PENYERAHAN HAK ATAS TANAH KOMUNAL GUNA AKSES JALAN (STUDI KASUS TANAH SUKU CHANIAGO NAGARI BATUKAMBING)
Mulyadi Ilham, S.H. dan Muhammad Kevin Yades, S.H.
Dewan Penasihat Pengurus Kombad Justitia
mulyadiilham1101@gmail.com dan kevinyades2724@gmail.com
I. PENDAHULUAN
Masyarakat hukum adat (adatrechtsgemeenschap) adalah kelompok manusia yang hidup secara turun temurun sebagai suatu ikatan asal usul leluhur, yang mendiami suatu daerah tertentu dengan identitas budaya dan adanya peraturan hukum adat serta mempunyai kekayaan yang berwujud maupun tidak berwujud. Eksistensi masyarakat hukum adat telah diakui dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Menurut Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945 bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik”.
Peraturan perundang-undangan lainnya juga telah mengatur tentang masyarakat hukum adat. Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) menjelaskan “Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah- daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan- ketentuan Peraturan Pemerintah”.
Masyarakat hukum adat memiliki hak-hak yang diakui dan dilindungi oleh Undang-Undang, salah satu hak yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat adalah hak atas tanah adat. Tanah bagi kehidupan manusia sangatlah penting, karena seluruh aspek kehidupan berkaitan dengan tanah, termasuk juga bagi masyarakat hukum adat.
Pada saat ini keberadaan tanah adat disertai dengan pembangunan yang semakin pesat, karena melalui pembangunan inilah kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dapat meningkat. Tidak terkecuali dengan pembangunan untuk akses wisata, dengan adanya pembangunan ini sarana dan prasarana juga akan semakin baik serta potensi ekonomi lokal akan semakin berkembang.
Sering terjadi dalam suatu pembangunan harus mengorbankan tanah masyarakat adat, seperti yang terjadi di Nagari Batukambing yang terletak di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat dimana terjadi penyerahan hak atas tanah Ulayat suku untuk pembangunan jalan menuju objek wisata Lubuak Ungun. Penyerahan salah satu tanah adat di Nagari Batukambing disebabkan karena adanya pengembangan objek wisata Lubuak Ungun, objek wisata Lubuak Ungun merupakan jenis wisata alam berupa sungai yang diapit oleh dua buah tebing disisi kanan dan kirinya. Objek wisata ini terletak jauh dari jalan raya sehingga terdapat kesulitan untuk mengaksesnya, untuk mengembangkan potensi wisata lubuak Ungun dibuat jalan dari jalan raya menuju lokasi wisata Lubuak Ungun dengan menggunakan tanah milik masyarakat adat yakni dari Suku Chaniago.
Dalam pembangunan objek wisata Lubuak Ungun ini dimulai dari adanya usulan oleh bapak Hendra gunawan selaku Wali Jorong Pasar Nagari Batukambing untuk membangun jalan menuju Lubuak Ungun dalam Musyawarah Nagari (MUSNA) Batukambing pada tahun 2018. Setelah dilakukannya musyawarah ini, maka dilakukan musyawarah lanjutan dengan Suku Chaniago yang tanahnya akan digunakan. Masyarakat Suku Chaniago sendiri menyetujui adanya pembangunan jalan menuju objek wisata Lubuak Ungun dengan syarat adanya ganti kerugian yang diterima oleh masyarakat yang tanahnya digunakan dalam pembanguunan jalan ini.
Pemberian ganti kerugian disepakati oleh pemerintah Nagari Batukambing, yang akan diberikan setelah selesainya pembangunan jalan. Setelah adanya kesepakatan mengenai ganti kerugian oleh pemerintah Nagari Batukambing maka dibuatlah surat pembebasan lahan yang ditandatangani oleh masyarakat Suku Chaniago sebagai bentuk persetujuan bahwa tanah mereka akan digunakan dalam pembangunan jalan. Saat pembangunan dilakukan ternyata ada beberapa keluarga yang tidak dilibatkan dalam pembangunan jalan ini, padahal tanah mereka juga digunakan. Keluarga yang tidak dilibatkan ini merupakan anggota Suku Chaniago pimpinan Datuak Basa, hal tersebut terjadi karena kesalahan dari pemilik lahan yang tidak memberitahukan kepada Datuak Basa bahwa tanah yang mereka miliki telah dibagi kepemilikannya. Selain itu, hal ini disebabkan karena tanah yang terkena pembangunan cuma sedikit, Datuak Basa memutuskan untuk membuat namanya saja sebagai perwakilan dalam surat pembebasan lahan. Sedangkan, empat keluarga lain yang ada dalam surat pembebasan lahan merupakan anggota masyarakat Suku Chaniago pimpinan Datuak Panduko Sinaro.
