REDUCING EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION (REDD+): ANALISIS SEKTOR KEHUTANAN SEBAGAI KETAHANAN IKLIM INDONESIA
Abdhy Walid Siagian, S.H.
Peneliti Muda Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Energi
abdhy.walid11@gmail.com
I. PENDAHULUAN
Perubahan iklim sebagai salah satu permasalahan lingkungan yang memiliki dampak sangat luas sehingga menyebabkan bencana secara global. Konsentrasi gas rumah kaca yang menghangatkan bumi telah meningkat pada posisi yang sangat mengkhawatirkan, akibatnya suhu bumi meningkat secara drastis. Perubahan iklim dapat terjadi baik di secara alami maupun melalui aktivitas manusia, aktivitas ini dapat berupa peningkatan deforestasi pada hutan yang terjadi secara masif terjadi di belahan bumi, sehingga menyebabkan penyerapan atas emisi gas rumah kaca dapat terhambat yang disebabkan oleh rusaknya ekosistem hutan. Ketidakmampuan hutan atau lingkungan untuk menjalankan tugasnya dengan baik tentunya membutuhkan suatu kebijakan yang tepat melalui tindakan pemerintah. Tindakan ini dikenal sebagai Doktrin Parens Patriae. Jika negara bertindak sebagai orang tua atau wali yang rentan, doktrin ini juga dapat diterapkan pada lingkungan, karena dalam keadaan tertentu lingkungan menjadi entitas yang rentan dan membutuhkan perlindungan.
Fenomena perubahan iklim adalah peningkatan terus menerus konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Adanya perubahan iklim yang mempengaruhi lingkungan dan makhluk hidup harus menjadi tanggung jawab negara untuk mengatasinya. Tanggung jawab negara berkaitan dengan pengambilan keputusan dan kebijakan, serta instrumen hukum internasional dan legislasi nasional.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam perubahan iklim sejatinya telah diakomodir di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang mana terdapat pada konsideran UUPPLH yang menyebutkan bahwa perlunya dilakukan upaya perlindungan lingkungan hidup dari dampak pemanasan global. Salah satu tujuan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 huruf J UUPPLH adalah mengantisipasi isu lingkungan global seperti perubahan iklim.
Tindakan nyata untuk memerangi perubahan iklim adalah pengurangan dan/atau pencegahan gas rumah kaca yang dilepaskan oleh aktivitas manusia. Berbagai kegiatan yang dapat digolongkan sebagai mitigasi perubahan iklim, antara lain meningkatkan peran agroforestri untuk memperbaiki dan mempertahankan pengelolaan hutan. Hutan memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam pembangunan suatu bangsa dan negara karena hutan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tertuang dalam Pasal 33 (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hutan dalam upayanya mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia, salah satunya adalah Melestarikan keanekaragaman hayati, gamet, menghasilkan oksigen (O2), menyerap karbon dioksida (CO2) dan mengurangi perubahan iklim. Namun, perusakan ekologi hutan berdampak negatif terhadap peran ekologis, sosial ekonomi, hutan budaya, jasa hutan dan pengurangan keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik. Kemudian, tekanan pertumbuhan penduduk dan alih fungsi hutan untuk berbagai kepentingan pembangunan diawali dengan degradasi hutan dan percepatan deforestasi. Penyebab tidak langsung deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia terkait dengan perencanaan penggunaan lahan yang tidak efisien, masalah tenurial, pengelolaan hutan yang tidak efisien dan efektif, serta penegakan hukum yang lemah dan korupsi yang meluas di sektor hutan dan lahan sehingga menyebabkan degradasi hutan, kebakaran, penggundulan hutan, yang meningkatkan jumlah karbon di atmosfer.
Saat ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi GRK ini dibuktikan dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim. Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% jika ada kerja sama Internasional dari kondisi tanpa ada aksi (Business as usual) pada tahun 2030, salah satunya melalui sektor kehutanan dan pertanian.
