Mengulik Konstitusionalitas Penetapan dan Pengesahan PERPU Nomor 2 Tahun 2022

 

Mengulik Konstitusionalitas Penetapan dan Pengesahan PERPU Nomor 2 Tahun 2022

Oleh 

Hafiz Haromain Simbolon

            Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU) merupakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden, hal itu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden   berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang”. Hal yang sama diatur kembali didalam Pasal 1 angka (4) UU No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang adalah peraturan perundang-undangan  yang  ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 1 angka (4) UU No.15 Tahun 2019 tersebut memberikan otoritas kepada Presiden secara subjektif untuk mempertimbangkan kondisi hal ikhwal kegentingan memaksa yang menjadi sebab dikeluarkannya PERPPU. Pasal tersebut juga harus ditafsirkan sebagai pedoman bagi Presiden dalam proses pembentukannya yang tidak boleh mengabaikan nilai nilai pada konstitusi.

Dalam rangka menguji konstitusionalitas penetapan penerbitan PERPU No.2 Tahun 2022, yang harus diperhatikan adalah redaksi “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 junto Pasal 1 angka (4) UU Nomor 15 Tahun 2019. Berlandaskan putusan MK maupun doktrin ahli yang diakui sebagai sumber hukum formil dalam sistem hukum Indonesia, bahwa putusan MK No.003/PUU-III/2005 telah memberikan makna  “hal kegentingan yang memaksa” yang dimana kegentingan memaksa tidak selalu disamakan dengan adanya keadaan bahaya seperti darurat sipil, militer, atau peperangan, tetapi kegentingan yang memaksa yang dimaksud  adalah hak subjektif  Presiden  untuk  menentukannya, hak subjektif itu menjadi objektif jika disetujui oleh DPR.

Putusan MK No.138/PUU-VII/2009 telah mencantumkan adanya 3 syarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagai alasan Presiden menetapkan PERPU yaitu :

1.       Adanya keadaan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang,

2.     Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai,

3.       Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undangundang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan 

       Selain itu, Jimly Ashidiqie, seorang akademisi dan praktisi hukum berpendapat bahwa terdapat syarat syarat penetepan PERPU yaitu :

1.       Adanya kebutuhan yang mendesak untuk bertindak,

2.       Waktu yang tersedia terbatas,

3.       Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar

Untuk mengetahui apakah penetapan PERPU No. 2 Tahun 2022 memenuhi syarat syarat diatas atau tidak, maka harus memperhatikan keadaan riil negara dan pemerintahan ketika PERPU itu ditetapkan. Hal itu dapat diketahui dari draft bagian “menimbang”. Namun dari bagian tersebut tidak ditemukan adanya “kegentingan yang memaksa” sebagai penyebab subjektif bagi Presiden  untuk  menetapkan  PERPU. Salah satu isi pertimbangannya adalah terdapat pada huruf (g) yang menyebutkan “Bahwa dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan  harga pangan, perubahan iklim (climate change) dan terganggunya rantai pasokan (supplay chain)  telah  menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan   inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional yang harus  direspon dengan standar kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam undang undang tentang cipta kerja”. Pertimbangan yang dimuat pada huruf (g) tersebut tidak  memperlihatkan adanya  keadaan  yang  dapat dikategorikan sebagai “kegentingan yang memaksa”. Kebutuhan mendesak yang termuat dalam pertimbangan yang disampaikan pemerintah sebagai penyebab dikeluarkannya PERPU No.2 tahun 2022 adalah tidak relevan jika dilihat dari kondisi rill ketika PERPU tersebut ditetapkan.