Salah satu anggota Suku Chaniago pimpinan Datuak Basa yang tidak dilibatkan ini meminta tambahan ganti kerugian yang sama dengan masyarakat lainnya yang tanahnya terkena dalam pembangunan jalan. Hal ini menyebabkan adanya tambahan ganti kerugian yang dimintakan oleh masyarakat suku Chaniago. Adanya tambahan ganti kerugian ini tidak sepakati oleh pemerintah Nagari Batukambing, karena tidak sesuai dengan kesepakatan awal serta ditakutkan dana pembangunan jalan tidak cukup. Hal ini menyebabkan pembangunan jalan menuju objek wisata menjadi terhenti karena adanya sengketa dengan masyarakat pemilik tanah, karena masyarakat masih meminta diberikan ganti kerugian tapi dari pihak nagari tidak bisa memberikan ganti kerugian seperti yang dimintakan.
II. PEMBAHASAN
A. Proses Penyerahan Hak Atas Tanah Ulayat Suku Chaniago
Tanah ulayat suku merupakan salah satu contoh daripada tanah komunal, karena kepemilikan tanah tidak bersifat individual atau dimiliki oleh perorangan saja tetapi dimiliki oleh suku. Setiap masyarakat Suku memiliki hak untuk mengelola dan memanfaatkannya tapi tidak boleh menjualnya untuk kepentingan pribadi karena status tanahnya milik suku yang akan diwarisi secara turun temurun untuk anak kemenakan.
Tanah ulayat kaum merupakan pusaka yang diwariskan secara turun- temurun, yang haknya berada pada perempuan, artinya tanah Ulayat ini hak pengelolaannya dimiliki perempuan yang ada dalam suku atau kaum. Lebih lanjut, tanah tersebut haruslah diwariskan kepada anggota suku atau kaum dan tidak boleh keluar dari lingkup suku atau kaum, seperti yang terdapat dalam fatwa adat menyatakan bahwa birik-birik tabang ka sawah (Birik-birik terbang kesawah), dari sawah tabang ka halaman (dari sawah terbang ke halaman), basuo ditanah bato (bertemu ditanah bata), dari niniak turun kamamak (dari ninik turun ke mamak), dari mamak turuk ka kamanakan (dari mamak terun kemanakan), patah tumbuah hilang baganti (patah tumbuh hilang berganti) dan pusako baitu juo (pusaka begitu juga ).
Menurut A.A Navis dalam satu nagari ada dua jenis Ulayat yaitu: Ulayat nagari dan Ulayat kaum. Ulayat nagari berupa hutan yang jadi cagar alam dan tanah cadangan nagari, yang disebut hutan tinggi. Ulayat ini berada dibawah kekuasaan penghulu andiko, yang juga disebut penghulu keempat suku. Sedangkan Ulayat kaum adalah tanah yang dapat dimanfaatkan tetapi belum diolah penduduk, yang disebut hutan rendah. Ulayat ini dibawah kekuasaan penghulu suku yang jadi puncak atau Tuannya.
Sebagian besar tanah di Sumatera Barat dimiliki oleh masyarakat adat, tanah yang dimiliki merupakan tanah warisan turun temurun dalam suatu kaum atau suku. Maka tidak jarang dalam suatu pembangunan harus menggunakan tanah dari masyarakat adat untuk kelancaran pembangunan. Salah satunya pelepasan hak atas tanah adat suku Chaniago dalam pembangunan jalan menuju wisata Lubuak Ungun, tanah yang digunakan termasuk kedalam jenis tanah Ulayat Suku yang dikuasai oleh masyarakat Suku Chaniago pimpinan Datuak Panduko Sinaro.
Proses penyerahan hak atas tanah adat Suku Chaniago ini dimulai dari adanya rencana pembangunan dan pengembangan objek wisata Lubuak Ungun di Nagari Batukambing. Perencanaan dan pembangunan objek wisata ini dimulai melalui Pramusyawarah Nagari Batukambing pada tahun 2018 yang diadakan di Kantor Wali Nagari Batukambing. Pramusyawarah Nagari (PRAMUSNA) merupakan agenda musyawarah di Nagari Batukambing yang dilaksanakan setiap tahun, dengan tujuan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat serta menentukan pembangunan prioritas yang akan dilakukan di Nagari Batukambing. Pada pertemuan ini dihadiri 4 orang Jorong di Nagari Batukambing yakni Jorong Pasar, Jorong Kampung Parik, Jorong Balai Badak dan Jorong Alahan Siriah serta Wali Nagari Batukambing.
