MONOPOLI BERKEDOK PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL


Nia Rahma DIni


Kader Kombad Justitia

 

Persoalan Hak Kekayaan Intelektual merupakan persoalan yang tidak ada habisnya untuk dibahas. Perekmbangan industri dan ekonomi yang semakin masif membuat perlindungan terhadap kekeayaan intelektual menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan. Namun tentunya perlindungan kekayaan inteletual ini juga perlu difiltrasi agar tidak terjadi monopoli oleh satu pihak. Seperti terjadinya suatu kasus yang menjadi topic perbincangan hangat belakangan ini tentang pendaftaran merek yang berujung monopoli. Seorang komika bernama Ramon Papana yang mendaftarkan merek ‘Open Mic Indonesia’ sebagai merek atas nama dirinya. Hal ini menuai kontradiksi dari beberapa pihak terutama komika yang merasa hak mereka dirugikan  dari  adanya  pengklaiman  istilah  open  mic  dalam  merek  ‘Open  Mic Indonesia’. Menurut mereka, istilah open mic merupakan istilah umum yang biasa digunakan dalam dunia hiburan. Kasus ini semakin memburuk sebab  Ramon Papana selaku pemilik merek ‘Open Mic Indonesia’ mensomasi beberapa komika dan pihak lain yang menggunakan dan melakukan open mic untuk tujuan komresialisasi. Merasa tidak terima, komunitas stand up Indonesia pun akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadila Negeri Jakarta Pusat agar merek tersebut dibatalkan. Kasus ini kemudian berujung dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan pembatalan terhadap merek ‘Open Mic Indonesia’ dan pengembalian istilah ‘open mic’ menjadi milik umum.


Istilah open mic sejatinya bukanlah istilah baru dalam dunia hiburan. Istilah open mic ditujukan pada suatu pertunjukan dimana setiap orang bebas untuk menampilkan bakat di depan microphone yang sudah disediakan. Bakat tersebut tidak hanya terbatas pada stand up comedy saja, tapi juga untuk bakat lain seperti menyanyi, membaca puisi dan lain sebagainya. Open mic biasa dilakukan ditempat- tempat hiburan seperti café, pentas, taman dan lain sebagainya. Maka dari itu dapat kita simpulkan bahwa istilah open mic merupakan istilah umum yang sering digunakan masyarakat. Jika kaitkan pada kasus sengketa merek ‘Open Mic Indonesia’ berarti merek tersebut mengandung unsur kata open mic yang merupakan istilah umum yang sering digunakan masyarakat. Selain itu, jika kita telisik lebih lanjut merek ‘Open Mic Indonesia’ sejatinya menggambarkan secara langsung tentang jasa yang diatawarkan oleh pemilik merek yaitu ‘open mic’ sebagai jasa hiburan. Maka berdasarkan Pasal 20 UU no. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, merek ‘Open Mic Indonesia’ seharusnya tidak dapat didaftarkan sebab mengandung istilah umum dan mendiskripsikan secara langsung tentang jasa yang ditawarkan dalam merek.


Dilansir dari berita Kompas.com, Ramon Papana selaku pemilik merek ‘Open Mic Indonesia’ mengatakan bahwa alasannya mendaftarakan merek tersebut adalah agar tidak ada pihak pihak yang tidak bertanggungjawab yang mengkomersialisasikan open mic secara bebas. Sebab open mic ini diinisiasi oleh adanya stand up comedy dan guna melestarikan stand up comedy di Indonesia. Namun hal ini justru berbanding terbalik dengan tindakan somasi yang dilakukannya kepada komika yang memakai istilah open mic untuk tujuan komersial. Alih-alih melestarikan stand up comedy dengan melindungi istilah ‘open mic’ dalam merek ‘Open Mic Indonesia’. Hal ini justru menunjukan adanya monopoli dari Ramon Papana terhadap istilah ‘open mic’. Bukan hanya itu, tindakan Ramon Papana yang mensomasi pihak lain karena menggunakan sepenggal kata dalam mereknya justru merupakan misintrepetasi dari hakikat perlindungan merek itu sendiri. Perlindungan merek sejatinya diberkan untuk melindungi kombinasi unsur kata, logo, dan kata dalam suatu merek bukan melindungi sepenggal kata saja. Oleh karena itulah, pemakaian istilah open mic oleh pihak lain sebenarnya sah-sah saja karena mereka hanya menggunakan istilah umum yang ada dan bukan meniru merek ‘Open Mic Indonesia’.


Berbicara     tentang     bagaimana     merek     ini     bisa    sampai     diterima permohonannya oleh Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (DJKI), sejatinya penulis tidak sependapat dengan pendapat Agung Indriyanto selaku Koordinator Pemeriksaan Merek Kementrian Hukum dan Hak Asasi  Manusia.  Beliau menyatakan bahwa pertimbangan DJKI untuk mengabulkan permohonan merek ‘Open Mic Indonesia’ adalah karena merek tersebut merupakan kombinasi dari kata, logo, dan gambar sehingga pertimbangan istilah open mic yang umum dapat dikesampingkan. Menurut penulis, ketidakonsistenan regulasi pendaftaran merek inilah yang dapat menimbulkan misinterpretasi dari pemilik merek atas perlindungan yang diberikan. Seharusnya berdasarkan ketentuan UU no. 20 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa merek yang mengandung istilah umum dan mendiskripsikan langsung tentang jasa yang diatawarkan tidak dapat diterima. Sebab hal ini justru akan menimbulkan efek lebih lanjut berupa kemungkinan timbulnya sengketa dan monopoli di kemudian hari terhadap merek yang didaftarkan. Tidak hanya dari sisi regulasinya saja, pelaku usaha yang mendaftarkan merek seharusnya lebih peka dan inovatif dalam membuat merek yang merepresentasikan barang/jasa yang diatawarkan, bukan dengan memonopoli kata yang sudah umum digunakan.

Posting Komentar

0 Komentar