DIGITALISASI PEMILU SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI ELECTORAL JUSTICE SYSTEM DI INDONESIA

DIGITALISASI PEMILU SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI ELECTORAL JUSTICE SYSTEM DI INDONESIA


Habib Ferian Fajar 

Pengurus Kombad Justitia 

habibferian2002@gmail.com





I. PENDAHULUAN

Berbicara tentang pemilihan umum, tidak dapat dihindari untuk menggambarkan pentingnya konsep demokrasi. Keduanya memiliki hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan. Sampai saat ini, Pemilihan Umum (atau yang selanjutnya disebut Pemilu) dipandang sebagai instrumen kelembagaan demokrasi yang memiliki legitimasi dan parameter berfungsinya sistem politik demokrasi. Pentingnya penyelenggaraan pemilu digunakan sebagai landasan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.

Adapun landasan dasar dilaksanakannya pemilu adalah pasal 22 E ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 yang telah mengamanatkan  diselenggarakannya pemilu dengan berkualitas, mengikutsertakan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil melalui suatu perundang-undangan. Pemilihan umum sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan dengan menjamin prinsip perwakilan, akuntabilitas dan legitimasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik  Indonesia Tahun 1945.

Pemilu demokratik menjadi awal bagi kelangsungan transisi demokrasi yang mewadahi pluralisme politik dan partisipasi sipil secara terbuka dan mandiri. Salah satu institusi penting yang menghantarkan pemilu demokratik di negara-nagara baru adalah adanya badan penyelenggara pemilu (electoral management body) yang independen yang didukung legitimasi konstitusional yang kuat dan jelas Dinamika penyelengaraan Pemilu seringkali diwarnai dengan berbagai permasalahan yang melatarbelakanginya, hal ini tentunya berakibat pada kedaulatan rakyat yang dapat melukai arti dari demokrasi itu sendiri. 

Seperti pada pelaksanaan Pemilu serentak dengan mekanisme konvensional pada tahun 2019 menimbulkan banyak permasalahan. Salah satunya adalah dengan adanya 894 orang panitia ad hoc KPPS yang meninggal dunia dan  11.239  orang  yang  jatuh sakit dikarenakan mengalami kelelahan dalam memantau dan membantu berjalannya proses pemungutan suara di setiap wilayah di Indonesia. Selain memberikan beban kerja yang berat kepada panitia ad hoc KPPS, mekanisme konvensional dalam Pemilu Serentak Indonesia 2019 juga mengakibatkan timbulnya masalah mobilitas dan alokasi yang rumit. Hal ini dibuktikan dengan adanya 10.520 TPS yang mengalami kekurangan logistik termasuk didalamnya kotak suara dan alat bantu tuna netra pada Pemilu Serentak Indonesia 2019.

Dinamika penyelengaraan Pemilu seringkali diwarnai dengan berbagai permasalahan yang melatarbelakanginya, yang tentunya bermuara pada kedaulatan rakyat, yang dapat merusak makna demokrasi itu sendiri. Seperti halnya pelaksanaan pemilu serentak pada tahun 2019 dengan berbagai permasalahannya. Salah satunya, 894 anggota panitia ad hoc KPPS meninggal dunia dan 11.239 orang jatuh sakit karena kelelahan saat mengawasi dan mendampingi proses pemilu di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah perintah untuk melakukan penghitungan suara pada pukul 13.00 waktu setempat setelah pemungutan suara berakhir. Dalam kasus-kasus tertentu yang memerlukan penghitungan ulang surat suara di TPS atau PPK, panitia ad hoc KPPS harus menyelesaikan rekapitulasi hasil pemilu tepat waktu untuk dikumpulkan dengan penjumlahan wilayah Indonesia lainnya untuk KPU. Selain dua permasalahan tersebut, pemilu serentak tahun 2019 di Indonesia juga memiliki permasalahan lain seperti alokasi anggaran yang relatif besar dan banyaknya surat suara tidak sah yang banyak karena rendahnya tingkat informasi publik.

