Kajian Isu Strategis
Menyigi Ruang Aman Buruh Perempuan
A.
Latar
Belakang
Pada bulan Mei
yang lalu publik sempat dihebohkan dengan pemberitaan seorang karyawati di
Bekasi yang diajak “staycation” oleh atasannya sebagai syarat
perpanjangan kontrak kerja. Pada awalnya hubungan karyawati yang berinisial AD
ini dengan atasannya tersebut, layaknya hubungan atasan ke bawahan. Namun
seiring berjalannya waktu komunikasi dan ajakan untuk bertemu semakin intens
dan terkesan memaksa. Puncaknya secara tiba-tiba si atasan mengirim foto sebuah
hotel untuk mengajak AD staycation. Ajakan tersebut ditolak oleh AD,
hingga berujung ancaman kontrak tidak diperpanjang yang disampaikan secara
langsung oleh si atasan di tempat kerja.
Alih-alih
mendapatkan simpati, justru tak sedikit warganet yang menyalahkan AD selaku
korban dalam kasus ini (victim blaming). Sikap tersebut menurut
Satyawanti Mashudi selaku Komisioner Komisi nasional Perempuan (Komnas
Perempun) semakin menyudutkan korban sebab mendapatkan stigma dan mengalami
kekerasan berlapis. Padahal keberanian korban untuk speak up akan
pelecehan yang mengenainya patut diapresiasi, sebab acapkali perempuan korban
pelecehan seksual takut dan cendrung menutupi kasus yang menimpanya. Kasus tersebut
merupakan satu dari banyaknya kasus yang seolah-olah menormalisasikan kekerasan
seksual, yang membuktikan masih suramnya potret perlindungan terhadap
perempuan, terkhusus dalam konteks ini bagi buruh perempuan. Pentingnya
perlindungan bagi buruh perempuan adalah suatu keniscayaan Karena menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 sebanyak 39,52% atau sebanyak 51,79 juta
penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja adalah perempuan. Hadirnya
partipasi perempuan dalam dunia kerja telah memberikan kontribusi yang besar
dalam kesejahteraan keluarganya, khususnya bidang ekonomi.
B.
Regulasi
Terkait
Kasus di atas
menjadi satu dari sekian banyaknya kasus yang membuktikan bagaimana ruang aman
bagi buruh perempuan masih menjadi pertanyaan di republik ini. Padahal jika
ditilik dalam tataran regulasi, sejatinya sudah mendeterminasi ruang aman tersebut.
Dimulai dari amanat Konstitusi, misalnya pada Pasal 27 ayat (2) yang
menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan, dan dalam Pasal 28D ayat (2) juga menggariskan setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja. Lebih lanjut dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan “Setiap pekerja/buruh
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a.
keselamatan
dan kesehatan kerja;
b.
moral
dan kesusilaan; dan
c.
perlakukan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama
Jika ditinjau
dalam perspektif hukum pidana, perbuatan si atasan dalam kasus ini dapat
dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Hal tersebut sebagaimana yang diakomodir dalam
ketentuan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual, yang mengatur bahwasanya setiap orang yang
menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari
tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan,
ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan
menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan
atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
300.000.000.
C.
Masih
Mengakarnya Budaya Patriarkis
Berangkat dari
fenomena tersebut, sejatinya tidak dapat dilepaskan dari budaya patriarki yang
masih mengakar di tengah masyarakat hingga saat ini. Budaya ini merupakan
sebuah sistem sosial, yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang memiliki
kewenangan lebih sehingga menjadi pusat kontrol dalam sistem sosial tersebut. Lebih
lanjut budaya ini memandang kaum laki-laki secara nilai berada satu tingkat di
atas perempuan, sehingga dapat mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan
masyarakat.
Kian langgengnya
budaya ini dalam dunia kerja, disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya
disebabkan oleh rasio jumlah pekerja laki-laki dan perempuan yang masih sangat
timpang. Dalam beberapa studi membuktikan bahwa kantor atau institusi yang
jumlah pekerja laki-laki dan perempuannya timpang (jumlah pekerja laki-laki
lebih banyak), beresiko untuk mengalami pelecehan seksual lebih besar.
Ketimpangan tersebut pada akhirnya juga akan mempengaruhi budaya dari institusi
atau kantor tersebut. Kuatnya dominasi laki-laki membuka jalan dianutnya sistem
patriarki, posisi perempuan seolah-olah “dioperasi” oleh laki-laki dan acapkali
tidak dapat melawan jika dilecehkan secara seksual.
Referensi
Cut
Intan dan Richa Meliza, Kehidupan Buruh Tani Perempuan dalam membantu
Perekonomian Rumah Tangga, (2021), Jurnal Aceh Anthropological Journal,
Vol. 5, No. 5, hlm. 84.
Sarah
Apriliandra, Perilaku Diskriminatif Pada Perempuan Akibat Kuatnya Budaya
Patriarki di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Konflik, Jurnal Kolaborasi
Resolusi Konflik, (2021), Vol. 3, No. 1,
hlm. 3.
Fiana
Dwiyanti, Pelecehan Seksual Pada Perempuan di Tempat Kerja (Studi Kasus Kantor
Satpol PP Provinsi DKI Jakarta), (2014), Jurnal Kriminologi Indonesia,
Vol. 10, No. 1. hlm. 33-34.
CNN
Indonesia, Kronologi Bos Ajak Staycation Karyawati AD, Bermula dari Makan
Siang, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230509103846-20-947084/kronologi-bos-ajak-staycation-karyawati-ad-bermula-dari-makan-siang, diakses pada 22 Juni 2023.
Databoks,
Mayoritas Perempuan Indonesia Bekerja sebagai Tenaga Penjualan, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/04/09/mayoritas-perempuan-indonesia-bekerja-sebagai-tenaga-penjualan, diakses pada 22 Juni 2023.
Kompas,
Teganya Warganet Hujat Karyawati yang Ungkap Eksploitasi Seksual Bos dengan
Modus Ajak “Staycation”, https://megapolitan.kompas.com/read/2023/05/17/05100041/teganya-warganet-hujat-karyawati-yang-ungkap-eksploitasi-seksual-bos?page=all, diakses pada 22 Juni 2023.
0 Komentar