Pengabaian
Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Air Bangis demi Kepentingan Investasi
Oleh: Fadhia Ananta Usman
Secara Konstitusional ketika berbicara soal konsep Agraria maka tidak akan jauh-jauh dari Pasal 33 Ayat (3) UUD 1935 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, secara jelas pengaturan terkait bagaimana kekayaan agraria ini harusnya dapat mengakomodir kemakmuran rakyat. Serta progres agraria ini juga cukup terakomodir dengan adanya keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Namun dalam praktik di lapangan sendiri kita dapat melihat bahwa mandat dari konstitusi dan UUPA ini tak memberikan jaminan kemakmuran seperti yang dijanjikan.
Keberadaan konflik agraria di tengah kepesatan pertumbuhan ekonomi memberikan gambaran bahwa sektor agraria Indonesia benar-benar memberikan keuntungan yang luar biasa. Pembukaan, perluasan dan ambil alih lahan sering kali memicu konflik yang mengikutsertakan masyarakat, konflik ini juga membuat adanya stigma baru terkait pemerintah yang seakan abai dan acuh menyikapi konflik agraria yang memiliki keterikatan dengan masyarakat. Sebagai negara yang luas dan kaya, Indonesia masih memiliki manajemen yang buruk terhadap tata ruang dan manajemen lahan sehingga konflik serupa sering terjadi dengan pola yang sama dengan daerah yang berbeda.
Sejak Senin, 31 Juli yang lalu berbagai golongan masyarakat Air Bangis menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Gubernur Sumatera Barat. Aksi ini merupakan buntut dari adanya penangkapan terhadap warga Air Bangis yang dikatakan melakukan kegiatan pertanian ilegal di kawasan perkebunan kelapa sawit di Air Bangis, selain itu adanya penjagaan yang ketat dari pihak kepolisian yang tersebar di sekitar wilayah Air Bangis menyebabkan Masyarakat merasa terancam dan takut. Menyikapi tekanan tersebut maka warga Air Bangis memutuskan untuk menyampaikan aspirasi mereka secara langsung kepada gubernur dengan membawa serta keluarga mereka.
Menarik garis waktu awal konflik agraria di Air Bangis ini dimulai dari adanya pengajuan kawasan Air Bangis untuk mengambil bagian dalam Proyek Strategis Nasional oleh Gubernur Sumatera Barat melalui keputusan Nomor 070/774/Balitbang-2021 kepada Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi RI untuk rencana pembangunan Industri Refinery dan Petrochemical serta sarana dan prasarana pendukung lainnya untuk dapat mengakomodir keberlangsungan industri ini di wilayah Nagari Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat. Gubernur mengajukan Kawasan Air Bangis dengan turut memberikan claim sepihak bahwa kawasan ini adalah kawasan yang clean dan clear dan bisa digunakan untuk proyek Pembangunan Kawasan industry, padahal fakta lapangannya belum ada kejelasan duduk perkara lahan antara Pemerintah Daerah dengan Masyarakat. Menurut data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar terdapat sekitar 30.000 hektare total keseluruhan lahan yang digunakan untuk Pembangunan kawasan industri ini, yang terdiri dari 1-5 hektare lahan per Kartu Keluarga KK. Lahan-lahan ini dulunya sebelum menjadi perkebunan sawit, dikelola dan dimanfaatkan untuk sektor persawahan, kebun cengkeh, coklat dan palawija. Sebagiannya lagi juga merupakan lahan bekas pemukiman penduduk yang sudah tidak ditempati lagi.
Pola kegiatan perkebunan Masyarakat sebelumnya mulai terganggu dengan pendekatan serta modus bahwa lahan yang mereka pakai berada dalam kawasan hutan produksi, yang mana pemerintah dengan sadar mendorong masyarakat untuk menyerahkan lahan tersebut kepada pemerintah dan pihak terkait yang memegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR). Namun keberadaan hutan produksi ini minim sosialisasi kepada masyarakat yang berujung menimbulkan konflik internal antar masyarakat Air Bangis dan pemerintah setempat. Masyarakat menilai bahwa lahan yang mereka gunakan sebagai perkebunan adalah tanah ulayat mereka dan pemerintah tak berhak mengambil alih lahan tersebut atas dasar bahwa lahan tersebut berada dalam kawasan hutan produksi.