Perwujudan hak politik yang sejatinya harus ditegakkan dengan bantuan penyelenggara pemilu, a contrario justru mengakibatkan hak asasi yang melekat pada tiap-tiap orang yang terlibat didalamnya terkhususnya hak hidup, juga ikut terancam. Oleh sebab itu, bentuk pemenuhan terhadap hak hidup setiap warga negara harus dijunjung tinggi oleh negaranya sebagai pihak yang  bertanggung jawab untuk memastikan hak tersebut tetap terjaga (state responsibility).

Sebagai negara kepulauan,  Indonesia  juga  berpotensi menimbulkan  masalah dalam pengadaan logistik perlengkapan pemungutan suara. Hal itu terlihat pada Pemilu serentak 2019 di Indonesia, 10.520 TPS kekurangan logistik, termasuk kotak suara dan bantuan untuk tunanetra. Nampaknya keterlambatan pengiriman distribusi logistik terpantau di sebanyak 12 kecamatan di Kabupaten Banggai karena respon untuk memenuhi kebutuhan yang diminta KPU pusat cukup lamban.

Permasalahan tersebut harus dijawab oleh hukum, mengingat hukum harus berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan masyarakat, yang tentunya memerlukan perubahan landasan hukum dalam perjalanan historisnya untuk mencapai keadilan. Oleh karena itu  sudah selayaknya undang-undang yang ada dapat mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh mekanisme pemilu yang ada saat ini dengan mendorong transformasi digital dalam Pemilu.

Digitalisasi bukan lagi topik yang jarang kita dengar. Di zaman yang didominasi oleh teknologi ini, informasi bisa datang kapan saja dan dari mana saja, termasuk melalui internet yang kita gunakan sehari-hari. Penyebaran informasi yang dikirimkan melalui teknologi digital dikenal dengan digitalisasi. Pada dasarnya, teknologi ada untuk memudahkan segala aktivitas manusia. Oleh karena itu, tujuan digitalisasi adalah untuk memperluas dan mengoptimalkannya dengan berbagai cara.

Masalah teknologi pemungutan suara penting untuk dibahas lebih lanjut. Memang, selama satu dekade terakhir, hampir setiap negara telah menggunakan teknologi untuk membantu lembaga penyelenggara pemilu menyelenggarakan pemilu yang berkualitas sehingga dapat berkontribusi pada kualitas demokrasi. Implikasinya, teknologi saat ini dapat diterapkan pada hampir semua aspek proses pemilu. Hal ini diperkuat dengan kajian International IDEA bahwa dari 106 negara yang dijadikan subjek, menggunakan teknologi dalam pemilu, antara lain tabulasi perolehan suara, pendaftaran dan verifikasi pemilih, dan e-voting.

Semangat menggunakan  teknologi  dalam  pemungutan  suara  adalah  untuk menciptakan berbagai bentuk inovasi yang mengefisienkan mekanisme proses pemilu. Teknologi dalam konteks ini diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan penerapan teknologi dalam proses pemilu. Sedangkan informasi pemilu merupakan konten data yang berkaitan dengan proses dan tahapan pemilu. Dalam konteks ini, sejalan dengan konsep Rhenald tentang konsep Disruption bahwa perlunya teknologi informasi tidak berhenti pada sistem lama dan harus berkembang bersamaan dengan dinamisnya problematika dan perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, sebenarnya permasalahan yang dihadapi bukan hanya efisiensi anggaran, pengurangan sumber daya manusia, tetapi juga penyiapan sumber daya manusia yang akan mengikuti proses elektrifikasi pemilu yang membutuhkan profesionalitas dalam proses penyelenggaraan pemilu termasuk penggunaan teknologi. Seiring dengan maraknya penggunaan teknologi saat ini, Pemilu juga harus berarti penggunaan perangkat lunak atau perangkat keras, seperti halnya penggunaan komputer, internet, dan sejenisnya.

