Kajian Isu Strategis Vol.15

 Kastrat Edisi September

ADA APA DIBALIK KOMISI ANTIRASUAH INDONESIA?


 

PERIHAL PESAWAT JET

Anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, tidak henti-hentinya menjadi topik pembicaraan masyarakat. Terlepas dari kebijakan yang dikeluarkan oleh ayahnya, Kaesang memiliki cara sendiri untuk mendapatkan atensi publik. Baru-baru ini, para demonstran kembali beraksi sesaat mencuat kabar Kaesang akan mencalonkan diri pada Pilkada 2024. Hal ini dianggap telah memasuki ranah nepotisme secara brutal terlebih hal tersebut didukung oleh DPR yang menolak Putusan Mahkamah Konstitusi terkait batas syarat usia minimal seseorang maju sebagai calon kepala daerah, baik gubernur, bupati dan wali kota.

Dibalik beragamnya permasalahan politik tersebut, sebuah postingan instagram dari akun Istri Kaesang, Erina Gudono, malah memperparah keadaan. Publik menilai Kaesang dan istrinya tidak memperdulikan aksi penolakan dari masyarakat atas segala kebijakan yang timbul berkaitan dengan keluarganya. Persoalan postingan Erina ini kemudian melebar menjadi sebuah dugaan kriminal. Spekulasi publik terhadap Pesawat Jet Gulfstream G650ER yang dinaiki Kaesang dan Istrinya ke Amerika pada postingan tersebut menjadi bumerang tersendiri. Pasalnya, pesawat jet tersebut jika disewa ditaksir mencapai Rp8,7 Miliar. Warganet kemudian menyangkutpautkan soal pesawat jet tersebut dengan gratifikasi. Inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhirnya turun tangan untuk menyelidiki dugaan tersebut.

SEPUTAR GRATIFIKASI

Berbicara mengenai gratifikasi yang pada pokoknya berupa pemberian uang, barang, diskonan, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan secara cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya (UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12b Ayat 1). Hal ini dapat disebut sebagai gratifikasi baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik/tanpa sarana elektronik. Gratifikasi yang diduga dilakukan oleh Kaesang dan istrinya disebabkan berhubungan dengan jabatan yang penerimaan tersebut dianggap tidak wajar, seperti sebuah jet pribadi dengan harga yang fantastis.

Pada dasarnya gratifikasi sering dikaitkan dengan suap dan pemerasan. Padahal sejatinya, ketiga hal tersebut memiliki perbedaan. Adapun gratifikasi, yakni berhubungan dengan jabatan, bersifat insentif (tanam budi), tidak membutuhkan kesepakatan (transaksional). Contohnya: pengusaha memberi hadiah voucher belanja kepada PNS karena merasa terbantu dalam pengurusan perizinan. Suap, yakni transaksional (pertemuan kehendak pemberi dan penerima), umumnya dilakukan secara tertutup. Contohnya: pengusaha menyuap pejabat pemerintah untuk mendapatkan proyek. Pemerasan, yaitu adanya permintaan sepihak dari pejabat (penerima), bersifat memaksa, penyalahgunaan kekuasaan. Contohnya: pejabat memeriksa calon peserta tender untuk memberikan sejumlah uang dengan ancaman jika tidak diberikan akan digugurkan dalam proses tender.  Dapat dipastikan ketiga hal ini tergolong korupsi yang bersifat merugikan. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hadir yang kemudian membahas mengenai gratifikasi pada Pasal 12B dan 12C, hal ini dimaksudkan agar nantinya penyelenggara negara dapat berhati-hati dalam memberikan ataupun menerima pemberian.

Fenomena gratifikasi ini tentunya perlu perhatian serius, sebab dapat menimbulkan konsekuensi yang merugikan integritas, transparansi, dan keadilan dalam suatu sistem. Di berbagai negara, gratifikasi telah menjadi fokus yang serius dalam sektor publik atau swasta. Menteri Kelautan dan Perikanan pun telah mengatur tentang pengendalian gratifikasi melalui Permen KP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk mempermudah dalam pengendaliannya, Menteri Kelautan dan Perikanan membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di dalam peraturan tersebut diwajibkan pula kepada Unit Eselon I dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) untuk membentuk UPG di lingkungan kerjanya masing-masing.

Korupsi sering kali berawal dari kebiasaan yang tidak disadari oleh setiap pegawai negeri atau pejabat negara, misalnya menerima pemberian suatu barang atau fasilitas tertentu yang tidak wajar. Hal semacam ini semakin lama akan menjadi kebiasaan yang cepat atau lambat akan memengaruhi pengambilan keputusan oleh yang bersangkutan. Banyak orang berpendapat bahwa pemberian tersebut sekadar tanda terima kasih dan sah-sah saja. Namun, perlu disadari bahwa pemberian tersebut selalu terkait dengan jabatan yang dipangku oleh penerima serta kemungkinan adanya kepentingan terselubung dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa. Maka dari itu, gratifikasi tidak dapat diwajarkan keberadaannya di negeri ini.