Indonesia tidak akan mencapai target pengurangan emisinya sendiri tanpa mengatasi deforestasi dan degradasi hutan. Atas dasar itu, salah satu upaya untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan adalah melalui penyerapan karbon dan pengelolaan hutan lestari dengan mekanisme Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation (REDD+). Secara tidak langsung, konsep ini dapat dipahami sebagai mekanisme insentif bagi negara berkembang yang berhasil
menurunkan laju deforestasi. Mekanisme tersebut kemudian menitikberatkan pada perusahaan yang menginvestasikan uangnya untuk mencegah deforestasi di negara- negara penghasil karbon sebagai bentuk kompensasi atas pelepasan emisi karbondioksida yang berlebihan, karena dapat berkontribusi langsung dalam upaya mitigasi perubahan iklim, khususnya pada mekanisme perdagangan karbon.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa mekanisme transaksi pembayaran karbon dapat memberikan insentif yang paling efisien dan efektif untuk mengurangi emisi. REDD+ mampu memadukan manfaat perlindungan hutan dengan kepentingan keuangan negara, yang sebenarnya merupakan dua hal yang bertolak belakang. Potensi nilai yang sangat besar dari sistem REDD+ menawarkan Indonesia kesempatan untuk mewujudkan implementasi sistem ini untuk mengurangi emisi dan meningkatkan pendapatan pemerintah yang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan. Salah satu inisiatif yang dikembangkan adalah Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) Carbon Fund yang dikoordinasikan oleh Bank Dunia untuk membantu negara-negara pelaksana program REDD+, termasuk Indonesia, mempersiapkan diri untuk fase implementasi penuh REDD+.
FCPF merupakan program yang membantu negara berkembang mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, meningkatkan penyerapan karbon, perlindungan dan pengelolaan hutan lestari. pendanaan FCPF Carbon Fund akan mendorong peningkatan kapasitas dalam menyiapkan infrastruktur implementasi REDD+. Dukungan FCPF Carbon Fund meliputi kegiatan penelitian di tingkat nasional dan pembangunan kapasitas di tingkat nasional dan daerah. Dukungan FCPF Carbon Fund akan mendorong penguatan implementasi REDD+ di Provinsi Kalimantan Timur, sebagai wilayah percontohan pada tingkat sub-nasional, melalui mekanisme pembayaran berbasis kinerja.
Baru ini, pada penghargaan Adipura di Jakarta melalui pelaksanaan penandatanganan kerjasama (PKS) dari Program FCPF Carbon Fund, Kalimantam Timur menerima pembayaran berbasis kinerja atau Result Based Payment (RBP) Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut, REDD+ dengan penerima manfaat sampai ke tingkat tapak. Pemerintah Indonesia telah menyetujui pembayaran pertama program FCPF sebesar USD 20,9 juta (atau setara dengan 303 miliar rupiah) melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan pembayaran penuh (110 juta USD, hampir Rp 1,7 triliun) akan diberikan setelah pihak ketiga (auditor independen) menyelesaikan audit. Peruntukkan dana tersebut ditujukan untuk: (1) responsibility cost (25%) meliputi operasionalisasi pelaksanaan program FCPF Kalimantan Timur dan insentif untuk pihak-pihak yang berkontribusi pada pengurangan emisi lingkup provinsi Kalimantan Timur; (2) performance cost (65%) sebagai pembiayaan atas kinerja pengurangan emisi; (3) rewards (10%) yang akan diberikan ke desa-desa dan masyarakat hukum adat yang mempunyai komitmen untuk tetap menjaga tutupan hutan di Provinsi Kalimantan Timur.
Penerima manfaat dalam pelaksanaan kegiatan program FCPF Carbon Fund tersebut dapat dipahami dan diklasifikasikan sebagai berikut: Masyarakat (masyarakat adat dan lokal), pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten dan desa), serta kelompok usaha dan pengembang. Upaya pengurangan deforestasi dan degradasi hutan melalui program REDD+ yang didukung oleh dana karbon internasional dimaksudkan sebagai insentif agar negara-negara berkembang yang memiliki hutan tropis yang luas dapat memperoleh manfaat yang signifikan dari upaya pengurangan emisi. Sistem REDD+ memberikan insentif dan kompensasi bagi pelaku penurunan emisi berupa benefit sharing dengan mekanisme pembayaran berbasis kinerja. Program Dana Karbon FCPF Carbon Fund menemukan bahwa selain pemerintah (dan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan desa) serta kelompok bisnis dan pengembang, Masyarakat juga harus menjadi penerima manfaat utama dari program penurunan emisi.
II. PEMBAHASAN\
A. Pengaturan Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation
(REDD+) dalam upaya perlindungan hutan di Indonesia
Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation (REDD+) merupakan kema pengurangan emisi gas rumah kaca berdasarkan deforestasi, degradasi hutan, konservasi, sustainable forest management (SFM), aforestasi dan reforestasi. Tujuan REDD+ adalah, melalui perdagangan di pasar karbon internasional, untuk memberikan pinjaman kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pengurangan gas rumah kaca dengan memperdagangkan di pasar karbon internasional atau diserahkan kepada lembaga pendanaan yang kemudian memberikan kompensasi bagi negara yang melakukan konservasi hutan. Dalam kaitan ini, keberadaan skema REDD+ sebenarnya merupakan rencana yang dilaksanakan oleh berbagai pihak dan juga oleh negara, yang bertujuan untuk mendapatkan kompensasi atas upaya pengurangan deforestasi dan degradasi hutan.
