Mengurai Benang Kusut Pembuntutan JAMPIDSUS oleh Densus 88 Terkait Kasus Korupsi Timah

 Mengurai Benang Kusut Pembuntutan JAMPIDSUS oleh Densus 88 Terkait Kasus Korupsi Timah

Ihsanul Huda S (2310111120)



            Pembuntutan yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88) terhadap Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS) Kejaksaan Agung Febrie Ardiansyah, terkait kasus korupsi timah yang menimbulkan berbagai spekulasi dan pertanyaan. Kasus ini tidak hanya menyoroti aspek korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, tetapi juga mengangkat isu-isu terkait kewenangan dan prosedur hukum dalam penanganan kasus korupsi.

            Berbicara terkait pembuntutan di atas, hal ini merupakan tindakan yang merambah ke ranah privasi seseorang, ditambah lagi apabila pembuntutan tersebut dilandasi dengan latar belakang kepentingan yang dapat merugikan orang lain. Padahal di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah dijelaskan terutama di dalam Pasal 28G Ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Sehingga dapat digarisbawahi bahwa semua orang berhak atas rasa aman dari segala bentuk ancaman, baik itu dalam bentuk pembuntutan atau lainnya.

            Kasus korupsi timah melibatkan dugaan penyalahgunaan wewenang dan penyelewengan dana dalam pengelolaan dan distribusi sumber daya timah. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS) sebagai salah satu pejabat yang berperan dalam penanganan kasus-kasus korupsi besar di Indonesia, menjadi subjek pembuntutan oleh Densus 88. Pembuntutan ini dilakukan dengan dalih pengumpulan bukti dan pemantauan terhadap aktivitas yang mencurigakan.

            Sebelumnya perlu kita ketahui terlebih dahulu terkait apa sebenarnya tugas dan fungsi yang dimiliki oleh Densus 88 itu sendiri, apakah memang mereka memiliki tupoksi untuk melakukan pembuntutan atau pengawasan terhadap JAMPIDSUS, atau Densus 88 memang sengaja untuk melakukan pembuntutan sebagai refleksi dari intervensi atas suatu kepentingan yang terkait dengan kasus korupsi timah tersebut.

Pembentukan Densus 88 bermula dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang dihasilkan sebagai tanggapan terhadap meningkatnya serangan bom sejak tahun 2001. Instruksi ini kemudian diperkuat dengan penerbitan Paket Kebijakan Nasional untuk pemberantasan terorisme, yang terdiri dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pada masa itu, di dalam tubuh Polri sendiri memiliki beberapa satuan antiteror, seperti satuan antiteror Gegana Brimob Polri dan Satgas Bom Polri. Di samping itu, kepolisian juga memiliki sebuah organisasi serupa yang dikenal sebagai Direktorat VI Antiteror yang berada di bawah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Keberadaan Direktorat VI Antiteror ini menimbulkan tumpang-tindih dan sebagian besar memiliki fungsi serta tugas yang sama dengan Satuan Tugas (Satgas) Bom Polri. Sehingga Mabes Polri melakukan restrukturisasi terhadap Direktorat VI Antiteror melalui SK Kapolri Nomor 30/VI/2003, tanggal 20 Juni 2003. Langkah ini diambil untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 dan Pasal 28 dalam undang-undang tersebut, Densus 88 diberi kewenangan untuk melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen mana pun, selama 7 x 24 jam. Dengan demikian, terbentuklah Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri yang lebih dikenal dengan sebutan Densus 88.

Densus 88 sendiri memiliki tugas dan fungsi utama sebagai unit antiterorisme dengan kemampuan menangani berbagai ancaman teroris, mulai dari ancaman bom hingga situasi penyanderaan. Unit ini berpusat di Mabes Polri dan terdiri dari sekitar 400 personel, termasuk ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit serang yang dilengkapi dengan penembak jitu ahli. Selain beroperasi di pusat, Densus 88 juga terdapat di setiap kepolisian daerah (Polda). Unit Densus 88 di Polda ini terdiri dari 45-75 personel, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Tugas dan fungsi utama mereka adalah memeriksa laporan aktivitas terorisme di wilayahnya serta menangkap individu atau kelompok yang dipastikan sebagai anggota jaringan teroris yang berpotensi membahayakan keamanan dan keutuhan negara.

