KAJIAN ISU STRATEGIS
PUTUSAN MKMK SUDAHKAH TEPAT?
Latar Belakang
Pasca Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan
sebagian permohonan yang menguji norma Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), berbuntut pada masuknya laporan dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi (KEPHK). Dari 21 laporan
yang diterima oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), laporan terbanyak
dialamatkan kepada Ketua MK Anwar Usman yaitu sejumlah 16 laporan, kemudian disusul
laporan terhadap Saldi Isra, Arief Hidayat dan enam Hakim Konstitusi lainnya.
Laporan terhadap Anwar Usman mendapatkan atensi publik yang tinggi, disebabkan
konflik kepentingan yang menyelimutinya dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 a
quo. Bagaimana tidak, putusan ini menjadi lampu hijau bagi Gibran
Rakabuming Raka untuk mendaftarkan diri sebagai Calon Wakil Presiden. Padahal
sebagaimana yang diketahui, sejak Anwar Usman menikahi adik Presiden Jokowi
secara otomatis terjalin hubungan keponakan dan paman diantara Gibran dan Anwar.
Sikap Anwar yang tidak mengundurkan diri dari perkara di
atas disinyalir telah melanggar ketentuan Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang
menggariskan bahwa seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung
dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas
permintaan yang berperkara. Di samping itu, Anwar Usman diduga juga telah melanggar KEPHK sebagaimana
termaktub dalam Peraturan MK Nomor 09/PMK/2006. Tepatnya pelanggaran atas
Prinsip Ketidakberpihakan penerapan angka 5 yang menyatakan Hakim konstitusi
kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum untuk melakukan persidangan
harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut
tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena
alasan-alasan di bawah ini:
a.
Hakim
konstitusi tersebut nyata-nyata mempuyai prasangka terhadap salah satu pihak;
dan/atau
b.
Hakim
konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung
terhadap putusan.
Adapun laporan pelanggaran
etik terhadap Saldi Isra diakibatkan dissenting opinionnya yang dianggap
berlebihan sehingga merendahkan martabat MK, begitu juga laporan terhadap Arief
Hidayat. Di samping permasalahan dari pernyataan Arief Hidayat saat menghadiri
acara Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan wawancaranya dengan Medcom.id.
Sedangkan Hakim Konstitusi lainnya dilaporkan secara kolektif atas kebocoran
hasil Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dalam perkara kontroversial ini.
Putusan MKMK
Prof. Jimly Asshiddiqie, Dr. Wahiddudin Adams,
dan Prof. Bintan Saragih ditunjuk sebagai majelis MKMK dalam memutuskan laporan
pelanggaran etik yang masuk, di mana Prof. Jimly ditetapkan menjadi ketuanya.
Tiga tokoh tersebut masing-masing mewakili unsur majelis MKMK sebagaimana
amanat dalam Pasal 27A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU
MK), yaitu 1 orang Hakim Konstitusi aktif, 1 orang Tokoh Masyarakat, dan 1
orang akademisi berlatar belakang di bidang hukum. Setelah melakukan pemeriksaan
terhadap seluruh Hakim Konstitusi, akhirnya pada 7 November 2023 MKMK
mengeluarkan empat putusan sekaligus. Tiga putusan masing-masing untuk Anwar
Usman, Saldi Isra, dan Arief Hidayat, sedangkan satu putusan lagi untuk Hakim
Konstitusi lainnya.
Putusan pertama yang dibacakan oleh MKMK adalah Putusan
Nomor 5/MKMK/L/11/2023 yang merupakan putusan yang ditujukan terhadap seluruh
Hakim Konstitusi. Majelis Kehormatan memutuskan seluruh Hakim MK secara
bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, khususnya pada Prinsip
Kepantasan dan Kesopanan. Atas dasar demikian MKMK memberikan sanksi teguran
lisan secara kolektif kepada 9 Hakim Konstitusi. Putusan ini merupakan buntut
dari laporan bocornya RPH sebelum putusan dibacakan.
Setelah
Putusan tersebut, MKMK membacakan putusan Nomor 3/MKMK/L/11/2023 yang
dikhususkan untuk Hakim Konstitusi Saldi Isra. Akan tetapi MKMK menyatakan
bahwa dugaan pelanggaran Kode Etik terkait dissenting opinion-nya dalam
Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak terbukti. Selanjutnya, Majelis membacakan
Putusan Nomor 4/MKMK/L/11/2023 yang dialamatkan kepada Arief Hidayat. Laporan
dugaan pelanggaran Kode Etik terhadap Arief juga terkait dissenting opinion-nya,
ditambah dengan pernyataannya pada saat acara Konferensi Hukum Nasional 2023
yang diselenggarakan oleh BPHN dan wawancaranya dengan Medcom.id. Akhirnya MKMK
memutuskan bahwa dissenting opinion Arief tidak terbukti melanggar Kode
Etik. Sedangkan pernyataannya dalam Konferensi Hukum Nasional dan wawancaranya
dengan podcast Medcom.id terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama pada
Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. Karena narasi yang dibangun oleh Arief di
ruang publik tersebut telah merendahkan martabat MK, akibatnya Arief dijatuhi
sanksi teguran tertulis.