Dalam hal ini, Indonesia memberikan kewenangan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melaksanakan tugas penanggulangan perubahan iklim sesuai Pasal 5 huruf a Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2020 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat merumuskan kebijakan perlindungan iklim dengan membuat peraturan untuk mendukung sistem perlindungan iklim melalui program REDD+ Indonesia.
Pemerintah Indonesia bersikap positif terhadap keberadaan sistem REDD+, terbukti dengan beberapa peraturan tentang sistem REDD+. Regulasi terkait skema REDD+ Indonesia adalah: Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Percontohan Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan; Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/Menhut- II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD); dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.
a. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Percontohan Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
Peraturan Menteri Kehutanan menjelaskan pelaksanaan kegiatan demonstrasi REDD+ di Indonesia. Tujuan kegiatan demonstrasi pengurangan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan adalah untuk menguji dan mengembangkan metode, teknologi dan kelembagaan pengelolaan hutan lestari yang bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dengan memperlambat deforestasi dan degradasi hutan. Adanya implementasi tersebut merupakan upaya untuk mengurangi emisi karbon yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan dengan memperoleh rencana pengelolaan hutan untuk mengurangi emisi karbon yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan.
Peraturan ini mewajibkan semua permohonan untuk melaksanakan kegiatan percontohan yang dievaluasi oleh Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kehutanan. Hasil penilaian yang dinilai oleh kelompok kerja perubahan iklim kemudian dikirim ke menteri dengan rekomendasi langkah-langkah yang direncanakan. Apabila penilaian tersebut disetujui oleh Menteri, maka menteri akan menerbitkan persetujuan yang mencantumkan:
a) Penetapan areal dan luasan demonstration activities berikut peta yang menunjukkan batas lokasi kegiatan;
b) Jangka waktu kegiatan paling lama lima tahun;
c) Ketentuan yang berkaitan dengan resiko, dan distribusi alokasi pendapatan. Namun, keberadaan peraturan ini sama sekali tidak hak-hak Masyarakat terkait dengan pelaksanaan percontohan dan tidak menjelaskan konteks kegiatan percontohan yang bersangkutan. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan ketika mendefinisikan kawasan sebagai percontohan, dapat terjadi ketidaksepakatan antara promotor proyek dan masyarakat mengenai kondisi sosial budaya masyarakat setempat dalam penetapan kawasan sebagai demonstration activities.
b. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)
Peraturan Menteri Kehutanan ini menetapkan tujuan umum pelaksanaan kegiatan REDD, yang ditujukan untuk mencegah dan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi guna memperkuat pengelolaan hutan. Peraturan ini khusus untuk memberikan jaminan terhadap kawasan hutan yang dapat dijadikan sebagai lokasi REDD di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (1) yang membagi atas: a). Areal kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA); b). Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT); c). Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kemasyarakatan (IUPHH-HKM); d). Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR); e). Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE); f). Areal Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP); g). Areal Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPLH); h). Areal Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK); i). Hutan Konservasi; j). Hutan Adat; k). Hutan Hak: dan i). Hutan Desa.
Peraturan ini juga mengatur pelaku REDD yang membagi atas dua entitas yang berperan, yaitu entitas nasional dan entitas internasional. Pelaku entitas nasional adalah pengelola dari dua belas (12) status kawasan hutan, sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 3 ayat (1), Sedangkan pelaku entitas internasional dapat berupa: pemerintah, badan usaha, dan organisasi internasional, yayasan, perorangan yang menyandang dana untuk pelaksanaan REDD. Dana pelaksanaan program REDD, merupakan dana yang bersumber dari pertisipasi para pihak konvensi PBB tentang perubahan iklim dan sumber pendanaan lain yang sah, namun sebelum adanya keputusan negara para pihak konvensi PBB tentang Perubahan Iklim mengenai mekanisme REDD di tingkat internasional, maka pelaksanaan REDD dilakukan melalui demonstration activity REDD, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi, serta perdagangan karbon sukarela.
