Kastrat Edisi September
ADA APA DIBALIK KOMISI ANTIRASUAH INDONESIA?
PERIHAL PESAWAT JET
Anak
bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, tidak henti-hentinya menjadi
topik pembicaraan masyarakat. Terlepas dari kebijakan yang dikeluarkan oleh ayahnya,
Kaesang memiliki cara sendiri untuk mendapatkan atensi publik. Baru-baru ini, para
demonstran kembali beraksi sesaat mencuat kabar Kaesang akan mencalonkan diri pada
Pilkada 2024. Hal ini dianggap telah memasuki ranah nepotisme secara brutal
terlebih hal tersebut didukung oleh DPR yang menolak Putusan Mahkamah
Konstitusi terkait batas syarat usia minimal seseorang maju sebagai calon
kepala daerah, baik gubernur, bupati dan wali kota.
Dibalik
beragamnya permasalahan politik tersebut, sebuah postingan instagram dari akun Istri
Kaesang, Erina Gudono, malah memperparah keadaan. Publik menilai Kaesang dan
istrinya tidak memperdulikan aksi penolakan dari masyarakat atas segala
kebijakan yang timbul berkaitan dengan keluarganya. Persoalan postingan Erina ini
kemudian melebar menjadi sebuah dugaan kriminal. Spekulasi publik terhadap Pesawat
Jet Gulfstream G650ER yang dinaiki Kaesang dan Istrinya ke Amerika pada
postingan tersebut menjadi bumerang tersendiri. Pasalnya, pesawat jet tersebut jika
disewa ditaksir mencapai Rp8,7 Miliar. Warganet kemudian menyangkutpautkan soal
pesawat jet tersebut dengan gratifikasi. Inilah yang kemudian menjadi alasan
mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhirnya turun tangan untuk
menyelidiki dugaan tersebut.
SEPUTAR GRATIFIKASI
Berbicara
mengenai gratifikasi yang pada pokoknya berupa pemberian uang, barang,
diskonan, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan secara cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya (UU No.
20 Tahun 2001 Pasal 12b Ayat 1). Hal ini dapat disebut sebagai gratifikasi baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik/tanpa sarana elektronik. Gratifikasi yang diduga
dilakukan oleh Kaesang dan istrinya disebabkan berhubungan dengan jabatan yang penerimaan
tersebut dianggap tidak wajar, seperti sebuah jet pribadi dengan harga yang
fantastis.
Pada
dasarnya gratifikasi sering dikaitkan dengan suap dan pemerasan. Padahal
sejatinya, ketiga hal tersebut memiliki perbedaan. Adapun gratifikasi, yakni
berhubungan dengan jabatan, bersifat insentif (tanam budi), tidak membutuhkan
kesepakatan (transaksional). Contohnya: pengusaha memberi hadiah voucher
belanja kepada PNS karena merasa terbantu dalam pengurusan perizinan. Suap,
yakni transaksional (pertemuan kehendak pemberi dan penerima), umumnya
dilakukan secara tertutup. Contohnya: pengusaha menyuap pejabat pemerintah
untuk mendapatkan proyek. Pemerasan, yaitu adanya permintaan sepihak dari
pejabat (penerima), bersifat memaksa, penyalahgunaan kekuasaan. Contohnya:
pejabat memeriksa calon peserta tender untuk memberikan sejumlah uang dengan
ancaman jika tidak diberikan akan digugurkan dalam proses tender. Dapat dipastikan ketiga hal ini tergolong
korupsi yang bersifat merugikan. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hadir yang kemudian
membahas mengenai gratifikasi pada Pasal 12B dan 12C, hal ini dimaksudkan agar nantinya
penyelenggara negara dapat berhati-hati dalam memberikan ataupun menerima
pemberian.
Fenomena
gratifikasi ini tentunya perlu perhatian serius, sebab dapat menimbulkan
konsekuensi yang merugikan integritas, transparansi, dan keadilan dalam suatu
sistem. Di berbagai negara, gratifikasi telah menjadi fokus yang serius dalam
sektor publik atau swasta. Menteri Kelautan dan Perikanan pun telah mengatur
tentang pengendalian gratifikasi melalui Permen KP Nomor 12 Tahun 2021 tentang
Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Untuk mempermudah dalam pengendaliannya, Menteri Kelautan dan Perikanan
membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Di dalam peraturan tersebut diwajibkan pula kepada Unit Eselon I dan
Unit Pelaksana Teknis (UPT) untuk membentuk UPG di lingkungan kerjanya
masing-masing.
Korupsi
sering kali berawal dari kebiasaan yang tidak disadari oleh setiap pegawai
negeri atau pejabat negara, misalnya menerima pemberian suatu barang atau
fasilitas tertentu yang tidak wajar. Hal semacam ini semakin lama akan menjadi
kebiasaan yang cepat atau lambat akan memengaruhi pengambilan keputusan oleh yang
bersangkutan. Banyak orang berpendapat bahwa pemberian tersebut sekadar tanda
terima kasih dan sah-sah saja. Namun, perlu disadari bahwa pemberian tersebut
selalu terkait dengan jabatan yang dipangku oleh penerima serta kemungkinan
adanya kepentingan terselubung dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima
akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa. Maka dari
itu, gratifikasi tidak dapat diwajarkan keberadaannya di negeri ini.