Pada saat dilangsungkannya musyawarah, perwakilan dari Jorong Pasar mengusulkan untuk membuat akses jalan menuju objek wisata Lubuak Ungun yang pada saat itu hanya memiliki akses berupa jalan setapak dan jauh dari jalan umum. Jorong pasar mengatakan bahwa perlunya akses jalan ini karena untuk pengembangan objek wisata Lubuak Ungun sendiri yang pada saat itu sedang ramai dikunjungi oleh masyarakat, terutama masyarakat dari Kecamatan Ampek Nagari, Kecamatan Palembayan dan Kecamatan Lubuk Basung.
Dari semua usul yang diberikan oleh pihak-pihak yang hadir pada Pramusyawarah Nagari ini akan dirangking usulan mana yang akan menjadi prioritas pembangunan dan akan dibahas lebih lanjut dalam Musyawarah Nagari (MUSNA). Musyawarah Nagari merupakan musyawarah lanjutan yang dihadiri oleh semua tokoh masyarakat Nagari Batukambing, Pada Musyawarah Nagari Batukambing tahun 2018 dihadiri oleh tokoh- tokoh seperti Wali Nagari Batukambing, Jorong-jorong di Nagari Batukambing, Datuak atau penghulu adat yang tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari, alim ulama, Ketua Karang taruna Sarasah Indah, Babinsa Nagari Batukambing serta tokoh-tokoh masyarakat Nagari Batukambing lainnya.
Dalam Musyawarah Nagari ini, usulan-usulan pembangunan yang telah dirangking sebelumnya akan dibahas lebih lanjut dengan semua tokoh-tokoh masyarakat Nagari Batukambing. Masing-masing jorong akan menyampaikan alasan pembangunan yang diusulkan, setelah dilakukan pembahasan dari beberapa usulan yang disampaikan oleh pihak-pihak yang hadir, maka diputuskanlah untuk menjadikan pembangunan jalan menuju wiasata Lubuak Ungun sebagai salah satu prioritas pembangunan di Nagari Batukambing.
Setelah dilakukannya musyawarah ini jorong pasar melakukan pertemuan dengan pemimpin suku chaniago yang tanah kaumnya akan digunakan untuk pembangunan jalan. Pada pertemuan ini dibahas mengenai berapa keluarga yang tanahnya akan dipakai dan bagaimana mekanisme penyerahan tanah serta dibahas juga mengenai ganti rugi yang akan diberikan kepada masyarakat. Dalam musyawarah ini masyarakat sepakat untuk memberikan tanah untuk pembangunan jalan dengan syarat diberikan ganti kerugian, hal ini kemudian dimuat dalam surat pembebasan lahan yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat.
Walaupun usulan pembangunan dilakukan pada bulan Desember tahun 2018 tetapi pembangunan baru dimulai pada bulan November-Desember 2019 dan terhenti kembali selama 2 tahun, pembangunan jalan baru kembali dimulai pada bulan juli 2021, karena adanya sengketa dengan masyarakat pemilik lahan terkait pembayaran ganti kerugian. Sengketa ini bermula ketika salah satu anggota Suku Chaniago pimpinan datuak Basa merasa tidak dilibatkan dalam pembangunan jalan. Dalam surat pembebasan lahan hanya mencantumkan nama Datuak Basa sebagai pihak yang menandatangani karena tanah yang terkena dalam pembangunan hanya sedikit dan merupakan tanah terbengkalai yang tidak ditanami tumbuhan, selain itu pihak pemilik lahan yang merupakan kemenakan Datuak Basa yang tidak berdomisili di Nagari Batukambing juga sudah menyetujui pembangunan.
Dalam perkembangannya kemenakan lainnya juga merasa berhak atas ganti kerugian karena tanah tersebut sudah dibagi, tetapi dia tidak dimasukan kedalam surat pembebasan lahan. Hal ini terjadi karena kemenakan Datuak Basa tersebut tidak memberitahukan tanah tersebut sudah dibagi kepemilikannya walaupun belum ada pengelolaan. Permasalahan yang kedua, karena terdampaknya tanaman masyarakat yakni adanya rencana penebangan beberapa pohon kelapa sawit dan durian salah satu anggota suku Chaniago dalam pembangunan ini, yang menyebabkan masyarakat meminta tambahan ganti kerugian.
Penebangan tanaman tersebut dilakukan karena letak tanaman yang terlalu dekat dengan jalan sehingga membuat jalan yang dibangun menjadi terhambat. Dari pemilik tanah mengizinkan namun dengan syarat adanya tambahan ganti kerugian terhadap tanaman yang ditebang. Adanya tambahanganti kerugian initidak disetujui oleh Pemerintah Nagari Batukambing, karena tidak sesuai kesepakatan awal dan ditakutkan dana yang tersedia tidak cukup.
