Tafsir Realistis Penggunaan Hak Angket Atas Dugaan Kecurangan Pemilu

 Tafsir Realistis Penggunaan Hak Angket Atas Dugaan Kecurangan Pemilu

Oleh : Muhammad Heru


    Berada di tengah dinamika pasca-Pemilu Presiden 2024, wacana hak angket menjadi salah satu diskursus yang menarik untuk dikaji lebih jauh, terutama terkait kemana sebenarnya arah pengguliran hak angket dan menakar seberapa penting penggunaan hak angket atas kecurangan pemilu kali ini.

    Hak angket merupakan salah satu hak ekslusif DPR yang disebutkan di dalam Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945 sebagai implementasi dari pelaksanaan fungsi pengawasan. Sebagai hak ekslusif, hak angket memberikan wewenang kepada DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang yang berkaitan dengan hal penting strategis dan berdampak luas terhadap kehidupan bermasyarakat berbangsa bernegara yang diduga tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan. Diatur dalam pasal 199 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014, hak angket diusulkan paling sedikit 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.

    Penyelenggaraan hak angket ini sejatinya adalah sebagai bentuk perwujudan dari prinsip hukum tata negara yaitu check and balance yang hakikatnya sebagai instrumen pengawasan terhadap eksekutif. Mengingat wacana hak angket ini berkaitan erat dengan kecurangan pemilu 2024, maka perlu dipaparkan secara ringkas terlebih dahulu terkait beberapa dugaan pelanggaran yang terjadi pada pemilu ini sehingga kita dapat menilai apakah wacana hak angket ini sudah sepatutnya diselenggarakan oleh DPR.

    Dalam sejarah kepemiluan di Indonesia, selalu terdapat kecurangan berupa pelanggaran- pelanggaran yang terjadi pada proses penyelenggaraan pemilu. Walaupun demikian, terhadap Pemilu Serentak 2024 ini boleh dikatakan paling problematik yang pernah ada pascareformasi di Indonesia. Sebab, begitu banyak dugaan pelanggaran luar biasa terjadi dalam Pemilu 2024 ini yang melibatkan pemerintah dan instrumen kekuasaannya.

    Pelanggaran-pelanggaran seperti ketidaknetralan pejabat dan aparat negara dalam pemilu, penyalahgunaan bantuan sosial yang nilainya mencapai 496 triliun menjelang pemilu dan dilakukan oleh penyelenggara negara yang menggiring untuk memilih pasangan calon tertentu yang nyata-nyatanya melanggar ketentuan Pasal 547 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

    Kemudian terkait penyataan Presiden Jokowi yang akan melakukan cawe-cawe pada Pemilu 2024. Menurut teori the rule of law yang dipopulerkan oleh A. V. Dicey, cawe-cawe presiden dalam pemilu merupakan pelanggaran terhadap pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, karena pada prinsipnya yang berwenang menyelenggarakan pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan KPU merupakan lembaga independen yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun termasuk presiden.

    Selanjutnya pelanggaran yang jadi pemicu kecurangan pemilu adalah terkait putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menelurkan lolosnya Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden melalui proses yang tidak konstitusional. Bagaimana tidak, karena sebenarnya MK tidak memiliki wewenang sama sekali untuk merubah undang-undang dengan model konstitusional bersyarat yang sifatnya open legal policy yang seharusnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang selaku yang berwenang. Lalu masalah ketua MK, yang diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua MK oleh keputusan MKMK akibat tidak mengundurkan diri ketika menangani perkara yang memiliki konflik kepentingan. Didukung lagi dengan peringatan dari DKPP yang menyatakan pelanggaran terhadap KPU akibat menerima pencalonan Gibran menjadi calon wakil presiden. Bawaslu sebagai pengawas KPU pun juga dinilai tidak terlalu tegas dalam menindak pelanggaran yang terjadi.