Didalam peraturan ini menetapkan persyaratan untuk mengajukan permohonan pelaksanaan kegiatan REDD yang ditujukan kepada menteri dengan melengkapi persyaratan. Permohonan ini kemudian diserahkan kepada Komisi REDD untuk ditinjau, dengan memperhatikan kriteria-kriteria pemilihan lokasi REDD yang harus diikuti sebagaimana mencangkup atas:
a) Data dan Informasi: ketersediaan dan kelengkapan data dan informasi (historis) jumlah dan luas hutan dan stok karbon serta data terkait yang diperlukan untuk pelaksanaan REDD.
b) Biofisik dan ekologi: keragaman ekosistem, stok karbon, keanekaragaman hayati, dan keunikannya.
c) Ancaman terhadap sumber daya hutan: jenis dan tingkat ancaman; tingkat resiko lokasi terhadap deforestasi dan/atau degradasi.
d) Sosial, ekonomi, dan budaya: ketergantungan masyarakat terhadap lokasi; ada/tidaknya konflik; keterlibatan para pihak dalam pengelolaan hutan, dan kejelasan tentang dimensi pengentasan kemiskinan.
e) Kelayakan ekonomi: estimasi pendapatan dari REDD dan biaya yang diperlukan untuk menjamin terlaksananya pengurangan emisi dari deforestasi dan/atau degradasi hutan jangka panjang pada lokasi yang bersangkutan dan sekitarnya.
f) Tata kelola (governance): efisiensi dan efektivitas birokrasi (kejelasan tentang peran, tanggung jawab dan tanggung gugat antar pihak), dan kerangka hukum, serta komitmen pelaku REDD untuk mengubah perilaku (pola produksi dan tata guna lahan yang ramah lingkungan).
Menteri harus menyetujui atau menolak permohonan REDD dalam waktu 14 hari setelah menerima berkas. Setelah persetujuan dan verifikasi, Komisi REDD menerbitkan sertifikat pengurangan emisi karbon paling lambat 30 hari kerja, dimana sertifikat pengurangan emisi karbon tersebut dapat diperjualbelikan.
Adanya regulasi ini menunjukkan bahwa REDD di Indonesia sebagaimana dengan hadirnya Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/ Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), dengan memberikan kejelasan akan mekanisme pasar, dan sertifikat sebagai bukti kegiatan REDD yang dapat diperjualbelikan. Hasil pembagian dana yang diterima oleh pemerintah akan diperlakukan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kemudian pembagian dana bagi masyarakat akan disalurkan ke dalam bentuk trust fund yang pengelolaannya diatur bersama oleh masyarakat dan pemerintah desa, serta pengembang proyek. Trust fund ini dipergunakan untuk membiayai kegiatan pengamanan areal hutan proyek Pengembangan RAP- KARBON dan/atau PAN-KARBON dalam rangka mencegah kebocoran (leakage) (Pasal 17 ayat 4)”. Berbeda dengan REDD sebagaimana diatur dalam Permenhut P30/2009 yang mengaitkan dana hasil REDD dengan pengentasan kemiskinan, dana yang diterima dari proyek karbon itu sebenarnya juga dipergunakan untuk keperluan pemberdayaan masyarakat namun dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kebocoran (leakage) dari wilayah proyek tersebut.
c. Peraturan Menteri Kehutanan No. 36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara
Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung
Peraturan ini hadir berkaitan dengan REDD+ sebagaimana dijelaskan didalam Pasal 4, yang menjelaskan Pelaksanaan kegiatan usaha penyimpanan karbon dalam skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), dan penyerapan karbon dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri. Namun peraturan ini tidak menjelaskan lebih lanjut tentang peraturan REDD. Peraturan ini justru lebih menekankan pada perusahaan penyedia jasa lingkungan daripada pengurangan emisi. Peraturan ini membagi kegiatan usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon (RAP-Karbon) dan Penyimpanan Karbon (PAN-Karbon). Di dalam Pasal 3, dijelaskan pembagian atas kegiatan usaha RAP-Karbon dan PAN-Karbon untuk Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, dan Hutan Lindung.
Meskipun mengatur bahwa kegiatan RAP dan PAN dapat dilakukan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, namun peraturan tersebut tidak memuat batasan terinci tentang kegiatan RAP dan PAN, selain menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan bentuk pemanfaatan jasa lingkungan dalam produksi dan hutan lindung. Batasan ini tidak memberikan pengertian apa pun tentang apa sebenarnya kegiatan RAP dan PAN itu. Akan tetapi, terdapat uraian tentang kegiatan apa yang dapat dilaksanakan sebagai kegiatan RAP dan PAN. Kegiatan PAN meliputi penundaan pembalakan, perluasan kawasan konservasi, dan penerapan rotasi panen. Artinya, kegiatan PAN bertujuan untuk mempertahankan tegakan hutan terlebih dahulu dan menyiapkannya untuk penyerapan karbon. Kegiatan RAP mencakup penanaman dan peningkatan jumlah tegakan hutan di suatu areal hutan. Oleh karena itu, walaupun kegiatan RAP dan PAN dalam peraturan ini memiliki kegiatan spesifik yang berbeda pada hutan produksi dan hutan lindung, terdapat perbedaan mendasar antara kedua jenis kegiatan tersebut.