Kehadiran teknologi informasi dalam pemilu sebenarnya bisa menjadi alat pemersatu untuk menciptakan pemilu yang berintegritas dan akuntabel. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ramlan Bakti paling tidak terdapat delapan kriteria pemilu yang berintegritas, yaitu:7

a) Hukum pemilu dan kepastian hukum

b) Kesetaraan antar warga negara, baik dalam pemungutan dan penghitungan suara mauoun dalam alokasi kursi DPR/DPRD dan pembentukan dearah pemilihan

c) Persaingan bebas dan adil

d) Partisipasi pemilih dalam pemilu

e) Penyelenggara pemilu yang mandiri, kompetensi, berintegritas, efisien dan kepemimpinan yang efektif

f) Proses pemungutan dan penghitungan suara berdasarkan asas pemilu demokratik dan prinsip pemilu berintegritas

g) Keadilan Pemilu

h) Tidak ada kekerasan dalam proses Pemilu. Kekerasan Pemilu adalah setiap tindakan yang mencederai orang atau ancaman mencederai atau barang berkaitan dengan pemilu.

Jadi penyelenggaraan pemilu yang baik tergantung pada penyelenggara pemilu yang berintegritas. Menyelenggarakan pemilu yang berintegritas berarti menyelenggarakan pemilu secara jujur, transparan, bertanggung jawab, hati-hati, dan akurat dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Integritas penyelenggara penting karena merupakan salah satu langkah untuk menciptakan pemilu yang demokratis. Revolusi teknologi harus selalu diupayakan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, terutama dalam hal pemilu. Dalam hal ini, penerapan perkembangan teknologi (terutama hal-hal mendasar yang mempengaruhinya secara langsung atau tidak langsung) harus dilakukan dengan hati-hati demi terhadap perbaikan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, maka kajian ini penting untuk didiskusikan mengingat bahwa pemanfaatan teknologi informasi telah menjadi sebuah kebutuhan terkini yang harus dipertimbangkan untuk digunakan dalam penyelenggaraan pemilu. Pengalaman Indonesia dalam mengadopsi teknologi pada pemilu sudah berlangsung cukup lama sejak tahun 1999 meskipun masih dengan metode yang sangat sederhana, sampai saat ini dengan teknologi yang  lebih modern. Dengan dukungan teknologi informasi diharapkan dalam waktu 9 jam setelah berakhirnya pencoblosan, pada pemilu 2024 mendatang kita sudah mengetahui hasil akhir pemilu. Keadaan seperti ini akan mengurangi beban kerja petugas ad hoc KPPS, meminimalisasi potensi konflik, membangun kepercayaan pada lembaga penyelenggara, menghemat anggaran, dan pada akhirnya menghasilkan trust pada hasil pemilu. Tentunya juga akan membangun stabilitas politik pasca pemilu dan kondusif bagi siapapun yang terpilih untuk dapat segera bekerja membangun kemakmuran dan keadilan.


II. PEMBAHASAN

A. Digitalisasi Pemilu Sebagai Upaya Optimalisasi Electoral Justice System

Salah satu asas yang terdapat dalam Pemilu adalah Jujur dan Adil. Untuk memastikan dapat berjalan secara jujur dan adil, pemilu menyediakan apa yang disebut sebagai sistem keadilan pemilu. Sistem keadilan pemilu  tersebut merupakan elemen penting dalam menjamin efektifitas dan keadilan (International IDEA, 2019). Sistem keadilan pemilu mencakup elemen pencegahan  dan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu.8

Keadilan pemilu mencakup cara dan mekanisme yang tersedia di suatu negara tertentu, komunitas lokal atau di tingkat regional atau internasional untuk:

a. menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan terkait dengan proses pemilu sesuai dengan kerangka hukum;

b. melindungi atau memulihkan hak pilih; dan

c. memungkinkan warga yang meyakini bahwa hak pilih mereka  telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan.

Digitalisasi hadir sebagai upaya untuk memberikan penguatan terhadap konsep keadilan Pemilu di Indonesia. Dalam tataran keterbukaan informasi publik, adanya digitalisasi dalam tahapan pemilu dapat berimplikasi untuk meningkatkan akses pemilih untuk melakukan analisa kepada para peserta pemilu secara objektif dan transparan. Digitalisasi Pemilu memberikan kejelasan informasi melalui kanai resmi pemerintah sehingga rekam jejak peserta Pemilu secara transparan dapat dinilai oleh masing masing pemilih. Hal ini menciptakan kesamaan perspektif bagi pemilih dalam memilih peserta pemilu sehingga hak pilih masing-masing pemilih dapat terjamin dan terlindungi sempurna.

