Menilisik Putusan Mahkamah Konstitusi Soal Batas Usia Capres-Cawapres dalam Perspektif Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator

Menilisik Putusan Mahkamah Konstitusi Soal Batas Usia Capres-Cawapres dalam Perspektif Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator

 Oleh: Hafiz Haromain Simbolon

 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU-XXI/2023 soal batas usia capres-cawapres yang mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” terus menerus menuai polemik. Salah satu polemik yang timbul adalah banyak pihak yang menilai bahwa substansi putusan MK soal batas usia capres-cawapres telah melampau kapasitas dan kewenangan MK sebagai negative legislator. Pasal 57 ayat (2) UU MK telah memberikan cerminan mengenai kewenangan MK sebagai negative legislator. Negative legislator merupakan peran dan kewenangan yang dimiliki MK sebagai lembaga yudikatif untuk menguji dan membatalkan Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945/inkonstitusional. Kewenangan negative legislator yang dimiliki MK tersebut merupakan salah satu bentuk judicial restraint. Teori judicial restraint dikemukakan oleh James B. Thayer dalam karyanya yang berjudul “The Origin and Scope of The American Doctrine of Constitutional Law”. Teori tersebut menyebutkan bahwa pengadilan harus memiliki limitasi akan kewenangan dan kompetensinya sehingga dapat menahan diri untuk mengadili atau membuat kebijakan yang tidak berada dalam kewenangannya.

Dalam amar putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Jika kita menelaah original intent yang terdapat dalam risalah perubahan UUD 1945 NRI 1945, mayoritas fraksi pengubah UUD di MPR berpendapat usia minimal presiden adalah 40 tahun, tetapi dengan mempertimbangkan persoalan usia di masa depan yang berpotensi mengalami dinamika dan tidak ada parameter yang ideal, pengubah UUD setuju untuk menjadikan persoalan usia diatur lebih jelas dalam undang-undang yang dalam konteks ini UU yang mengatur adalah UU Pemilu.  Artinya, penentuan usia minimal presiden dan wakil presiden adalah menjadi ranah pembentuk undang-undang (open legal policy). Namun pada putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 tersebut, MK seolah-olah berperan sebagai positive legislator dengan membuat norma baru dalam pasal yang diuji dengan adanya penambahan syarat dan ketentuan umur capres-cawapres berupa pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah yang seharusnya menjadi kewenangan legislator.

Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 tersebut bertolak belakang dengan putusan-putusan MK sebelumnya, seperti putusan MK No.22/PUU/XV/2017 soal batas usia perkawinan yang dinaikkan menjadi 19 tahun bagi perempuan. Dalam putusan ini, MK memberi jangka waktu selama 3 tahun kepada legislator untuk melakukan revisi terbatas pada UU Perkawinan terkait batas usia perkawinan bagi perempuan yang dinaikkan menjadi 19 tahun. Pada putusan tersebut MK lebih rasional karena melihat dampak negatif/buruk terhadap perkawinan anak yang langsung dialami para pemohon.dan dengan tegas menunjukan sikap sebagai negative legislator. Sedangkan, dalam putusan pengujian pasal batas usia capres-cawapres, cenderung menunjukkan peran sebagai positive legislative yang pada akhirnya menimbulkan polemik di masyarakat.

Pada dasarnya, berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, kewenangan yang dimiliki MK hanyalah terbatas pada pengujian UU terhadap UUD NRI 1945 baik dari segi formil maupun materiil. Sedangkan pemberian kewenangan MK untuk menguji UU terhadap UUD NRI 1945 tersebut didasarkan pada kedudukan MK yang dipandang sebagai pengawal konstitusi (guardian of constitution). Pada konteks itu, MK memiliki peranan kekuasaan kehakiman yang penting untuk mengawasi penegakan UUD NRI 1945. Kewenangan negative legislator yang dimilliki MK seharusnya diimplementasikan dengan pembatalan, pengurangan, dan penghapusan norma-norma dalam sebuah Undang-Undang. Hal itu itu sejalan dengan pandangan Hans Kelsen yang menyatakan “a court which is competent to abolish laws individually or generally function as a negative legislature”.  Dalam arti lain MK tidak berwenang untuk membuat/menambah norma-norma pada UU yang diuji, tidak seperti DPR dan presiden yang dapat mebuat norma-norma baru dalam UU, MK hanya berwenang untuk membatalkan/menghapuskan norma dalam UU tersebut. Adanya perbedaan kewenangan dan pembatasan tersebut juga dilakukan dalam rangka menjaga checks and balances antar lembaga legislatif dan yudikatif.

 

 

 

 

 

  

Posting Komentar

0 Komentar