Kegiatan RAP dan PAN dapat dilaksanakan di kawasan yang telah maupun belum dibebani izin. Prasyarat dan tata cara pengajuan permohonan berbeda untuk kedua areal tersebut. Kewenangan atas areal yang telah dibebani izin (HTI, kawasan restorasi ekosistem, hutan tanaman rakyat, dan lain-lain) berada di tangan menteri, gubernur, dan bupati/walikota sedangkan kewenangan atas kawasan yang belum dibebani izin sebelumnya berada di tangan menteri. Namun tata cara kegiatan RAP dan PAN sangat mirip dengan REDD+, yaitu kegiatan diverifikasi oleh lembaga verifikasi independen dan akan diterbitkan sertifikat pengurangan emisi yang dapat diperdagangkan di pasar karbon. Kemungkinan perbedaan yang paling mendasar ialah bahwa RAP dan PAN hanya dapat terjadi di hutan produksi dan hutan lindung sedangkan kegiatan REDD+ juga dapat dilakukan di kategori hutan yang lain.
Permenhut No. P.30/ Menhut-II/2009 berisikan tentang tata cara dari pelaksanaan REDD, yang mana terdapat persyaratan yang harus dipenuhi, baik itu berupa verifikasi, sertifikasi, hak dan kewajiban dari pelaku REDD tersebut. Namun belum terdapat penetapan tingkat emisi yang menjadi acuan pembanding untuk skema REDD tersebut. Sementara itu, pada Peraturan Menteri Kehutanan No. 36/ Menhut-II/2009 adalah mengatur izin usaha dari REDD melalui penyerapan dan penyimpanan karbon. Kemudian peraturan ini juga menjelaskan perimbangan keuangan, tata cara pengenaan, pemungutan, penyetoran, dan penggunaan dari penerimaan negara dengan menggunakan skema REDD ini. Peraturan ini juga membedakan antara kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon di berbagai jenis hutan dan jenis usaha.
B. Implementasi Skema REDD+ pada Provinsi Kalimantan Timur sebagai daerah percontohan Forest Carbon Partnership Facility
REDD+ sebagai alat utama untuk memenuhi komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2020 sebesar 26% dari skenario BAU dengan biaya sendiri atau sebesar 41% dengan dukungan internasional. Komitmen Indonesia kemudian diperbaharui dengan Paris Agreement 2015, dimana Indonesia memutuskan dalam teks skenario BAU (Intended Nationally Certain
Contribution, INDC) untuk menurunkan emisi nasional sebesar 29 persen pada tahun
2030.
Sejak tahun 2014, implementasi sistem REDD+ di Indonesia telah memasuki fase ketiga, yang berfokus pada pengembangan model keuangan berbasis hasil dan mekanisme berbasis pasar. Pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2013, pelaksanaan sistem REDD+ dimulai dengan pelaksanaan tahap 1 atau tahap persiapan, dan tahap
2 atau tahap perubahan yang meliputi penyusunan strategi nasional REDD+, pembentukan lembaga independen MRV, penetapan instrumen pembiayaan, penetapan Provinsi percontohan, operasionalisasi instrumen pembiayaan, moratorium izin baru konversi hutan alam dan gambut, pengembangan basis data hutan yang terdegradasi, penegakan hukum pembalakan, perdagangan kayu dan penyelesaian konflik lahan/masalah tenurial. Pada fase 3, model perdagangan karbon akan dipromosikan melalui pengembangan model keuangan berbasis kinerja dan mekanisme berbasis pasar, yang darinya para pelaku program REDD+ akan mendapatkan keuntungan baik secara finansial maupun non-finansial.
Salah satu inisiatif yang dikembangkan adalah Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) yang dikoordinasikan oleh Bank Dunia untuk membantu negara- negara pelaksana program REDD+, termasuk Indonesia, mempersiapkan diri untuk fase implementasi penuh REDD+, FCPF sebagai program yang membantu negara berkembang mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, meningkatkan penyerapan karbon, perlindungan dan pengelolaan hutan lestari. Diumumkan pembentukannya pada COP 13 di Bali pada Desember 2007, FCPF mulai beroperasi pada bulan Juni 2008. FCPF menyediakan dukungan pendanaan melalui Dana Karbon (FCPF Carbon Fund), yakni dukungan pendanaan berbasis kinerja yang ditujukan sebagai piloting/ujicoba pembayaran atas penurunan emisi dari satu lanskap hutan dengan pendekatan berbasis hasil.