Disisi lain, terkait syarat kekosongan hukum sebagai syarat dikeluarkannya PERPU, maka yang perlu dipehatikan adalah substansi PERPU No. 2 tahun 2022 yang memiliki kesamaan materi dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inskonstitusional bersyarat oleh MK melalui putusan No. 91/PUU-XVII/2020 dengan ketentuan bahwa Undang Undang tersebut masih tetap  berlaku  sampai  dengan  dilakukan  perbaikan  pembentukan sesuai dengan tenggang waktu telah ditentukan dalam putusan tersebut. Hal itu berarti bahwa sebelum ditetapkannya PERPU No.2 tahun 2022 pada tanggal 30 Desember 2022 lalu, kenyataanya masih ada hukum yang mengatur hal hal yang dimaksud dalam PERPU tersebut yaitu UU No 11 tahun 2020 sebagai hukum positif pada saat itu. Oleh karena itu, tidak benar jika dikatakan terjadi kekosongan hukum. Selain itu, jika Pemerintah beralasan bahwa undang undang yang ada saat itu, yaitu UU No. 11 tahun 2020 tidak capable sebagai dalih kekosongan hukum, hal tersebut adalah tidak benar karena pada kenyataannya substansi materi yang terdapat dalam PERPU No. 2 Tahun 2022 adalah sama dengan materi yang terdapat dalam UU No.11 Tahun 2020. Pada akhirnya tidak ada alasan pembenar Pemerintah untuk menyatakan telah terjadi kekosongan hukum.

Syarat terakhir ditetapkannya PERPU adalah waktu yang diperlukan untuk membuat undang undang secara prosedural adalah waktu yang cukup lama, sedangkan ada keadaan mendesak yang harus diselesaikan. Syarat tersebut juga tidak terpenuhi, karena butir (5) dari amar putusan MK No.91/PUU-XVII/2020 memerintahkan kepada legislator untuk melakukan perbaikan dalam  jangka  waktu  paling  lama 2 tahun  sejak  putusan itu dikeluarkan  dan bila mana dalam jangka waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional permanen. Berdasarkan amar putusan  tersebut, diketahui bahwa  jangka  waktu yang ditetapkan MK kepada legislator untuk melakukan perbaikan adalah 2 tahun, yaitu sejak tanggal 3 November 2021 hingga 2 November 2023. Jangka waktu tersebut adalah jangka waktu cukup dan relatif lama untuk melakukan perbaikan. Seandainya, waktu perbaikan tersebut dimulai sejak Desember 2021, maka waktu tersebut relatif cukup untuk memperbaiki cacat formil UU No.11 tahun 2020.

Pada akhirnya, Presiden Jokowi seolah-olah mengingkari konstitusi dengan tetap mengeluarkan PERPU No.2 Tahun 2022 yang jelas jelas inkonstitusional, tidak mungkin beliau dan para ahli hukum yang ada di kabinetnya tidak mengerti ketentuan ketentuan dalam pasal 22 UUD NRI 1945. Selain itu, anehnya DPR yang seharusnya mewakili rakyat akan tetapi kenyataanya tidak mendengarkan suara rakyat yang menolak PERPU tersebut, malah mengabaikan suara rakyat dengan serta merta menyetujui dan mengesahkan PERPU yang inkonstitusional itu menjadi Undang-Undang. Begitu banyak pengingakaran konstitusi dan pengabaian suara rakyat yang dilakukan Pemerintah dan DPR, yang seharusnya tugas mereka adalah sebagai penegak konstitusi dan demokrasi akan tetapi malah sebaliknya.

Dalam perspektif konstitusional, baik dari segi putusan MK No.138/PUU-VII/2009 dan doktrin ahli yang mengatur alasan-alasan konstitusional penerbitan PERPU khususnya untuk memaknai “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, dikorelasikan dengan  putusan  MK  No.  91/PUU-XVII/2020 tanggal 3 November 2021, maka penerbitan dan pengesahan PERPU No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang tidak memenuhi syarat konstitusional dan terkesan dipaksakan. Hal ini telah membuat penetapan dan pengesahan PERPU No.2 tahun 2022 sebagai penetapan dan pengesahan yang melanggar putusan Mahkamah Konsitusi dan berimplikasi negatif dalam sejarah proses legislasi dan ketatanegaraan Indonesia.

 

Posting Komentar

0 Komentar