Implementasi Prinsip Demokrasi Pada Pengaturann Ambang Batas Pilkada Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi

 

Implementasi Prinsip Demokrasi Pada Pengaturann Ambang Batas Pilkada Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi

Diannisha Aurelia Putri



Ambang batas dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah persyaratan jumlah perolehan suara minimal yang harus diperoleh oleh partai politik atau gabungan partai politik yang akan mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, sehingga persyaratan ini harus dipenuhi oleh calon kepala daerah untuk dapat mengikuti pemilihan. Ambang batas ini dapat berupa jumlah dukungan yang harus diperoleh oleh calon dari partai politik atau jumlah dukungan yang harus diperoleh dari masyarakat. Pengaturan ini tentunya bertujuan untuk memastikan setiap calon memiliki dukungan dari masyarakat sehingga dapat mencerminkan keinginan dari masyarakat.

 Peraturan ambang batas Pilkada merupakan salah satu aspek penting dalam sistem demokrasi di Indonesia. Secara umum, ambang batas Pilkada dirancang untuk menghindari fragmentasi politik yang ekstrem dan memastikan bahwa calon kepala daerah yang terpilih memiliki dukungan yang signifikan dari masyarakat. Melalui ambang batas pilkada ini, tentunya akan sangat berpengaruh dalam menentukan jumlah partai politik yang dapat mengusung pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Namun, masalah akan muncul ketika ambang batas ini ditetapkan terlalu tinggi maupun terlalu rendah.

Pada dasarnya, pengaturan mengenai ambang batas Pilkada telah diatur dalam pasal 40 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2016, selanjutnya disebut UU Pilkada yang mengatur mengenai persyaratan ambang batas Pilkada paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Artinya, hanya partai politik atau gabungan partai yang telah memenuhi ambang batas tersebut yang dapat mengusung pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Ketika ambang batas yang ditetapkan terlalu tinggi, seperti yang diatur dalam UU Pilkada ini, maka hanya calon-calon tertentu yang memiliki basis dukungan yang tinggi dan kuat-lah yang dapat mencalonkan dirinya. Tentunya hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan bagi calon-calon kepala daerah yang sejatinya memiliki dukungan yang kuat dari masyarakat, namun partai politiknya tidak mapu mencapai ambang batas yang ditetapkan. Praktik seperti ini, akan dapat membatasi demokrasi dan mengurangi kesempatan bagi calon kepala daerah yang potensial naum belum dikenal secara luas.

Namun, belum lama ini Mahkamah Konstitusi (MK) melalui salah satu kewenangannya yang terdapat dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945, mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menurunkan ketentuan ambang batas Pilkada dan menyamakan persyaratan ambang batas bagi calon yang diusung partai politik maupun bagi calon independen sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada, yaitu ditentukan pada perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada masing-masing daerah. Terdapat empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen yang disesuaikan dengan besaran DPT di daerah terkait. Tidak dipungkiri, melalui putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 ini nyatanya menciptakan gejolak baru ditengah-tengah masyarakat, setelah Badan legislasi DPR mengadakan rapat untuk merevisi UU Pilkada yang diduga akan menganulir putusan MK dengan mengembalikan peraturan ambang batas Pilkada. Keputusan Badan legislasi DPR untuk menganulir putusan MK membawa kontroversi bagi masyarakat, karena sejatinya putusan MK sudah sejalan dengan nilai-nilai demokrasi dan pancasila di Indonesia.

Sejatinya, melalui peraturan ambang batas Pilkada yang cukup ketat tidak sejalan dengan prinsip demokrasi yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk ikut serta dalam proses politik dan pengambilan keputusan, hal ini sejalan dengan butir pertama sila keempat Pancasila yang mengakui bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama serta pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Karena, dengan dikembalikannya peraturan ambang batas pilkada akan mengurangi akses dan kesempatan partai politik kecil dan independen serta calon-calon yang tidak berafiliasi dengan partai politik besar untuk bertarung dalam pilkada sehingga dapat mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang mendasari keadilan, kebebasan dan kesetaraan partisipasi politik.

Maka, sejatinya putusan Mahkamah Konstitusi telah mencerminkan perannya sebagai “The Guardian Of Constitution”, karena melalui putusan ini, MK telah memastikan terselenggaranya tujuan yang dicita-citakan bangsa Indonesia yang terdapat dalam konstitusi dan putusan ini juga telah bersesuaian dengan nilai-nilai demokrasi yang dijalankan di Indonesia. Sehingga, ketika putusan Mahkamah Konstitusi ini dianulir oleh Badan Legislasi DPR, tentunya sudah mencoreng dan tidak mencerminkan nilai-nilai dasar dan prinsip penting demokrasi. Karena, tanpa adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini, akan memberikan rasa ketidakadilan pada masing-masing calon yang memiliki sifat negarawan, namun pencalonannya tidak dapat dilanjutkan karena terhalang oleh persyaratan ambang batas yang cukup ketat. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat mengikat bagi semua pihak sudah semestinya dijadikan sebagai dasar dan pedoman dalam pelaksanaan Pilkada mendatang

 

 

Posting Komentar

0 Komentar