RUU Perubahan Kedua UU Pilkada: Mengawal MK untuk Menegakkan Konstitusi

 

RUU Perubahan Kedua UU Pilkada: Mengawal MK untuk Menegakkan Konstitusi

Farasat Ahmad



            Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada tahun 2024 menjadi momen penting bagi rakyat Indonesia karena rakyat akan memilih kepala daerah yang akan menjadi penghubung antara rakyat daerah dengan pemerintah pusat. Pasca Pemilu 2024, partai-partai politik bergerak cepat untuk mengusung nama yang memiliki penilaian positif di daerah-daerah. Dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, untuk dapat mengusung kandidat calon kepala daerah terdapat persyaratan pada Pasal 4 ayat (1) poin d yang menyatakan calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia minimal 30 tahun dan calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota harus berusia minimal 25 tahun pada saat pencalonan. Selain itu pada Pasal 5 ayat (2) PKPU ini memuat syarat parpol atau koalisi parpol yang akan mengusung kandidatnya harus memenuhi ambang batas parlemen sebesar 20 persen di DPRD. Ambang batas dalam PKPU ini ditetapkan karena juga sudah dimuat dalam Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015.[1] 

Saat partai-partai politik tengah mencari kandidat dan sibuk berkoalisi untuk memenuhi ambang batas parlemen, Partai Garuda mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan uji materiil PKPU Nomor 9 Tahun 2020 terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan yang berwenang menguji peraturan-perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang sesuai Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 kemudian mengabulkan permohonan Partai Garuda dalam Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024. Dalam putusan tersebut, MA mengabulkan gugatan Partai Garuda untuk mengubah bunyi Pasal 4 ayat (1) poin d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 agar batas usia minimal kandidat kepala daerah adalah pada saat pelantikan, bukan pada saat pendaftaran calon. Hal itu dikabulkan oleh MA karena bunyi pasal sebelum putusan ini dinilai menghambat hak setiap orang untuk dapat maju menjadi calon kepala daerah.

Pasca putusan MA tersebut, partai-partai yang ada dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus kembali berkoalisi ditingkat daerah dan menyebabkan partai-partai yang tidak bergabung dengan KIM Plus gagal memenuhi ambang batas parlemen DPRD. Akibatnya terdapat 43 daerah terancam terpaksa melaksanakan Pilkada antara pasangan calon tunggal usulan KIM Plus melawan kotak kosong. Melihat kondisi ini, Partai Gelombang Rakyat (Gelora) dan Partai Buruh bersama-sama mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materiil UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Partai Gelora memohon agar MK melakukan uji materiil terhadap Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan kepala daerah yang dinilai melanggar nilai-nilai konstitusi sehingga menghalangi setiap parpol yang gagal memenuhi syarat ambang batas parlemen untuk dapat mengusung kandidat kepala daerahnya. Selain itu, Partai Gelora dan Partai Buruh juga mengajukan permohonan uji materil terhadap bunyi Pasal 4 ayat (1) poin d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 yang diubah bunyinya oleh MA agar batas minimal calon kepala daerah adalah pada saat pelantikan.

Akhirnya seminggu sebelum pendaftaran calon kepala daerah ditutup oleh KPU RI, MK mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas minmal parlemen DPRD dari 20 persen menjadi 6,5 hingga 10 persen tergantung jumlah penduduk di suatu daerah, serta putusan MK Nomor 70/PPU-XXII/2024 yang menegaskan ulang bahwa batas minimal calon kandidat kepala daerah yang tertulis dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada adalah usia pada saat pencalonan. Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 ini otomatis menganulir Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024. Namun dalam kurun waktu 24 jam setelah putusan MK keluar, Lembaga Legislasi DPR RI bergegas membuat RUU Perubahan UU Pilkada mengikuti putusan MA hanya dalam waktu 1 jam. Padahal keputusan MK secara otomatis menyatakan bunyi UU Pilkada yang diubah tersebut sudah inkonstitusional.

Secara yuridis, langkah DPR RI untuk merevisi UU Pilkada tidak menyalahi wewenangnya selaku positive legislator untuk membuat undang-undang sebagaimana tertulis dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 71 UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kota (UU MD3). Sementara Mahkamah Konstitusi hanya berfungsi sebagai negative legislator yang berarti MK hanya berhak membatalkan sebuah UU, bukan menambahkan bunyi baru dalam UU. Namun dalam keadaan tertentu MK berhak menjadi positive legislator dalam keadaan-keadaan tertentu seperti kekosongan hukum atau tumpang-tindih produk hukum perundang-undangan. Sehingga ketika MK melihat situasi banyaknya daerah yang berpotensi melaksanakan pilkada dengan calon kandidat tunggal melawan kotak kosong, maka MK merasa perlu menjadi positive legislator agar partai-partai yang gagal memenuhi ambang batas minimal parlemen DPRD tetap dapat mengusjng kandidatnya sehingga mencegah terjadinya kotak kosong. Hal ini agar dapat memberikan jaminan terlaksananya demokrasi di tingkat daerah. Selain itu, dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Hierarki Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa salah satu materi muatan dalam undang-undang adalah Putusan MK, bukan putusan MA.

Sehingga langkah yang diambil oleh MK yang berinisiatif menjadi positive legislator adalah langkah yang tepat karena langkah ini dilakukan agar demokrasi yang dijalankan dalam Pilkada 2024 tidak melenceng jauh dari UUD 1945. Selain itu, langkah yang dilakukan oleh DPR dengan merumuskan RUU Perubahan UU Pilkada dalam waktu 1 jam adalah langkah yang tidak beretika secara politik hukum. Langkah yang terburu-buru seolah-olah menandakan DPR RI melakukan langkah tersebut untuk memuluskan kepentingan pihak-pihak tertentu. Putusan MK telah menjaga harapan agar masyarakat daerah bisa memiliki lebih banyak opsi calon kepala daerah yang akan memimlin daerah mereka 5 tahun ke depan.


PKPU adalah peraturan teknis dan spesifik dari UU. scr hierarki peraturan perundang-undangan, PKPU jauh dibawah UU. bagusnya dijelaskan dulu bagaimana aturan dalam UU kemudian dilanjutkan scr spesifik dengan PKPU, bukan sebaliknya

Posting Komentar

0 Komentar