Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: Gerbang Penundaan Pemilu
Oleh: Resti Chairunnisa Devara (2210112006)
Rancangan mengenai penundaan pemilu
atau perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode kembali menjadi
sorotan utama publik. Hal ini dilatarbelakangi oleh gugatan yang diajukan
Partai Rakyat Adil dan Makmur (Partai Prima) kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU)
yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), melalui
Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Putusan ini sangat kontroversial
karena salah satu amarnya memerintahkan agar seluruh tahapan pemilu 2024 harus
dihentikan dan diulang kembali sedari awal. Kendati Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta pada 11 April 2023 kemarin telah membatalkan putusan ini, namun selama
putusan ini belum berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)
penundaan pemilu masih potensial terjadi.
Persoalan
ini menuai perdebatan di berbagai kalangan masyarakat biasa maupun kalangan praktisi
hukum. Hal ini disebabkan oleh isu penundaan pemilu atau perpanjangan masa
jabatan presiden yang telah lama diwacanakan oleh sejumlah pihak. Dengan kehadiran
putusan PN Jakpus ini bisa menjadi salah satu jalan bagi pihak yang
merencanakan penundaan pemilu berjalan dengan lancer. Disamping itu, hal ini
dapat menjadi legitimasi bahwa pemilu dapat ditunda dengan beberapa alasan
tertentu. Terbukti dari mulai bermunculnya partai-partai lain yang ikut
menggugat KPU ke PN Jakpus seperti yang dilakukan oleh Partai Prima dengan
harapan dapat menunda pemilu.
Dalam hal ini, KPU sebagai pihak
tergugat merupakan lembaga yang berasal dari pemerintah, yang mana wewenangnya
dalam menyelesaikan sengketa tindakan yang dilakukan oleh KPU ini ada pada
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dengan kata lain, PN Jakpus sama sekali
tidak memiliki kewenangan dalam menangani permasalahan yang terjadi diantara
KPU dan Partai Prima.
Sejalan dengan itu, permasalahan
mengenai wewenang ini juga telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 2
Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan
Kewenangan Mengenai Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan, yakni bahwa perkara perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau
pejabat pemerintahan (onrechtmatige verheidsdaad) tepatnya pada Pasal 10
dan 11. Dalam kedua pasal tersebut telah disebutkan bahwasanya perkara
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh lembaga/badan pemerintahan yang
diajukan ke Pengadilan Negeri (PN), tetapi belum diperiksa, dilimpahkan kepada PTUN
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian jika seandainya
perkara perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh lembaga negara tersebut
sedang diperiksa oleh PN maka PN harus menyatakan tidak berwenang mengadilinya.
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) MA tersebut, dapat disimpulkan
bahwa sejak awal seharusnya PN mengatakan tidak berwenang mengadili perkara
yang diajukan oleh pihak Prima.
Selain tidak mempunyai kewenangan
dalam memutuskan hal tersebut, putusan dari PN ini juga mengancam konstitusi
negara Indonesia dan menabrak norma dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu (UU Pemilu). Karena sejatinya dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya pada Pasal 22E telah diatur mengenai
ketentuan pemilu yang harus dilakukan lima tahun sekali. Dengan putusan dari PN
Jakpus tersebut yang menghukum KPU untuk tidak melanjutkan proses pemilu dan
mengulangnya kembali sedari awal akan membuat terjadinya pelanggaran pada
Konstitusi itu sendiri.
Sejalan dengan itu, UU Pemilu juga
tidak memberi ruang penyelesaian sengketa proses pemilu di PN. Di dalam
undang-undang ini, tepatnya pada pasal 468 dan pasal 469, wewenang dalam
menyelesaikan sengketa proses pemilu diberikan kepada Bawaslu sebagai pemutus
perkara pelanggaran administratif. Selain Bawaslu, dalam undang-undang ini,
penyelesaian sengketa pemilu juga dapat diselesaikan di PTUN sebagaimana yang
telah diatur pada pasal 470 hingga pasal 472.
Di dalam UU Pemilu juga tidak dikenal
adanya penundaan pemilu, yang ada hanya pemilu lanjutan dan pemilu susulan
serta dilakukan dalam keadaan tertentu yang membuat pelaksanaan pemilu tidak
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Adapun mengenai keadaan tertentu
tersebut juga telah diatur dalam pasal 431 UU Pemilu berupa kerusuhan, gangguan
keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya. Dari pasal tersebut jelas
diketahui bahwasanya pemilu lanjutan ataupun pemilu susulan tidak dapat
dilakukan jika tidak dalam keadaan darurat tertentu saja.
Melihat ada banyaknya kejanggalan
yang timbul dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut membuat
banyak spekulasi kian beredar di tengah masyarakat. Tidak hanya mempertanyakan
wewenang PN dalam menangani kasus ini, tetapi banyak kalangan ikut
mempertanyakan putusan yang diambil oleh Pengadilan. Walaupun putusan dari
Pengadilan tersebut merupakan bentuk keadilan yang dituntut oleh pihak Partai
Prima, akan tetapi hakim bisa saja memutuskan untuk tidak menuruti seluruh
tuntutan tersebut. Bilamana dalam tuntutannya terdapat hal-hal yang melanggar
Konstitusi, sebagai the supreme law of the land.
Meskipun ada banyak pihak yang
mempertanyakan serta menyayangkan putusan dari hakim PN Jakpus ini, namun
bagaimanapun juga putusan a quo tetaplah putusan yang sah dan wajib
dihormati oleh semua pihak termasuk oleh KPU. Maka untuk menguji kesahihan
putusan ini terdapat mekanisme upaya hukum bagi KPU.
Dikarenakan hal tersebut, jalan
satu-satunya yang dapat dilakukan oleh KPU adalah melalui jalur banding. Namun,
walaupun hasil banding telah menunjukkan kemenangan KPU dan menyatakan
bahwasanya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki wewenang dalam
memutuskan perkara ini, nyatanya hal ini masih tidak menjamin pemilu 2024 akan
berjalan dengan semestinya. Hal ini dikarenakan Partai Prima tidak menerima
hasil banding tersebut dan berencana akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Tentunya hal ini tidak sejalan dengan
ucapan Ketua Partai Prima yang mengatakan mereka menggugat KPU ke PN Jakpus
bukan untuk membuat pemilu 2024 tertunda. Dengan adanya rencana pengajuan
kasasi tersebut mengindikasikan Partai Prima tetap ingin membuat pemilu 2024
tertunda. Selain itu, verifikasi ulang yang diinginkan oleh Partai Prima telah
kembali dilaksanakan oleh KPU sebagai amanat dari Bawaslu. Kendati pada
akhirnya KPU kembali menyatakan Partai Prima tidak memenuhi persyaratan, namun
Partai Prima tetap bersikukuh KPU kembali melakukan kecurangan.
0 Komentar