Untuk dapat melaksanakan Program FCPF Carbon Fund, pemerintah Indonesia diwajibkan menyusun Emission Reduction – Program Idea Note (ER-PIN) pada skala nasional yang diusulkan kepada Bank Dunia. Tahapan selanjutnya setelah ER-PIN disetujui adalah penyusunan Emission Reduction Project Development (ER-PD) pada skala daerah percontohan. Dalam skema program FCPF, terdapat tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk mendapatkan skema pendanaan Carbon Fund. Penyusunan proposal Emission Reductions – Program Idea Note (ER-PIN) merupakan awal dari proses penawaran program yang diajukan Indonesia ke Bank Dunia sebagai lembaga pengelola dana Carbon Fund Setelah proposal awal (ER-PIN) disetujui, maka ditindaklanjuti dengan penyusunan proposal penuh pelaksanaan program FCPF melalui dokumen Emission Reduction – Project Development (ER-PD), dokumen ini kemudian nantinya akan diikuti dengan penyusunan skema kesepakatan Emission Reduction – Purchase Agreement (ER-PA). Berdasarkan dokumen ER-PIN, Indonesia mengusulkan Provinsi Kalimantan Timur sebagai wilayah percontohan dalam Program FCPF Carbon Fund, sehingga ER-PD akan disusun berbasis konteks lokal Provinsi Kalimantan Timur.
Penetapan tersebut diperkuat dengan hadirnya Surat Kepala Badan Penelitian Pengambangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 5.92/Litbang-P3SEKPI/2015 pada tanggal 30 September 2015 tentang Program Carbon Fund. Surat ini kemudian dilanjutkan dengan Surat Pernyataan yang ditandatangani oleh Dr. H. Awang Faroek Ishak selaku Gubernur Kalimantan Timur pada 5 Oktober 2015.234 Provinsi Kalimantan Timur mempunyai luas wilayah
sekitar 12.726.752 ha yang terdiri dari daratan seluas 12.533.681 ha dan perairan darat seluas 193.071 ha. ER-PD yang disusun bagi Program FCPF Carbon Fund akan memiliki
komponen utama sebagai berikut: pengaturan kelembagaan pengelola, lokasi, strategi intervensi, pelibatan pemangku kepentingan, rencana operasional dan pendanaan, jenis dan kategori karbon, tingkat referensi, metodologi pemantauan, pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV), kebocoran dan risiko balik, kerangka pengaman sosial dan lingkungan, pengelolaan data dan sistem registrasi dan kelembagaan dan mekanisme pembagian manfaat.
Dalam berbagi manfaat program REDD+, beberapa aspek penting harus dipertimbangkan secara holistik, yaitu:
Mengidentifikasi siapa yang harus menerima manfaat, menentukan jenis manfaat yang paling tepat dan perjanjian bagi hasil yang berlaku. Ini berarti bahwa pengaturan manfaat REDD+ terkait erat dengan jenis manfaat yang akan dibagi dan kepada siapa manfaat tersebut dibagikan.
Perbedaan pengaturan bagi hasil didasarkan pada sifat pasar pendukung atau keuangan karbon, yang terdiri dari compliance market dan voluntary market. Compliance market merupakan pasar karbon yang berada di bawah aturan kesepakatan internasional untuk penetapan target pengurangan emisi pada negara maju dengan kompensasi kredit penurunan emisi dari proyek-proyek penurunan emisi yang dilakukan di negara berkembang. Sedangkan voluntary market merupakan pasar karbon yang menggunakan mekanisme perdagangan emisi tetapi berjalan diluar kesepakatan internasional.18
Dalam voluntary market, entitas internasional bisa langsung melakukan transaksi dengan para pengembang/pelaku Program REDD+, yaitu pemilik lahan atau pemegang izin usaha pemanfaatan hutan dengan atau tanpa keterlibatan pihak ketiga pendukung. Untuk kawasan hutan, pemerintah sebagai pemilik lahan dapat mengenakan beragam instrumen pungutan atas rente ekonomi yang dihasilkan dari usaha penyerapan atau penyimpanan karbon. Sedangkan dalam compliance market, peran pemerintah memegang peranan sentral karena dana bilateral maupun multilateral akan dikelola secara terpusat untuk kemudian didistribusikan kepada para pihak yang terlibat dalam implementasi Program REDD+.19
Pada skema voluntary market, entitas internasional sebagai pembeli dapat
langsung melakukan pembayaran berdasarkan sertifikat emisi pengurangan karbon (Sertifikat REDD/Certified Emission Reduction/CER) yang dihasilkan. Sedangkan untuk skema compliance market, penerimaan atas CER yang dijual masuk ke pemerintah pusat sebelum akhirnya disalurkan kembali ke pengelola setelah dipotong iuran izin usaha dan pungutan atas Sertifikat REDD yang terjual. Penerimaan yang bersumber dari hasil penjualan sertifikat REDD merupakan hak pengelola.
