HALANG RINTANG KARIR KPK: KOMISI PENYIMPAN KORUPTOR?

 

HALANG RINTANG KARIR KPK: KOMISI PENYIMPAN KORUPTOR?

Oleh: Akiko Ivana

Kader Kombad Justitia

            Sudah hampir satu minggu kebelakang rakyat Indonesia dihebohkan dengan berita penangkapan Firli Bahuri, ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diduga telah melakukan pemerasan kepada mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Firli disinyalir telah menerima gratifikasi terkait penanganan permasalahan hukum di Kementrian Pertanian sejak tahun 2022 silam. Hal ini membuat Firli diancam terjerat Pasal 12 huruf e atau Pasal 12 huruf b, maupun Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 KUHP dengan ancaman pidana penjara seumur hidup.

            Sangat miris memang apabila kita berkaca pada realita yang ada hari ini. Seseorang yang seharusnya menjadi tameng utama serta orang yang sepantasnya tak perlu lagi diragukan kebersihannya, justru menjadi pemain tersembunyi yang berlindung dibalik jabatan sendiri. Terkuaknya permainan Firli selama ini justru menimbulkan sejuta tanya bagi masyarakat awam; apakah sebenarnya KPK saat ini benar-benar berperan sebagai Komisi Pemberantas Korupsi, atau justru Komisi Penyimpan Koruptor?

            Ide pembentukan KPK sebenarnya pertama kali sudah diinisiasi pada masa pemerintahan Mantan Presiden Republik Indonesia ketiga, yakninya Presiden B.J. Habibie di tahun 1999. Pada saat itu, Habibie mengeluarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 yang mengatur tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Berdasarkan hadirnya instrumen hukum ini, akhirnya di masa pemerintahan Mantan Presiden kelima, Megawati Soekarno Putri, KPK secara resmi dibentuk dan berdiri dengan tugas pokok dan fungsi utama untuk melakukan pemberantasan, penanganan, penyelidikan, serta pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi.

            Sejak awal pembentukan, KPK diberikan legitimasi independen untuk mengeksekusi tugas-tugas yang dilimpahkan kepadanya. Independensi yang diberikan ini tak hanya sebagai bukti bahwasanya KPK adalah lembaga krusial yang memegang tanggung jawab dalam memberantas setiap tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia, namun juga sebagai bentuk upaya Indonesia dalam menekan angka tindak pidana korupsi yang cenderung menaik dari waktu ke waktu. Dikutip dari data Indonesia Corruption Watch (ICW), tren kasus korupsi dalam lima tahun belakangan adalah menaik, berkisar di angka 500 hingga 600 kasus dengan rata-rata kerugian negara ditaksir mencapai angka 22 triliun per tahunnya. Hal ini berkorelasi positif dengan penurunan indeks efektivitas kinerja KPK yang dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yakni terjadi penurunan sebanyak 20% dari tahun 2018 ke tahun 2020. Angka ini kembali menurun sejak kasus Firli terungkap, yang kemudian diikuti dengan beberapa kasus dan skandal internal KPK lainnya, seperti dugaan pungutan liar atau pungli di rutan KPK dengan nominal 4 milyar rupiah. ICW juga mencatat, terdapat 19 dugaan kasus pelanggaran kode etik internal KPK, namun masih belum diketahui bagaimana tindak lanjut dari penanganan kasus-kasus tersebut.

            Secara normatif, Undang-Undang No.20 Tahun 2001 sudah memberikan kepastian kepada tindak penanganan kasus korupsi di Indonesia, berikut bersama dengan pidana yang dihjatuhkan. Didalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 menjadi dasar pembentukan tim gabungan antara pemerintah dan masyarakat dalam memberantas tindak pidana korupsi. KPK. Dalam tataran implementatifnya pun sudah dilakukan, salah satunya adalah melalui pendidikan anti korupsi. Sebagai contoh, di Universitas Stikubank Semarang, undang-undang ini diimplementasikan melalui mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi yang diberikan kepada mahasiswa. Mata kuliah ini diharapkan dapat menjadikan mahasiswa sebagai agen perubahan untuk memerangi korupsi di Indonesia.

Degradasi dan Demoralisasi KPK sebagai lembaga independen khusus yang diberikan hak kewajiban istimewa dalam hal penanganan kasus korupsi patut kita cermati bersama. Sudah hampir 20 tahun berlalu lalang dalam mengemban tugas demi menciptakan Indonesia yang bersih dan bebas korupsi, KPK seyogyanya menjadi payung sekaligus pedang masyarakat untuk berlindung dan melawan kasus kejahatan korupsi, bukan malah menjadi duri dalam daging. Melalui hal ini juga, harapannya, cita-cita serta mimpi masyarakat Indonesia untuk menjadi bangsa anti-korupsi dapat tersuarakan dengan baik melalui reformasi kelembagaan dan restrukturisasi internal KPK. Dengan terjeratnya pucuk pemimpin KPK dalam kasus korupsi, sejatinya bukanlah menjadi alasan degradasi kualitas KPK itu sendiri, melainkan menjadi bahan introspeksi agar dapat kembali memenangkan kepercayaan masyarakat serta memberikan kontribusi nyata dalam penegakan serta pemberantasan segala macam bentuk tindak pidana korupsi yang merajalela di masa depan.

 

Posting Komentar

0 Komentar