            Berdasarkan uraian tentang tupoksi dari Densus 88 di atas, tidak ada satupun dari tupoksi  tersebut yang menunjukkan wewenang Densus 88 di dalam ranah tindak pidana korupsi, ketika melihat riwayat misi yang dijalankan oleh satuan ini pun, mereka selalu menjalankan misi yang berkaitan dengan ancaman terorisme, karena memang itulah tugas utama mereka. Sehingga pembuntutan yang dilakukan oleh anggota Densus 88 dengan inisial Bripda IM terhadap JAMPIDSUS saat makan malam di sebuah restoran Prancis di Cipete, Jakarta Selatan, pada tanggal 19 Mei 2024 menjadi sebuah tindakan yang mengganggu independensi dari lembaga Kejaksaan  Agung. Karena dalam konteks  pembuntutan yang terjadi, bahkan anggota Densus tersebut juga diduga melakukan penyadapan teerhadap JAMPIDSUS, sehingga tindakan Densus 88 ini tidak bisa dikatakan sebagai bentuk pengawasan terhadap JAMPIDSUS, karena pengawasan terhadap JAMPIDSUS merupakan tugas dan wewenang dari Komisi Kejaksaan. Tidak  bisa dikatakan juga bahwa tindakan Densus 88 itu sebagai bentuk pengawalan terhadap JAMPIDSUS, karena sudah ada Polisi Militer yang melakukan tugas pengawalan. Jadi, dapat digarisbawahi bahwa Densus 88 telah melakukan tindakan di luar tugas dan kewenangannya sesuai dengan dasar hukum yang berlaku. Namun, terdapat juga pihak yang menafsirkan bahwa tindakan pembuntutan ini berkaitan dengan dugaan kasus korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Bangka Belitung, senilai Rp 271 triliun dan sedang ditangani oleh Febrie selaku JAMPIDSUS.

            Di dalam hukum sendiri ada yang dinamakan dengan asas kepastian hukum, yang mana asas ini mengharuskan setiap tindakan hukum didasarkan pada aturan yang jelas dan tegas. Pembuntutan tanpa dasar hukum yang kuat dapat dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang yang melanggar prinsip-prinsip keadilan. Selain itu, jika pembuntutan ini dilakukan tanpa prosedur yang sah, hal ini bisa merusak kredibilitas lembaga penegak hukum dan menurunkan kepercayaan publik.

            Dapat disimpulkan, bahwa pembuntutan JAMPIDSUS oleh Densus 88 terkait konteks kasus korupsi timah memunculkan pertanyaan penting tentang legalitas, prosedur hukum, dan keberadaan lembaga penegak hukum di Indonesia. Evaluasi ulang terhadap tindakan ini diperlukan demi memastikan bahwa penegakan hukum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum, dan independensi lembaga. Penting bagi lembaga penegak hukum untuk menjalankan tugas dalam batas kewenangannya dengan menghormati prosedur yang berlaku dan menghindari tindakan-tindakan yang dapat merusak integritas dan kepercayaan publik. Atas hal tersebut, menurut saya terkait pembuntutan yang dilakukan oleh anggota Densus 88 dengan inisial IM terhadap JAMPIDSUS merupakan bentuk intervensi karena IM telah keluar dari batas kewenangan dan  tugas yang telah ditetapkan baginya sebagai anggota dari Densus 88. Sehingga sinergi antar lembaga penegak hukum harus dibangun atas dasar saling menghormati dan kerjasama yang konstruktif untuk memastikan keberhasilan dalam upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang adil dan transparan.

Posting Komentar

0 Komentar