia masih dapat mempergunakan vonis hukuman mati ini adalah karena Konstitusi Negara Indonesia telah mengakomodir pembatasan terhadap hak asasi manusia yang termaktub dalam UUD NRI 1945. Pembatasan hak asasi tersebut disebutkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, negara juga telah mengatur adanya batasan dalam menjalankan hak dan kebebasan setiap individu guna menjamin pengakuan serta penghormatakan kepada hak kebebasan individu lainnya. Dimana pembatasan ini dilakukan dengan mempertimbangkan moral, nilai-nilai agama, keamanan, serta ketertiban dalam suatu masyarakat. Berpijak pada landasan tersebut, maka putusan hukuman mati Ferdy Sambo telah sah secara kontitusi dan dinilai tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Dalam hal ini, terdakwa Ferdy Sambo telah jelas mengambil hak hidup korban secara paksa dengan merencanakan pembunuhan secara matang yang melibatkan beberapa orang bawahannya. Terlebih lagi status yang dimiliki Ferdy Sambo sebagai pejabat tinggi dalam bidang kepolisian, membuat banyak masyarakat mengharapkan penjatuhan hukuman semaksimal mungkin bagi Ferdy Sambo. Lantaran masyarakat berpandangan bahwa sosok yang seharusnya menjadi tameng untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, justru melakukan kejahatan berat dengan menghabisi nyawa bawahannya sendiri. Hal ini memperlihatkan secara jelas moral dari Ferdy Sambo sebagai pejabat tinggi dalam dunia kepolisian telah tiada. Kemampuan dan kelebihannya yang dapat memiliki dan mempergunakan senjata api justru disalah gunakan dengan semena-mena untuk merenggut nyawa seseorang. Dengan begitu, sudah sepantasnya negara memberikan pembatasan dalam hak dan kebebasan Ferdy Sambo sebagai terdakwa dengan menilai dari berbagai sisi moral dan norma yang berlaku di masyarakat.

Tak hanya peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih memperbolehkan hukuman mati, dalam hukum internasional juga terdapat pasal yang mengatur mengenai pembolehan pelaksanaan hukuman mati ini bagi beberapa kriteria tindak pidana tertentu yang dianggap sangat serius. Sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2) ICCRP (International Convenant on Civil and Politial Rights), dimana negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati masih diperbolehkan untuk mempergunakan vonis hukuman mati ini dalam tindak pidana yang serius sesuai dengan undang-undang yang berlaku di negara tersebut. Sejalan dengan itu, dalam perundang-undangan di Indonesia, tepatnya pada Pasal 7 hingga Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, juga telah diatur beberapa ketentuan yang dapat dinyatakan sebagai kejahatan serius sebagai dasar penjatuhan hukuman mati, salah satunya yaitu pembunuhan yang perbuatannya dilakukan secara sistematik.

Putusan mengenai hukuman mati Ferdy Sambo ini tidaklah menyalahi aturan manapun, baik aturan perundang-undangan di Indonesia maupun hukum internasional. Mengingat pembunuhan yang dilakukan oleh Ferdy Sambo sebagai petinggi kepolisian dan dilakukan secara terencana membuat kasus ini pantas mendapatkan hukuman yang sangat berat. Selain bermanfaat sebagai peringatan kepada mereka yang memiliki jabatan tinggi untuk tidak memanfaatkan kekuasannya dengan melawan peraturan hukum, keputusan mengenai vonis hukuman mati yang ditetapkan kepada Ferdy Sambo ini juga dapat menjadi bukti dan harapan bahwasanya keadilan masih dapat ditegakkan di Indonesia dan mampu melawan kesewenagan seseorang yang memiliki jabatan dan kedudukan tinggi.

Posting Komentar

0 Komentar