Poin berikutnya dari digitalisasi pemilu adalah untuk memaksimalkan hak pilih masyarakat. Hal ini dikarenakan sistem informasi yang paripurna akan mengoptimalisasikan DPT dengan meminimalisirkan kesalahan dalam proses pendataan. Namun hal ini harus diseimbangkan dengan SDM yang memadai dan perlindungan sistem yang kuat sehingga kebocoran data dan hal-hal yang sifatnya sistemik dapat diminimalisir.

Terakhir, sebagai penguatan sistem keadilan Pemilu, digitalisasi  Pemilu dapat akan berimplikasi kepada optimalnya prosedur pelaporan pelanggaran pemilu. Pembentuk undang-undang telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam Undang-Undang  tersebut  diatur  berbagai aspek terkait penyelenggaraan pemilu seperti lembaga penyelenggara, tahapan pemilu,  hak  pilih,  dan  mekanisme  penyelesaian  masalah  hukum   pemilu. Masalah hukum pemilu mencakup pelanggaran, sengketa  proses  dan  sengketa hasil pemilu.9 Digitalisasi Pemilu dapat menjadi sebuah variabel pendukung jika dimaksimalkan dalam tahapan penyelesaian pelanggaran dan sengketa Pemilu. Dengan adanya digitalisasi Pemilu, proses pelaporan akan menjadi lebih efisien sehingga para pencari keadilan Pemilu dapat terakomodir dengan paripurna.

B. Penerapan Digitalisasi Dalam Penyelenggaraan Demokrasi Elektronik Guna Menciptakan Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang Lebih Akuntabel Demokrasi dalam pengertian umum dan dikenal sebagai pemerintahan dariakyat, dijalankan oleh rakyat, dan untuk tujuan-tujuan kepentingan rakyat sendiri (A government comes from the people, it is exercised by the people, and for the purpose of the people’s own interests).10 Menurut Abraham Lincon (1836) mendefinisikan demokrasi sebagai “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Government of the people, by the people, for the people). Bentuk demokrasi merupakan salah satu bentuk sistem politik suatu negara dan juga merupakan budaya politik  suatu negara, untuk Indonesia sendiri ini telah diatur didalam Pasal 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesai adalah negara Indonesia adalah negara demokrasi. Berbagai defenisi tersebut, sejatinya sejalan dengan teori-teori demokrasi tradisional, yang menyatakan bahwa didalam demokrasi tiap orang memiliki hak untuk berpartisipasi di dalam pemerintahan, baik disampaikan secara langsung maupun melalui perwakilan. Hal ini sama pentingnya dengan berlakunya prinsip-prinsip kesetaraan politik (political equality), sehingga terdapat pengakuan harkat dan martabat bagi semua orang.

Namun ada yang menarik ketika kita berbicara tentang konsep demokrasi, terlebih tentang Demokrasi Digital (Electronik Democracy) atau yang disebut sebagai e-demokrasi (Nur Hidayat Sardini, 2018). Menurut pemikiran Hacker dan Dijk (2000) mendefinisikan e-demokrasi sebagai rangkaian usaha untuk menerapkan demokrasi dengan tanpa diabatasi oleh sekat waktu, ruang, dan kondisi fisik lainya, namun dengan mengandalkan basis penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan komunikasi ter-mediasi komputer yang berfungsi sebagai pengembangan tambahan dan tidak dimaksudkan sebagai pengganti dari praktik-praktik politik yang teranalogikan dengan tradisionalitas (Nur Hidayat Sardini, 2018). E-demokrasi yang mereka maksudkan meliputi penggunaan seluruh jenis-jenis media internet (internet media), penyiaran interaktif (interactive broadcasting), dan telepon digital (digital telephones) untuk tujuan-tujuan meningkatkan demokrasi atau partisipasi politik warga negara dalam komunikasi demokrasi (Enhancing political democracy or citizen participation in democratic communication).