Setelah tertundanya pembangunan selama 2 tahun, pada bulan April 2021 dilakukan pertemuan untuk menyelesaikan permasalahan dengan masyarakat dan agar pembangunan jalan dapat dilanjutkan. Pada pertemuan ini dari pihak pemilik lahan yakni Suku Chaniago sepakat untuk menghapus syarat pemberian ganti kerugian tetapi mereka meminta dilibatkan dalam pembangunan dan pengelolaan objek wisata nantinya. Pembangunan jalan kemudian dilakukan kembali pada bulan Juli 2021, setelah pembangunan jalan selesai dilakukan, masyarakat Suku Chaniago tetap dilibatkan dalam pengelolaan objek wisata sebagai anggota dari Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Nagari Batukambing.
B. Pemberian Kerugian Atas Tanah Ulayat Suku Chaniago
Apabila merujuk kepada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU 2/2012) disebutkan bahwa pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan langsung kepada pihak yang berhak. Apabila tanah yang terkena pengadaan tanah adalah milik komunal masyarakat hukum adat, maka masyarakat hukum adat tersebut berhak menerima ganti kerugian. Jenis-jenis ganti kerugian menurut Pasal 36 UU 2/2012 terdiri dari uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Menurut Undang-Undang tersebut dapat diketahui bahwa ganti kerugian yang diberikan tidak harus berupa uang tetapi bisa juga dalam bentuk tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat tersebut. Sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sumardjono, bahwa selain bentuk-bentuk ganti kerugian dalam ketentuan perundangan, perlu juga dipikirkan bagaimana cara agar masyarakat setempat tidak kehilangan sumber kehidupan/mata pencahariannya sehingga terjamin keberlangsungan hidup mereka5
Dalam musyawarah Suku Chaniago ini dihadiri oleh 2 Datuak atau penghulu adat dari suku Chaniago yang berbeda, karena salah satu masyarakat adat yang tanahnya terkena pembangunan memiliki Datuak yang berbeda walaupun sama- sama berasal dari Suku Chaniago. Pihak yang hadir yakni Datuak Panduko Sinaro, Datuak Basa selaku datuak dari suku chaniago, Jorong Pasar Batukambing dan masyarakat suku yang tanahnya terdampak. Dalam musyawarah ini dibahas mengenai akan adanya pembangunan jalan menuju lubuak Ungun yang akan menggunakan tanah beberapa orang dari anggota suku chaniago. Pada pertemuan inilah diminta persetujuan dari masyarakat suku Chaniago untuk pembangunan jalan menuju wisata Lubuak Ungun yang akan menggunakan tanah suku Chaniago.
Dalam musyawarah ini, anggota suku Chaniago yang menghadiri sepakat untuk mengizinkan pembangunan jalan menuju objek wisata dengan syarat adanya pemberian ganti kerugian kepada masyarakat yang tanahnya terdampak. Hasil dari musyawarah ini kemudian disampaikan oleh Jorong Pasar kepada pihak nagari. Dari pihak Nagari menyanggupi pemberian ganti kerugian sebesar 4-5 juta/kepala keluarga. Setelah adanya kesepakatan ini, maka dibuatlah surat pernyataan pembebasan lahan sebagai bukti bahwa masyarakat setuju bahwa tanah mereka digunakan dalam pembangunan jalan.
Saat pembangunan dilakukan pada bulan November-Desember 2019 terjadi beberapa sengketa dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh beberapa penyebab diantaranya, ada beberapa tanah yang ternyata sudah dimiliki oleh orang yang berbeda karena telah dibagi kepemilikan dan pengelolaannya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya permasalahan mengenai ganti rugi yang timbul dalam masyarakat yang terdampak, karena dalam surat pembebasan lahan dan pembahasan dari awal pembangunan mereka tidak dilibatkan. Permasalahan yang kedua, karena terdampaknya tanaman masyarakat yang menyebabkan masyarakat meminta tambahan ganti kerugian.
Dengan adanya beberapa permasalahan tersebut diatas maka pembangunan jalan yang dijadwalkan dilaksanakan pada bulan November-Desember 2019 tersebut menjadi tertunda pengerjaannya. Pemerintah nagari berpendapat jika diberikan tambahan ganti kerugian lagi terhadap masyarakat dan tanaman yang terdampak, dikhawatirkan dana pembangunan jalan tidak mencukupi. Dana yang dialokasikan tidak hanya untuk pembangunan jalan tetapi juga termasuk untuk pengembangan objek wisata seperti sarana dan prasarana yakni toilet, tangga menuju sungai, papan tulisan wisata, gapura serta pembuatan warung-warung yang nantinya akan disewakan.