Gratifikasi bukanlah sebuah kasus baru. Kasus gratifikasi juga pernah menimpa Mantan Kepala Bea Cukai pada tahun 2011 lalu. Beliau diduga telah menerima sejumlah uang dari para pengusaha ekspor impor yang melakukan distribusi barang melalui Bandara Juanda sebagai uang operasional. Atas dasar tersebut, Kejaksaan Agung menetapkan Argandiono sebagai tersangka kasus gratifikasi. Akibat perbuatan tersangka diperkirakan terjadi kerugian negara sebesar Rp11 Miliar. Dari kasus gratifikasi yang telah terjadi sebelumnya, menjadikan masyarakat Indonesia tidak lagi menganggap hadiah sebagai suatu hadiah belaka, namun diwaspadai terdapat unsur kepentingan dalam tujuan pemberian hadiah tersebut. Untuk mendorong pelaksanaan pemberantasan gratifikasi, konsekuensi hukum dari tidak melaporkan gratifikasi yang diterima akan mendapatkan sanksi pidana, yakni pidana penjara minimum 4 tahun dan maksimum 20 tahun atau pidana penjara seumur hidup, dan pidana denda minimum Rp200.000.000. Dari hal ini jelas terlihat bahwa penerimaan gratifikasi salah satu tindak pidana serius yang harus dilaporkan dan dimusnahkan dari seluk beluk pemerintahan.

 

 

 

KPK: Komisi Perlindungan Keluarga?

Sebagai salah satu bentuk korupsi, gratifikasi tentunya berurusan dengan satu-satunya Lembaga Antirasuah Indonesia. Walaupun dugaan terhadap gratifikasi Kaesang masih belum terbukti sebelum adanya putusan pengadilan, KPK sebagai tokoh utama dari kasus gratifikasi tentunya diharapkan dapat memberikan titik terang akan hal ini. Namun, dewasa ini publik kembali dibingungkan dengan Kaesang yang mendadak tidak diketahui keberadaannya. Ini tentunya membuat masyarakat beranggapan bahwa Kaesang menghindari pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK atau justru KPK sengaja agar pemeriksaan tidak jadi dilakukan. Spekulasi publik terhadap KPK yang terkesan melindungi Kaesang atas kasus ini diperkuat dengan adanya kabar pemindahan penanganan kasus tersebut dari Direktorat Gratifikasi ke Direktorat Laporan dan Pengaduan Masyarakat.

Dilansir dari Kompas.com, Ketua KPK, Nawawi Pomolango menegaskan bahwa pengalihan penanganan perkara gratifikasi pesawat jet ini dari Direktorat Gratifikasi ke Direktorat Laporan dan Pengaduan Masyarakat semata atas dasar rapat internal KPK, jadi perkara ini bukan dihentikan pemeriksaannya tapi dialihkan penanganannya sesuai SOP (Standard Operating Procedure). Atas dasar ini, publik bebas beranggapan bahwa kasus Kaesang tidak akan dijerat sebagai gratifikasi, jika KPK saja tidak meminta klarifikasi pada Kaesang melalui Direktorat Gratifikasi. Hal ini tentu saja sedikit banyak mempengaruhi kepercayaan publik terhadap KPK yang tidak teguh pendirian, sejenak mendapat intervensi atau komisi? Lagi-lagi, lembaga independensi tertunduk pada penguasa berambisi.

 

REFERENSI

Gubali, Agustina Wati. (2013). “Analisis Pengaturan Gratifikasi Menurut Undang-Undang di Indonesia”. Jurnal Lex Crimen Vol. II/No. 4/Agustus 2013. Hal. 53.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kompas.com. “Ketua KPK Tegaskan Dugaan Kasus “Jet Pribadi” Kaesang Belum Dihentikan”. Diakses pada 11 September 2024 di halaman https://nasional.kompas.com/read/2024/09/13/07235821/ketua-kpk-tegaskan-dugaan-kasus-jet-pribadi-kaesang-belum-dihentikan.

Simamora, Anastasya Yuliarta, dkk. (2023). “Analisis Hukum Terhadap Gratifikasi: Dampak, Penegakan Hukum, dan Upaya Pencegahan di Indonesia”. Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 1 No. 3 Tahun 2023.

Upgkkp. “Apakah yang Menjadi Dasar Hukum Gratifikasi”. Diakses pada 11 September 2024 di halaman https://upg.kkp.go.id/faq/faqs/103-apakah-yang-menjadi-dasar-hukum-gratifikasi.

 


Posting Komentar

0 Komentar