Jika lokasi REDD+ berada di kawasan hutan, maka pengelola memiliki kewajiban membayar rente ekonomi kepada negara berupa iuran izin kegiatan REDD+ dan pungutan atas sertifikat REDD+ yang dijual. Biaya izin penyelenggaraan REDD+ ini dibayarkan satu kali selama masa pengelolaan. Sedangkan pungutan atas CER berdasarkan volume karbon yang dijual (per ton C equivalent). Mekanisme distribusi dan proporsi bagi hasil dari iuran ijin REDD+ ini mengikuti Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Proporsi Dana Bagi Hasil dari iuran izin REDD+ antara pemerintah pusat dan daerah adalah 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk pemerintah daerah, dengan rincian 16% untuk pemerintah provinsi yang bersangkutan dan 64% untuk pemerintah kabupaten penghasil.
Bagian untuk pemerintah pusat dialokasikan untuk Dana Jaminan REDD+ Nasional. Sementara itu, diusulkan agar mekanisme bagi hasil dan bagi hasil pembayaran subsidi REDD yang dijual mengikuti bagi hasil dana reboisasi, yaitu 60% untuk pemerintah pusat dan 40 % untuk pemerintah daerah. Proporsi tersebut diusulkan dengan dasar bahwa implementasi REDD+ berdasarkan pendekatan nasional yang melibatkan kelembagaan yang kompleks karena melibatkan lintas sektoral.243 Pengelola REDD+ juga memiliki kewajiban memberikan kontribusi terhadap masyarakat sekitar lokasi REDD+, sehingga perlu ada manfaat yang dialokasikan kepada masyarakat.
Sebagian dari pendapatan REDD+ dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam bentuk mata pencaharian alternatif seperti mendukung pembibitan, perikanan, peternakan, kerajinan, dan sebaginya. Selain itu, bantuan juga dapat mencakup pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Pemerintah daerah juga diwajibkan untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat dari pendapatan DBH REDD+. Bantuan diberikan di unit kerja masing-masing kota dengan program dukungan yang ditunjukkan dalam anggaran. Program-program ini bertujuan untuk memperkuat masyarakat di sekitar lokasi REDD+. Mekanisme pembayaran berbasis kinerja dapat dilaksanakan di berbagai tingkat program REDD+, mulai dari program yang ditargetkan pada pengguna lahan hingga program yang dikelola oleh masing-masing kota.
Mekanisme pembayaran berbasis kinerja REDD+, atau pembayaran berbasis kinerja, merupakan insentif yang diharapkan dapat memfasilitasi dukungan pemangku kepentingan dan menciptakan kondisi yang diperlukan untuk mendorong perubahan perilaku yang positif di pihak para pihak untuk mencapai tujuan akhir program REDD+. Pembagian manfaat dalam program REDD+ juga dimaksudkan untuk membantu mengatasi beberapa risiko dan biaya dari pemangku kepentingan yang tidak berdaya dan terpinggirkan dengan memberikan pembayaran tunai untuk hasil kinerja.
III. KESIMPULAN
Perlindungan dan pencegahan lingkungan harus didasarkan pada tanggung jawab, keberlanjutan, dan utilitas pemerintah untuk mencapai pembangunan yang berwawasan lingkungan dan perlindungan terhadap efek pemanasan global. Pemanasan global yang disebabkan oleh meningkatnya deforestasi dan melemahnya fungsi hutan dalam menyerap emisi karbon. Terhadap hal tersebut, diperlukan adanya mekanisme REDD+ dalam upaya mitigasi perubahan iklim yang menekankan pada pengelolaan hutan untuk mencegah degradasi, melindungi dan meningkatkan kualitas hutan dan cadangan karbon untuk mendukung keberlanjutan.