Pembangunan jalan ini tertunda hampir dua tahun karena adanya beberapa sengketa dengan masyarakat tersebut. Pada bulan April 2021 akhirnya dilakukan pertemuan kembali dengan masyarakat suku Chaniago untuk membahas kelanjutan pembangunan jalan menuju objek wisata ini. Pada pertemuan ini dihadiri oleh Wali Nagari Batukambing, Jorong Pasar, Datuak Suku Chaniago serta masyarakat suku Chaniago yang tanahnya terdampak.
Dalam pertemuan ini dibahas penyelesaian yang akan ditempuh oleh kedua belah pihak, dari pihak nagari menjelaskan alasan kenapa ganti kerugian yang dimintakan tidak bisa dikabulkan. Setelah dilakukan pembahasan maka dari masyarakat suku chaniago yang awalnya menuntut ganti kerugian merubah syarat dalam pembangunan jalan ini, mereka tidak meminta adanya ganti kerugian lagi tapi masyarakat Suku Chaniago meminta untuk dilibatkan sebagai pekerja dalam pembangunan ini dan diberikan upah yang sesuai dengan kesepakatan yang ada, serta mereka juga dilibatkan dalam pengembangan objek wisata melalui Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) yang nantinya menjadi pengelola objek wisata Lubuak Ungun dibawah pemerintah Nagari Batukambing.
Adanya perubahan syarat ini karena dari masyarakat suku Chaniago sendiri menyadari akan pentingnya pembangunan jalan ini. Terlepas dari tujuan pembangunan jalanan ini untuk kemudahan menuju objek wisata, mereka beranggapan dengan adanya jalan ini juga akan memudahkan akses menuju perkebunan, serta akan memudahkan proses pengangkutan hasil panen yang sebelumnya hanya bisa menggunakan gerobak akan bisa diangku dengan kendaraan bermotor. Diharapkan dengan adanya jalan ini juga dapat meningkatkan hasil perkebunan masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Setelah adanya kesepakatan penghapusan pemberian ganti kerugian tersebut, maka pembangunan jalan dilanjutkan kembali pada bulan juli 2021. Setelah pembangunan jalan selesai dilakukan maka masyarakat tetap dilibatkan dalam pembangunan sarana dan prasarana seperti toilet umum, tangga dan gapura. Pembangunan sarana dan prasaran selesai pada akhir tahun 2021.
Bentuk penyelesaian dan ganti kerugian yang diberikan tersebut sesuai dengan Pasal 36 Huruf e UU 2/2012, yakni bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini kedua belah pihak sepakat bahwa pemberian ganti kerugian berupa uang dihapuskan dan diganti dengan melibatkan masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan wisata Lubuak Ungun.
III. KESIMPULAN
Faktor penyebab terjadinya pelepasan hak atas tanah adat Suku Chaniago untuk akses wisata Lubuak Ungun disebabkan beberapa faktor penyebab yakni adanya pengembangan objek wisata Lubuak Ungun yang menjadi salah satu prioritas pembangunan di Nagari Batukambing, jalan sebelumnya yang hanya berupa jalan setapak sehingga sulit untuk diakses dan posisi objek wisata yang jauh dari jalan umum. Proses penyerahan hak atas tanah adat suku Chaniago untuk akses wisata dimulai dari adanya usulan yang diajukan oleh Jorong Pasar Nagari Batukambing yang disepakati menjadi salah satu prioritas pembangunan di Nagari Batukambing dalam Musyawarah Nagari (MUSNA) Batukambing, yang dilanjutkan dengan surat pembebasan lahan oleh Suku Chaniago dengan syarat pemberian ganti rugi. Setelah pelaksanaan pembangunan terjadi sengketa dengan masyarakat Suku Chaniago yang membuat syarat yang semula pemberian ganti rugi dihapus dan diganti menjadi pelibatan masyarakat yang tanahnya terdampak dalam pembangunan dan pengelolaan melalui Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Batukambing.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Navis , A.A, Alam Takambang jadi Guru, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1986. Narson, M, Dasar Falsafah Adat Minagkabau, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
Soemadiningrat, Otje Saiman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis Terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum Yang Hidup dalam Masyarakat, Bandung:PT Alumni Bandung, 2002.
Sudiyat, Imam, Hukum Adat, Yogyakarta:Liberty, 2012.
Sumardjono, Maria S.W., Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial dan budaya, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2008.
0 Komentar