Terakhir,
Putusan Nomor 2/MKMK/L/11/2023 yang khusus ditujukan kepada Anwar Usman dan
merupakan putusan yang paling dinanti-nanti oleh publik. Terdapat beberapa
fakta yang ternyata terbukti merupakan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan
oleh Anwar, seperti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam
proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Pada akhirnya MKMK memutuskan
Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan
Perilaku Hakim Konstitusi tepatnya pada Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip
Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip
Kepantasan dan Kesopanan. Bahkan Anwar diberhentikan dari jabatan Ketua MK dan
tidak boleh lagi mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai
pada masa jabatannya berakhir. Tidak berakhir sampai disitu, Anwar tidak
diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan
keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,
Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.
Tepatkah?
Pasca pengucapan Putusan MKMK tersebut, tidak sedikit
pihak yang merasa kecewa. Misalnya datang dari Petrus Selestinus dari Perekat
Nusantara yang juga merupakan salah seorang pelapor dalam Putusan MKMK yang telah
memakzulkan Anwar Usman dari posisinya sebagai Ketua MK ini. Menurutnya,
dikarenakan Anwar telah terbukti melakukan pelanggaran etik berat semestinya
diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana pengaturan dalam ketentuan Pasal
47 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023
tentang MKMK (PMK tentang MKMK).[1] Hal
ini juga selaras dengan dissenting opinion yang dituliskan oleh Prof.
Bintan Saragih dalam Putusan MKMK tersebut. Di sisi lain, Denny Indrayana juga
menyayangkan Putusan MKMK tidak dapat memerintahkan MK untuk memeriksa kembali
Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang telah mengubah batas usia minimum Calon
Presiden dan Calon Wakil Presiden dengan komposisi Hakim Konstitusi yang
berbeda. Pasalnya, pelanggaran etik berat telah terbukti dalam perkara a quo
dan UU Kekuasaan Kehakiman memberikan peluang untuk itu .[2]
Akan tetapi, Prof. Jimly menyatakan alasan mengapa Anwar
tidak diberhentikan secara tidak hormat dari Hakim Konstitusi, dikarenakan
dirinya dapat mengajukan banding jika hal itu terjadi. Alasan tersebut bukanlah
tanpa dasar, sebab dalam Pasal 44 PMK tentang MKMK memang memberikan ruang akan
hal demikian. Adapun dalam konteks mengapa MKMK tidak dapat memerintahkan MK
untuk memeriksa Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, disebabkan hal tersebut bukanlah
domain dari MKMK. Karena Konstitusi telah tegas mengatur bahwa putusan MK final
and binding.
Terlepas dari tepat atau tidaknya putusan MKMK,
setidaknya MKMK telah menampilkan bagaimana nilai-nilai etika mesti menjadi
tumpuan bagi aparat penegak hukum khususnya dalam konteks ini bagi Hakim Konstitusi.
Bagaimana dekatnya hubungan antara etika dan hukum pernah digambarkan oleh Mantan Ketua Mahkamah Agung Amerika
Serikat Earl Warren yang menyatakan, “In civilized life, law floats in a sea
of ethics” (dalam kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudera
etika). Warren menyebut hukum itu sebagai sesuatu yang hanya dapat tegak,
berlayar, bergerak di atas etika. Etika adalah landasan bagi hukum dan
mengapung di atas samuderanya. Kemudian beliau mendalilkan hukum tak mungkin
tegak dengan cara yang adil jika air samudera etika tidak mengalir atau tidak
berfungsi dengan baik.[3]
Daftar Referensi
Harmoko M Said, Menggagas Peradilan Etik Penyelenggara Negara di
Indonesia, (2021), Jurnal SASI, Vol. 27, No. 1, hlm. 26.
Detik, Kecewa Putusan MKMK, Pelapor Bakal Adukan Anwar Usman ke
Ombudsman, https://news.detik.com/pemilu/d-7024622/kecewa-putusan-mkmk-pelapor-bakal-adukan-anwar-usman-ke-ombudsman, diakses pada 16 November 2023.
CNN Indonesia, Denny Kecewa MKMK Tak Tegas Perintahkan MK Periksa
Ulang Perkara 90, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231108093506-12-1021363/denny-kecewa-mkmk-tak-tegas-perintahkan-mk-periksa-ulang-perkara-90, diakses pada 16 November 2023.
Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023
Putusan MKMK Nomor 3/MKMK/L/11/2023
Putusan MKMK Nomor 4/MKMK/L/11/2023
Putusan MKMK Nomor 5/MKMK/L/11/2023
[1] Detik, Kecewa
Putusan MKMK, Pelapor Bakal Adukan Anwar Usman ke Ombudsman, https://news.detik.com/pemilu/d-7024622/kecewa-putusan-mkmk-pelapor-bakal-adukan-anwar-usman-ke-ombudsman, diakses pada 16 November 2023.
[2] CNN Indonesia,
Denny Kecewa MKMK Tak Tegas Perintahkan MK Periksa Ulang Perkara 90, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231108093506-12-1021363/denny-kecewa-mkmk-tak-tegas-perintahkan-mk-periksa-ulang-perkara-90, diakses pada 16 November 2023.
[3] Harmoko M
Said, Menggagas Peradilan Etik Penyelenggara Negara di Indonesia, (2021), Jurnal
SASI, Vol. 27, No. 1, hlm. 26.
0 Komentar