MELIHAT KONTROVERSIAL UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA DALAM ASPEK HUKUM PIDANA

 


Nayla Shaidina 

Kader Kombad Justitia

 

 

Sejak diterbitkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) menjadi Undang-Undang ini mendapat tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan, baik pemerhati hukum, ekonomi, politik, maupun masyarakat umum. Ada yang memberikan  jawaban positif karena Perppu tersebut merupakan landasan yang kuat bagi pemerintah untuk memulihkan ketidakstabilan perekonomian negara. Namun, sejumlah pakar, pakar hukum, dan pengamat konstitusi mengkritisi keberadaan UU ini, khususnya ketentuan Pasal 27 yang terkesan membebaskan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Bahkan, kekhawatiran terhadap UU Cipta Kerja dilontarkan melalui uji materil di Mahkamah Konstitusi. Hal ini karena beberapa ketentuan ditegaskan dalam Pasal 27 UU Cipta Kerja tersebut. Pertama, tentang kompensasi atas kerusakan pemerintah. Kedua, KSSK tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana maupun perdata. Ketiga, tindakan/keputusan berdasarkan Perppu tidak tunduk pada hukum administrasi dan bukan merupakan objek Pengadilan Tata Usaha Negara.

“Ketentuan kerugian negara” pada Pasal 27 ayat 1, menyebutkan bahwa pengeluaran negara dan/atau badan anggota KSSK untuk pelaksanaan kebijakan penerimaan negara, termasuk kebijakan perpajakan, kebijakan belanja negara, termasuk bidang keuangan daerah, sektor keuangan. kebijakan, kebijakan stabilitas sistem keuangan dan program pemulihan ekonomi nasional adalah bagian dari biaya keuangan untuk menyelamatkan ekonomi dari krisis dan tidak ada kerugian bagi negara. Salah satu yang menarik dari pasal ini adalah bahwa semua pengeluaran pemerintah/KSSK diklasifikasikan sebagai pengeluaran keuangan dan bukan merupakan "kerugian pemerintah". Pasal 1 (22) Treasury Act 2004 mendefinisikan kerugian pemerintah sebagai: “kerugian pemerintah/teritorial adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang jumlah sebenarnya dan ditentukan yang diakibatkan oleh tindakan pemerintah yang disengaja atau disengaja bertentangan dengan hukum.

Jika melihat standar pasal 1 pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, berarti tidak semua pemotongan uang, surat berharga, dan barang milik negara merupakan kerugian negara. Kondisi tersebut merupakan akibat perbuatan melawan hukum untuk dikualifikasikan sebagai kerugian negara. Ketentuan Pasal 27 (1) seolah membenarkan bahwa semua pengeluaran pemerintah/KSSK tidak merugikan negara, bagaimana jika pengeluaran tersebut dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan kebijakan negara dan/atau badan anggota KSSK menyebabkan kerugian nyata sebagai akibat dari kegiatan ilegal, dan penekanan dalam pasal ini tentu saja untuk memberikan otoritas sebanyak mungkin untuk membayar biaya pelaksanaan kebijakan yang dimaksud. Dan tentunya hal ini memperbesar kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaannya yang akan membawa kerugian bagi negara. Kedua, “kerugian negara” merupakan salah satu unsur tindak pidana korupsi, harus dapat dibuktikan adanya perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau masyarakat, atau kerugian negara akibat penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan yang tidak sah. untuk diri sendiri atau orang lain atau perusahaan. Artinya, semua biaya yang dikeluarkan pemerintah/KSSK bukan merupakan kerugian negara, menghilangkan salah satu faktor penting korupsi, yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor: “Seseorang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau perusahaan yang dapat merugikan perekonomian nasional atau perekonomian nasional”.

Pemberian imunitas dalam Pasal 27 (2) sama dengan pemberian imunitas dalam UU No. 9/2016 tentang PPSK, UU No. Pasal 11 Tahun 2016, pasal 50 KUHP tentang pengampunan pajak, yang menyatakan: “bahwa tidak  seorang  pun dipidana yang melakukan perbuatan sesuai dengan ketentuan  undang-undang.” Dan Pasal 51(1) KUHP, yang menyatakan: "barang siapa melakukan tindakan untuk memenuhi penetapan status yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak akan dipidana." Yang dimana seluruh pemberian imunitas tersebut tidak mutlak (absolute), selama berdasarkan itikad baik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku memang tidak dapat dituntut pidana, akan tetapi tidak melegitimasi kedudukan imunitas yang diberikan, apabila terbukti melakukan sebuah tindak pidana dalam pelaksanaan kebijakan maka dapat dilakukan penuntutan terhadap perbuatan tersebut

Sesuai dengan Pasal 1(3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan cara; Pertama, diperlukan putusan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan standar Perppu No. 27 ayat 1.1 Tahun 2020 tentang ketentuan kerugian negara, agar Riigvolikogu/KSSK tidak melegalkan semua menyimpulkan kontrak keuangan, yang tidak merugikan negara, karena takut melakukan penipuan yang menyebabkan kejahatan korupsi. Kedua, pembentukan Perppu harus diatur secara jelas dan rinci dalam undang-undang, sehingga mekanisme kontrol yang lebih baik dapat terwujud selama pembentukan Perppu.

Posting Komentar

0 Komentar