RUU Perubahan Kedua UU Pilkada: Mengawal MK untuk Menegakkan
Konstitusi
Farasat
Ahmad
Pemilihan
Kepala Daerah atau Pilkada tahun 2024 menjadi momen penting bagi rakyat
Indonesia karena rakyat akan memilih kepala daerah yang akan menjadi penghubung
antara rakyat daerah dengan pemerintah pusat. Pasca Pemilu 2024, partai-partai
politik bergerak cepat untuk mengusung nama yang memiliki penilaian positif di
daerah-daerah.
Saat partai-partai politik tengah mencari kandidat dan sibuk
berkoalisi untuk memenuhi ambang batas parlemen, Partai Garuda mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan uji materiil PKPU Nomor 9
Tahun 2020 terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pencalonan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan
Wakil Walikota. Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan yang berwenang
menguji peraturan-perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
sesuai Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 kemudian mengabulkan permohonan Partai
Garuda dalam Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024. Dalam putusan tersebut, MA
mengabulkan gugatan Partai Garuda untuk mengubah bunyi Pasal 4 ayat (1) poin d
PKPU Nomor 9 Tahun 2020 agar batas usia minimal kandidat kepala daerah adalah
pada saat pelantikan, bukan pada saat pendaftaran calon. Hal itu dikabulkan
oleh MA karena bunyi pasal sebelum putusan ini dinilai menghambat hak setiap
orang untuk dapat maju menjadi calon kepala daerah.
Pasca putusan MA tersebut, partai-partai yang ada dalam
Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus kembali berkoalisi ditingkat daerah dan
menyebabkan partai-partai yang tidak bergabung dengan KIM Plus gagal memenuhi
ambang batas parlemen DPRD. Akibatnya terdapat 43 daerah terancam terpaksa
melaksanakan Pilkada antara pasangan calon tunggal usulan KIM Plus melawan
kotak kosong. Melihat kondisi ini, Partai Gelombang Rakyat (Gelora) dan Partai
Buruh bersama-sama mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan
uji materiil UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Partai Gelora memohon agar MK melakukan uji
materiil terhadap Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan
Keempat UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014
tentang pemilihan kepala daerah yang dinilai melanggar nilai-nilai konstitusi
sehingga menghalangi setiap parpol yang gagal memenuhi syarat ambang batas
parlemen untuk dapat mengusung kandidat kepala daerahnya. Selain itu, Partai
Gelora dan Partai Buruh juga mengajukan permohonan uji materil terhadap bunyi
Pasal 4 ayat (1) poin d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 yang diubah bunyinya oleh MA
agar batas minimal calon kepala daerah adalah pada saat pelantikan.
Akhirnya seminggu sebelum pendaftaran calon kepala daerah
ditutup oleh KPU RI, MK mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang
mengubah ambang batas minmal parlemen DPRD dari 20 persen menjadi 6,5 hingga 10
persen tergantung jumlah penduduk di suatu daerah, serta putusan MK Nomor
70/PPU-XXII/2024 yang menegaskan ulang bahwa batas minimal calon kandidat
kepala daerah yang tertulis dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada adalah usia pada
saat pencalonan. Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 ini otomatis menganulir Putusan
MA Nomor 23 P/HUM/2024. Namun dalam kurun waktu 24 jam setelah putusan MK
keluar, Lembaga Legislasi DPR RI bergegas membuat RUU Perubahan UU Pilkada
mengikuti putusan MA hanya dalam waktu 1 jam. Padahal keputusan MK secara
otomatis menyatakan bunyi UU Pilkada yang diubah tersebut sudah
inkonstitusional.
Secara yuridis, langkah DPR RI untuk merevisi UU Pilkada
tidak menyalahi wewenangnya selaku positive
legislator untuk membuat undang-undang sebagaimana tertulis dalam Pasal 20
ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 71 UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kota (UU
MD3). Sementara Mahkamah Konstitusi hanya berfungsi sebagai negative legislator yang berarti MK
hanya berhak membatalkan sebuah UU, bukan menambahkan bunyi baru dalam UU.
Namun dalam keadaan tertentu MK berhak menjadi positive legislator dalam keadaan-keadaan tertentu seperti
kekosongan hukum atau tumpang-tindih produk hukum perundang-undangan. Sehingga
ketika MK melihat situasi banyaknya daerah yang berpotensi melaksanakan pilkada
dengan calon kandidat tunggal melawan kotak kosong, maka MK merasa perlu
menjadi positive legislator agar
partai-partai yang gagal memenuhi ambang batas minimal parlemen DPRD tetap
dapat mengusjng kandidatnya sehingga mencegah terjadinya kotak kosong. Hal ini
agar dapat memberikan jaminan terlaksananya demokrasi di tingkat daerah. Selain
itu, dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Hierarki
Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa salah satu materi muatan dalam
undang-undang adalah Putusan MK, bukan putusan MA.
Sehingga langkah yang diambil oleh
MK yang berinisiatif menjadi positive
legislator adalah langkah yang tepat karena langkah ini dilakukan agar
demokrasi yang dijalankan dalam Pilkada 2024 tidak melenceng jauh dari UUD
1945. Selain itu, langkah yang dilakukan oleh DPR dengan merumuskan RUU
Perubahan UU Pilkada dalam waktu 1 jam adalah langkah yang tidak beretika
secara politik hukum. Langkah yang terburu-buru seolah-olah menandakan DPR RI
melakukan langkah tersebut untuk memuluskan kepentingan pihak-pihak tertentu.
Putusan MK telah menjaga harapan agar masyarakat daerah bisa memiliki lebih
banyak opsi calon kepala daerah yang akan memimlin daerah mereka 5 tahun ke
depan.
0 Komentar