Gratifikasi
bukanlah sebuah kasus baru. Kasus gratifikasi juga pernah menimpa Mantan Kepala
Bea Cukai pada tahun 2011 lalu. Beliau diduga telah menerima sejumlah uang dari
para pengusaha ekspor impor yang melakukan distribusi barang melalui Bandara Juanda
sebagai uang operasional. Atas dasar tersebut, Kejaksaan Agung menetapkan Argandiono
sebagai tersangka kasus gratifikasi. Akibat perbuatan tersangka diperkirakan
terjadi kerugian negara sebesar Rp11 Miliar. Dari kasus gratifikasi yang telah
terjadi sebelumnya, menjadikan masyarakat Indonesia tidak lagi menganggap
hadiah sebagai suatu hadiah belaka, namun diwaspadai terdapat unsur kepentingan
dalam tujuan pemberian hadiah tersebut. Untuk mendorong pelaksanaan
pemberantasan gratifikasi, konsekuensi hukum dari tidak melaporkan gratifikasi
yang diterima akan mendapatkan sanksi pidana, yakni pidana penjara minimum 4
tahun dan maksimum 20 tahun atau pidana penjara seumur hidup, dan pidana denda
minimum Rp200.000.000. Dari hal ini jelas terlihat bahwa penerimaan gratifikasi
salah satu tindak pidana serius yang harus dilaporkan dan dimusnahkan dari
seluk beluk pemerintahan.
KPK: Komisi Perlindungan Keluarga?
Sebagai
salah satu bentuk korupsi, gratifikasi tentunya berurusan dengan satu-satunya Lembaga
Antirasuah Indonesia. Walaupun dugaan terhadap gratifikasi Kaesang masih belum
terbukti sebelum adanya putusan pengadilan, KPK sebagai tokoh utama dari kasus
gratifikasi tentunya diharapkan dapat memberikan titik terang akan hal ini.
Namun, dewasa ini publik kembali dibingungkan dengan Kaesang yang mendadak
tidak diketahui keberadaannya. Ini tentunya membuat masyarakat beranggapan
bahwa Kaesang menghindari pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK atau justru KPK sengaja
agar pemeriksaan tidak jadi dilakukan. Spekulasi publik terhadap KPK yang
terkesan melindungi Kaesang atas kasus ini diperkuat dengan adanya kabar pemindahan
penanganan kasus tersebut dari Direktorat Gratifikasi ke Direktorat Laporan dan
Pengaduan Masyarakat.
Dilansir
dari Kompas.com, Ketua KPK, Nawawi Pomolango menegaskan bahwa pengalihan
penanganan perkara gratifikasi pesawat jet ini dari Direktorat Gratifikasi ke
Direktorat Laporan dan Pengaduan Masyarakat semata atas dasar rapat internal
KPK, jadi perkara ini bukan dihentikan pemeriksaannya tapi dialihkan
penanganannya sesuai SOP (Standard Operating Procedure). Atas dasar ini,
publik bebas beranggapan bahwa kasus Kaesang tidak akan dijerat sebagai gratifikasi,
jika KPK saja tidak meminta klarifikasi pada Kaesang melalui Direktorat
Gratifikasi. Hal ini tentu saja sedikit banyak mempengaruhi kepercayaan publik
terhadap KPK yang tidak teguh pendirian, sejenak mendapat intervensi atau
komisi? Lagi-lagi, lembaga independensi tertunduk pada penguasa berambisi.
REFERENSI
Gubali,
Agustina Wati. (2013). “Analisis Pengaturan Gratifikasi Menurut Undang-Undang
di Indonesia”. Jurnal Lex Crimen Vol. II/No. 4/Agustus 2013. Hal. 53.
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kompas.com.
“Ketua KPK Tegaskan Dugaan Kasus “Jet Pribadi” Kaesang Belum Dihentikan”.
Diakses pada 11 September 2024 di halaman https://nasional.kompas.com/read/2024/09/13/07235821/ketua-kpk-tegaskan-dugaan-kasus-jet-pribadi-kaesang-belum-dihentikan.
Simamora,
Anastasya Yuliarta, dkk. (2023). “Analisis Hukum Terhadap Gratifikasi: Dampak,
Penegakan Hukum, dan Upaya Pencegahan di Indonesia”. Jurnal Hukum dan
Kewarganegaraan Vol. 1 No. 3 Tahun 2023.
Upgkkp.
“Apakah yang Menjadi Dasar Hukum Gratifikasi”. Diakses pada 11 September 2024
di halaman https://upg.kkp.go.id/faq/faqs/103-apakah-yang-menjadi-dasar-hukum-gratifikasi.
0 Komentar