Eksistensi sistem REDD+ di Indonesia telah diperhitungkan dalam Permen LHK 70/2017 yang bertujuan untuk mencapai implementasi REDD+ sesuai dengan persyaratan keputusan keputusan COP UNFCCC tentang REDD+. Pemerintah pusat yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dan hutan bertanggung jawab atas pelaksanaan REDD+, dan di tingkat daerah pemerintah provinsi, swasta, pengelola unit pengelolaan hutan, dan kelompok masyarakat. Implementasi atas sub nasional ini telah menunjuk Provinsi Kalimantan Timur sebagai wilayah percontohan REDD+ dengan pendanaan dari Bank Dunia pada program FCPF. Dalam memenuhi pelaksanaan tersebut, Indonesia telah menerbitkan berbagai instrumen pelaksanaan dari REDD+, yakni: Strategi Nasional, Forest Reference Emission Level (FREL)/Forest Reference Level (FRL), Measuring, Reporting, Verifying (MRV), National Forest Monitoring Systems (NFMS), Instrumen Pendanaan, Safeguards dan Sistem Informasi Safeguard REDD+, Sistem Registri Nasional (SRN).
REDD+ merupakan sistem yang baik untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan karena sistem ini merupakan win-win solution untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Namun, laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia tidak berubah sejak penerapan strategi nasional REDD+. Diperlukannya penguatan dari kebijakan untuk menyelaraskan dari REDD+ pada tingkatan nasional dan tingkatan sub nasional untuk menjamin keberhasilan dari implementasi skema REDD+ di Indonesia, serta diperlukanya transparansi dari skema yang telah dilaksanakan pada sub nasional, dikarenakan skema REDD+ telah menegaskan untuk pemberian manfaat pada masyarakat sekitar hutan yang dijadikan proyek REDD+.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Husin, Sukanda. Hukum Internasional dan Indonesia tentang Perubahan Iklim. Jakarta: Rajawali Pers. 2016.
Forest Watch Indonesia. 2018. Potret Deforestasi di Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Maluku Utara. Bogor: Forest Watch Indonesia. 2018.
Dewan Energi Nasional. 2020. Bauran Energi Nasional. Jakarta: Sekretariat Dewan Energi Nasional. 2020.
Panabulu Foundation. Kajian Mekanisme Benefot Sharing FCP Carbon Found untuk
Pendanaan Desa Hijau di Kalimantan Timur. Jakarta: WWF.
Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Dewan Daerah Perubahan Iklim Provinsi Kalimantan Timur. Indonesian FCPF Carbon Fund: Program Pengurangan Emisi Berbasis Lahan di Kalimantan Timur. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016.
Rahayu S, Khususiyah N, Galudra G, Sofiyuddin M. 2016. Pemantauan dan Evaluasi Pengelolaan Hutan Desa Berbasis Masyarakat. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF) - Southeast Asia Regional Program. 2016.
Artikel dan Jurnal
Mada Apriandi Zuhir. “Rethinking Legality of State Responsibility Clime on Climate Change in International Law Perspektive”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 17, No, 2, 2017.
Deden Djaenudin, Mega Lugina, Ramawati, dkk. “Perkembangan Implementasi Pasar Karbon Hutan Di Indonesia”, Jurnal Analisis Kebijakan, Vol. 13, No. 3, 2016.
Sukanda Husin. “Climate Change Mitigations on Forestry Base On REDD+ In International Law and Indonesia”. Jurnal Mimbar Hukum, Vol.13, No 3, 2014.
Media Massa
Konservasi Alam Nusantara, Yayasan Konservasi Alam Nusantara Mendukung Program FCPF-Carbon Fund di Kalimantan Timur, diakses pada 28 Februari 2023, https://www.ykan.or.id/id/publikasi/artikel/siaran-pers/ykan- mendukung-program-fcpf-carbon-fund-di-kalimantan-timur/
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Pusat dan Pemprov Kaltim Berkolaborasi Turunkan Emisi, diakses pada 28 Februari 2023, https://kaltimprov.go.id/berita/siaran-pers-pemerintah-pusat-pemprov- kaltim-berkolaborasi-turunkan-emisi
Portal Kalimantan Timur, diakses pada 28 Februari 2023, https://kaltimprov.go.id/ SEKPI-RePort, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan
Policy Brief, diakses pada 28 Februari 2023, http://simlit.puspijak.org/Newface/pbrief ,
Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan Republik Indonesia. “Indonesia Terima Pembayaran Pertama Untuk Pengurangan Emisi Dari Deforestasi Dan Degradasi Hutan Di Kalimantan Timur.” Diakses pada 5 Maret 2023, https://www.menlhk.go.id/site/single_post/5316/indonesia-terima- pembayaran-pertama-untuk-pengurangan-emisi-dari-deforestasi-dan- degradasi-hutan-di-kalimantan-timur
0 Komentar