    Berdasarkan paparan di atas yang menggambarkan keadaan a quo bagaimana kecurangan yang terang benderang itu dimainkan oleh pemegang kekuasaan tertinggi negara yang membuat masyarakat khawatir dan resah melihat kondisi ketatanegaraan dan demokrasi yang memilukan ini. Tidak ada kalimat yang lebih bagus untuk menggambarkan fenomena saat ini selain dari pernyataan Thanos di Avenger’s End Game: “You Couldn’t Live with Your Own Failure, Where Did that Bring You? Back to Me.” Perlu diingat, pemerintah yang memahami seberapa besar kuasa dan legitimasi yang dimiliki olehnya seharusnya tidak mungkin bisa semaunya mengabaikan norma dan aturan yang ada.

    Kini, masalah yang timbul adalah di mana pemerintah dan lembaga-lembaga negara memiliki legitimasi yang rendah dan mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap hal itu. Untuk itu sudah sepatutnya hak angket harus segera digulirkan oleh DPR untuk mengembalikan legitimasi dan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Namun, perlu diketahui bahwa hak angket dalam mengusut kecurangan pemilu ini sebetulnya tidak akan bisa memengaruhi atau bahkan membatalkan hasil pemilu karena sejatinya DPR tidak memiliki wewenang sama sekali atas hal tersebut.

    Dalam konteks pemilu kali ini, perlu ditekankan bahwa penggunaan hak angket sejatinya tidak dapat dipandang hanya sekadar untuk kepentingan elektoral semata, tetapi jauh daripada itu yakni diperuntukkan sebagai bentuk reaksi proaktif DPR, sebagai representasi dari masyarakat yang resah melihat keadaan a quo, untuk menindak eksekutif terkait apakah memang ada korelasi antara intervensi kepala negara atau pemerintah yang berimplikasi terhadap hasil suara pemilu.

    Sebab, hak angket memberi kewenangan eksklusif kepada DPR untuk menginvestigasi eksekutif atau pemain utama yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu ini yang berpotensi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan istimewa yang dimaksud yaitu apabila objek yang diinvestigasi oleh DPR tidak memenuhi apa yang diperlukan untuk membuat terang dugaan kecurangan, maka DPR dapat menggunakan upaya paksa dengan menggunakan alat kelengkapan negara untuk membuat terang suatu dugaan kecurangan tersebut secara transparansi sehingga publik jadi tahu bagaimana kebenaran yang sesungguhnya.

    Output diselenggarakannya hak angket ini jika memang kecurangan itu terbukti adalah selain mengembalikan legitimasi dan kepercayaan publik juga sebagai peringatan atau bahkan penghukuman kepada kepala negara atau pemerintah bahwa tindakan yang telah dilakukan dalam hal ini sangat jauh menyimpang dari prinsip ketatanegaraan dan demokrasi Indonesia. Selain itu, juga jadi peringatan kepada institusi penegak hukum untuk lebih tegas dan berani dalam menindak pelanggaran yang secara nyata telah melanggar ketentuan undang-undang.

    Melihat bagaimana penyelenggaraan pemilu kali ini yang jauh menyimpang dari prinsip ketatanegaraan dan demokrasi bahkan mengesampingkan konstitusi demi mengawetkan kekuasaan adalah sesuatu yang harus senantiasa dilawan dan kawal bersama. Jangan sampai hal yang sama terulang kembali. Jangan sampai kita menormalisasikan rezim yang lahir dengan cara yang kontroversial. Jangan sampai kita abai dan menerima ini semua sebagai suatu kebiasaan yang baru sehinnga melekat menjadi karakter bangsa. Jadikan pengguliran hak angket ini sebagai suatu penghukuman kepada rezim. Ini semua tak lain bertujuan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis di masa yang akan datang. Inilah urgensi dan esensi daripada hak angket oleh DPR dalam memberantas kecurangan pemilu kali ini.


Posting Komentar

0 Komentar