Muculnya e-demokrasi ini sudah menjadi perdebatan dan ini berlangsung pada kalangan ilmuan politik Amerika sejak dekade 1960-an. Mereka memperdebatkan dari masa depan demokrasi pada Abat ke-21, dan menautkannya pada kecenderungan dari kemajuan TIK. Namun kemudian memang datang tuntutan perubahan dari masyarakat agar TIK lebih mempersentasikan kepentingan publik. Adanya TI sebagai media yang tersebar dengan luas dengan meningkatkan informasi publik dalam keadaan yang baik dan buruk, sehingga menghadirkan peran politik yang sama sekali tidak dapat diremehkan dengan adanya TIK. Sesungguhnya keberadaaan dari TIK tidak semata-mata berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur disik yang memadai walupun tidak dapat disangkal bahwa infrastruktur tersebut yang menjadi salah satu prasyarat dari keberhasilan. Hal yang paling penting adalah kemampuan teknologi untuk menjambatani jarak dan memperluas akses, sehingga informasi tersedia dan dapat dimanfaatkan siapa saja, kapan saja dan dimana saja.

Menurut Leggewie dan Bieber, kebebasan untuk mendapatkan atau memberikan informasi secara efektif lebih penting daripada potensi untuk mendapatkan akses ke proses politik digital. Dari pendapat tersebut tersirat bahwa keberadaan teknologi informasi dan komunikasi merupakan perantara lintas batas dalam menyajikan dan mengakses informasi bagi masyarakat. Titik kritisnya terletak pada kemampuan publik dalam memanfaatkan informasi yang tersedia untuk membentuk opininya terhadap isu-isu publik, yang kemudian akan mempengaruhi pembentukan kebijakan publik. Keberadaan TIK dipandang sebagai pembaharuan dari "Demokrasi Athena Langsung". Demokrasi  Athena membutuhkan komitmen umum terhadap prinsip-prinsip kebijakan sipil pelayanan kepada negara-kota republik dan penyerahan kehidupan pribadi pada  urusan publik dan kebaikan bersama. Ruang publik dan privat saling terkait. Rakyat (demo) terlibat dalam fungsi legislatif dan yudikatif karena konsep kewarganegaraan Athena mensyaratkan partisipasi mereka dalam fungsi tersebut dengan berpartisipasi langsung dalam urusan negara.

Pada era e-demokrasi, rakyat adalah sebagai objek  sekaligus subjek. Rakyat sebagai objek, para pengguna perangkat-perangkat TIK adalah konsumen demokrasi yang baik. Mereka hanya penikmat dari konten-konten yang diteruskan atau diunggah oleh para pemroduk konten dimaksud. Para pemroduk adalah pemilih sumber-sumber material di wilayah kekuasaan yang bermaksud dua motif, yakni bila konten memuat pesan-pesan positif, maka persepsi kepada pihak yang disasar juga akan membangun persepsi positif, dan sebaliknya, apabila mereka memroduk konten-konten negatif, maka kepada pihak yang disasar (penguasa) persepsi yang terbangun. Menurut Gilardi (2016) perkembangan TIK memengatuhi proses-proses demokrasi dimana pun dan dalam kondisi politik apapun. Sebab bagian paling penting dari konsep demokrasi adalah pelaksanaan Pemilu.

Bentuk penting pemilu ini dikaitkan dengan mobilisasi politik, strategi kampanye, dan polarisasi pendapat publik, sangat dipengaruhi oleh platform TIK, sebagaimana teknologi digital berhasil mengubah tata kelola pemerintahan. Perkembangan TIK sangat berkembang dengan cepat, dan ini harus direspon dengan cepat pada semua sektor kehidupan, termasuk didalam penyelenggaraan Pemilihan Umum. Tidak hanya pada negara-negara barat, akan tetapi juga negara- negara di seluruh dunia, TIK mendominasi semuanya. Keberadaan TIK menjadi pemicu untuk berkembangnya nilai-nilai demokrasi, salah satunya adalah guna kemudahan akses informasi dan kemampuan menjembatani jarak menjadikan gagasan seperti pertimbangan dan partisipasi dalam pembuatan keputusan menjadi mudah untuk direalisasikan. Salah satu bentuk-bentuk TIK didalam model e-demokrasi yakni salah satunya berupa web partai, kampanye online, hingga e-voting.