Menilai persoalan kali ini tentu kita tak bisa jauh-jauh dari adanya kepentingan ekonomi yang kuat didalam konflik agraria masyarakat Air Bangis ini, apalagi mengetahui adanya narasi investasi besar-besaran yang akan dilaksanakan bukankah telah jelas ke arah mana pemerintah membawa masalah ini. Tak bisa bicara atas nama investasi saja, maka sesuai mandat Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 bahwa perekonomian hendaknya menjadi usaha bersama yang dijalankan atas dasar asas kekeluargaan memberikan kepastian bahwa dalam konsep “kekeluargaan” ini tak seharusnya pemerintah mencederai hak-hak keluarganya sendiri. Entah seberapa besar keuntungan investasi yang ditawarkan oleh investor kepada pemerintah terutama pemerintah daerah namun keberlangsungan hak-hak masyarakat Air Bangis adalah hal dasar yang perlu dipenuhi sebelum menyepakati investasi tersebut.
Dalam tatanan hukum nasional dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menjelaskan Hak menguasi dari Negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Merujuk pada kepentingan tanah ulayat permasalahan ini juga diterangkan dalam peraturan daerah setempat. Pun dalam kepentingan investasi telah diakomodir dengan baik dalam Pasal 10 Peraturan Daerah (Perda) Sumbar Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya yang menjelaskan bahwa Investor dapat memanfaatkan tanah ulayat dengan mengikut sertakan jajaran penguasa dan pemilik tanah ulayat berdasarkan kesepakatan masyarakat adat yang bersangkutan sebagai pemegang saham, bagi hasil dan dengan cara lain dalam waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Namun ketika berbicara konflik Masyarakat Air Bangis kesepakatan Masyarakat adat dengan mengikutsertakan penguasa dan pemegang saham tak tereaslisasi. Pemerintah Sumbar juga melakukan pelanggaran terhadapa ketentuan Perda ini.
Berdasarkan Data yang
dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, mencatat bahwa di
Sumbar sendiri ada total 1.159 nagari dengan komposisi 209 nagari berada diluar
kawasan hutan dan 950 nagari berada di dalam dan terletak disekitar hutan. Hal
ini menjadi pengingat kepada semua pihak, bahwa Permasalahan Air Bangis hanyalah
satu dari sekian ancaman konflik agraria Nasional terkhususnya dalam wilayah
Sumatera Barat. Terkait penyelesaian konflik agraria sendiri, sebenarnya dalam
Perpres nomor 86 tahun 2018 tentang Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria yang
juga diperkuat dengan Keputusan Kepala Staff Kepresidenan Republik Indonesia
No. 1B/T Tahun 2021 tentang Pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik
Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria telah berusahan membentuk
sistem penyelesaian yang kompleks. Penyelesaian Konflik Agraria ini di tawarkan
dengan menciptakan Tim Percepatan Penyelesaian
Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria melalui rapat
koordinasi lintas kementerian dan lembaga serta organisasi masyarakat sipil
(CSO) yang tupoksi utamanya adalah mengakomodir eksistensi tanah ulayat dan
melindungi hak Masyarakat adat. Peraturan ini diharapkan dapat menciptakan
penyelesaian konflik agraria sehingga akan ada kejelasan terkait permasalahan
agraria di Indonesia. Ketercapaian kejelasan konflik agraria ini juga akan
berimbas baik dalam segala kepentingan investasi yang sekiranya akan memberi
keuntungan dan meningkatkan kemakmuran kepada Masyarakat sesuai dengan amanat
konstitusi.
0 Komentar