Dalam era digital ini, akselerasi digitalisasi pemilu dapat menjadi solusi untuk meningkatkan akuntabilitas dalam pemilihan umum. Digitalisasi pemilu dapat mengurangi potensi kecurangan dan manipulasi dalam proses pemilihan umum. Dengan menggunakan teknologi digital, seperti penggunaan sistem  elektronik untuk pemungutan dan penghitungan suara, peluang pemalsuan suara dapat diminimalisir. Sistem yang terintegrasi secara digital juga dapat mencatat dan melacak setiap transaksi atau perubahan dalam proses pemilihan umum, sehingga memudahkan pengawasan dan audit terhadap pelaksanaan pemilu. Selain itu, digitalisasi pemilu dapat meningkatkan keterlibatan pemilih dan transparansi dalam pemilihan umum. Dengan adanya platform digital, seperti aplikasi atau situs web khusus pemilu, pemilih dapat dengan mudah mengakses informasi tentang calon dan isu-isu politik yang relevan. Mereka juga dapat melihat profil calon, program kerja, dan pandangan politik mereka. Hal ini memungkinkan pemilih untuk membuat keputusan yang lebih terinformasi dan mendukung calon yang sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi mereka.

 

C. Akselerasi Digitalisasi Pemilu Dalam Meningkatkan Partisipasi Pemilih Muda Dalam Pemilihan Umum

Suara pemilih muda memiliki peranan yang sangat penting dalam pemilihan umum. Pemilih muda merupakan generasi penerus bangsa yang memiliki potensi besar dalam membawa perubahan positif bagi masa depan negara. Suara pemilih muda penting karena anak muda merupakan representasi dari beragam perspektif dan aspirasi yang ada di masyarakat. Mereka memiliki pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu yang relevan bagi generasi mereka. Dalam pemilihan umum, suara pemilih muda dapat memberikan pandangan yang segar dan inovatif terhadap masalah-masalah yang dihadapi negara. Dengan begitu, suara mereka dapat membantu mengubah kebijakan yang sudah kuno dan tidak efektif menjadi solusi yang lebih progresif. Selain itu, suara pemilih muda juga penting karena mereka merupakan agen perubahan yang kuat. Pemilih muda memiliki  semangat  dan energi yang tinggi untuk berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Melalui pemilihan umum, mereka dapat memilih  pemimpin  yang  memiliki visi dan misi yang sejalan dengan aspirasi mereka. Dengan memberikan suara, pemilih muda dapat berpartisipasi dalam membentuk kebijakan publik, memperjuangkan isu-isu penting seperti pendidikan, lapangan kerja, lingkungan hidup, dan lain sebagainya.

Akselerasi digitalisasi Pemilihan Umum memiliki hubungan yang erat dengan meningkatnya suara pemilih pemula dalam memilih. akses internet yang semakin mudah dan luas memungkinkan pemilih pemula untuk mendapatkan  informasi yang lebih cepat dan akurat tentang calon dan isu-isu politik yang relevan. Dengan adanya internet, mereka dapat dengan mudah mencari informasi tentang latar belakang calon, program kerja, dan pandangan politik mereka. Hal ini memungkinkan pemilih pemula untuk membuat keputusan yang lebih terinformasi dan memilih calon yang sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi mereka. Selain itu, media sosial juga memainkan peran penting dalam meningkatkan suara pemilih pemula. Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram telah menjadi tempat di mana anak muda dapat berbagi pandangan politik mereka, berdiskusi dengan teman-teman sebaya, dan mengorganisir gerakan politik. Melalui media sosial, pemilih pemula dapat memperluas jangkauan pesan politik mereka dan mempengaruhi orang lain untuk ikut serta dalam pemilihan umum.


III. KESIMPULAN

Penerapan Transformasi digitalisasi Pemilu adalah sebuah model sistem informasi yang diperuntukan untuk mengoptimalkan perhelatan Pemilu Serentak tahun 2024. Transformasi ini merupakan jawaban atas problematika yang terjadi pada Pemilu tahun 2019. Transformasi ini harus dimaknai secara rasional dimana transformasi digital tidak dapat dimaknai sebagai peralihan sistem secara menyeluruh sehingga transformasi ini dimaksudkan sebagai gerbang pembuka bagi digitalisasi paripurna bagi sistem Pemilu di Indonesia. Digitalisasi ini juga ditujukan sebagai pengoptimaliasian electoral justice system di Indonesia. Hal ini dikarenakan dengan adanya digitalisasi dapat memberikan transparansi dan penanganan sengketa dan pelanggaran Pemilu yang lebih efisien. Namun, digitalisasi pemilu harus diimbangi dengan SDM yang memadai dan teknologi yang cukup agar digitalisasi yang kita harapkan dapat memberikan dampak positif justru akan berimplikasi kepada pereduksian hak warga negara dalam prosesi Pemilu di Indonesia.

Akselerasi digitalisasi Pemilihan Umum dalam mencapai pemilihan umum yang transparan da akuntabel memiliki hubungan yang erat dengan meningkatnya suara pemilih pemula dalam memilih. Akses internet yang lebih mudah, media sosial, dan inovasi teknologi dalam pemilihan umum telah memberikan platform yang lebih luas bagi anak muda untuk terlibat dalam proses politik dan memberikan suara mereka.


DAFTAR PUSTAKA


Buku

Fachrizal. (2017). Implementasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pilkada. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

International Intitute   For   Democracy   and   Electoral   Assistance   (IDEA).   (2011).

Introducing Electronic Voting: Essential Considerations. Policy Paper.

Ramlan Surbakti dan Kris Nugroho. (2015). Studi Tentang Desain Kelembagaan Pemilu Yang Efektif. Jakarta: Kemitraan Partnership.


Jurnal

Fahmi, K., Amsari, F., Azheri, B., & Kabullah, M. I. (2020). “Sistem Keadilan Pemilu dalam Penanganan Pelanggaran dan Sengketa Proses Pemilu Serentak 2019 di Sumatera Barat”. Jurnal Konstitusi, 17(1), 001.

https://doi.org/10.31078/jk1711.

Hendra Kasim. (2020). Integritas Penyelenggara Pemilu Di Provinsi Maluku Utara Dalam Pelaksanaan Pemilu Tahun 2019. Jurnal KPU.

Noak, Piers Andrea. (2022). Digitalisasi Birokrasi Dalam Wilayah Publik Dan Masyarakat Sipil Menyongsong Pemilu Tahun 2024. Jurnal Ilmiah Widya Sosiopolitika. Vol. 4 No. 2. https://doi.org/10.24843/jiwsp.2022.v04.i02.p05

Sholehudin Zuhri. (2020). Urgensi Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Penghitungan Dan Rekapitulasi Suara. Jurnal KPU.

 

Siska Sasmita. (2011). Demokrasi dalam Bingkai Digital. Jurnal Demokrasi, 10(2).

U.S. Government. (2006). Democracy Theory: American Government Constitutional Building. University of California and Monterey Institute for Technology and Education. https://www.hippocampus.org/homework-help/American- Government/Constitutional+Beginnings_Theories+of+Democracy.htm

Yudiana, Teguh Cahya, Cut Hasri Nabila, dan Billiam. (2022). E-Voting dengan Electronic Voting Machine Dan Fingerprint One Detect Verification Sebagai Katalisator Modernisasi Pemilu. Jurnal Supremi. Vol. 12, No. 1. https://doi.org/10.35457/supremasi.v12i1.1641

Disertasi

Fahmi,  Khairul.  2019.  Pembatasan  dan  Perbedaan  Hak   Pilih   dalam Mewujudkan Pemilihan Umum yang Adil dan Berintegritas. Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.


Prosiding

Nur Hidayat Sardini. (2018). Demokrasi dan Demokrasi Digital Di Indonesia : Peluang dan Tantangan. Prosiding Senaspolhi, 1(1), 122.


Posting Komentar

0 Komentar