REZIM GANDA PROSES PEMILIHAN DI INDONESIA
(Menyongsong Pesta Demokrasi Tahun 2024)
Afdhal Fadhila
Pengurus Kombad Justitia afdhalfdl@gmail.com
I. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang. Demokrasi merupakan konsep umum yang banyak diterapkan oleh negara modern dewasa ini, prinsip kedaulatan rakyat dan pemenuhan hak-hak politik warga negara menjadi prinsip fundamental dalam negara demokratis. Dalam konteks Indonesia pengejawantahan demokrasi ditandai dengan terselenggaranya pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai sarana legalitas dan legitimasi suksesi pemerintahan.
Baik pemilu maupun pilkada merupakan salah satu bentuk pendidikan politik bagi rakyat, yang bersifat langsung, terbuka, massal, dengan harapan bisa mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai demokrasi.
Kendati pemilu dan pilkada sama-sama bentuk perwujudan kedaulatan rakyat dalam kerangka negara demokrasi, namun secara normatif pemilu dan pilkada adalah dua hal yang berbeda. Landasan konstitusional pemilu adalah Pasal 22E UUD NRI 1945 yang kemudian lebih lanjut diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana yang telah diubah melalui Perpu No. 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sedangkan landasan konstitusional dari pilkada erat kaitannya dengan pengaturan tentang penyelenggaraan pemerintah daerah atau rezim pemerintahan daerah tepatnya pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang selanjutnya diatur melalui Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang terakhir telah diubah melalui Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Adanya perbedaan secara normatif antara pemilu dan pilkada, menegasikan terdapatnya dua rezim dalam proses pemilihan di Indonesia.
Tahun 2024 akan menjadi ujian bagi Indonesia dalam menghelat pesta demokrasi. Karena pada tahun itu akan diselenggarakan pemilu secara serentak guna memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun Presiden dan Wakil Presiden. Sekaligus juga akan dilaksanakan pilkada serentak untuk memilih pimpinan kepala daerah baik Gubernur sebagai pemimpin daerah tingkat I maupun pemilihan pemimpin daerah tingkat II yaitu Bupati/Wali Kota. Sebelumnya Pemerintah, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyepakati tanggal pemungutan suara pemilu serentak akan digelar pada 14 Februari 2024, sedangkan pilkada serentak akan dihelat pada 27 November 2024. Tahun 2024 akan menjadi tahun politik besar-besaran dalam sejarah demokrasi indonesia, lantaran untuk pertama kalinya perhelatan pemilu dan pilkada dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia pada tahun yang sama.
II. PEMBAHASAN
A. Hubungan Pemilu dan Pilkada
Dalam negara demokrasi, terdapat nilai-nilai partisipatif dan kedaulatan yang dijunjung tinggi dan mesti dijalankan oleh warga negara dan instrumen negara baik pada level legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Hubungan antara warga negara dengan negara meskipun masih berjarak namun dapat difasilitasi oleh pelbagai lembaga dan elemen masyarakat karena adanya kebebasan bagi semua pihak untuk ikut serta dan secara aktif dalam pembangunan nasional baik pada pembangunan di bidang politik maupun pada bidang-bidang lainnya. Rakyat diberikan ruang untuk berperan aktif dan menjadi bagian dari proses demokrasi. Kendati secara substansial, keikutsertaan mereka masih cenderung prosedural dan momentum semata.
Pemilu maupun pilkada pada dasarnya sama-sama sebagai sarana pengejawantahan kedaulatan rakyat dalam bingkai negara demokrasi. Akan tetapi, norma yang mengatur akan hal tersebut membedakannya. UU Pemilu mendefinisikan pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, anggota, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih angota DPRD, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Sedangkan pada UU Pilkada sejatinya tidak terdapat definisi yang jelas akan frasa pilkada itu sendiri. Istilah pilkada muncul dengan merujuk ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Pilkada yang berkenaan dengan pemilihan kepala daerah baik daerah tingkat satu maupun tingkat dua. Selengkapnya pasal a quo menyebutkan bahwa Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.
Berangkat dari definisi pemilu dan pilkada berdasarkan undang-undang yang mengaturnya dapat tergambar perbedaan dimensi antara keduanya. Pada pemilu yang menjadi fokus adalah pemilihan anggota legislatif di samping pemilihan presiden dan wakil presiden, sementara pada pilkada berfokus pada pemilihan pimpinan daerah. Perbedaan yang cukup kentara antara UU Pemilu dengan UU Pilkada misalnya berkaitan dengan penyelenggara pemilu dan pilkada itu sendiri. UU Pemilu mengatur secara rinci penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hal tersebut sebagaimana diatur dalam rumusan Pasal 6-166. Sedangkan dalam UU Pilkada pengaturan mengenai penyelenggaraan pemilihan hanya yang berkaitan erat dengan Provinsi dan Kabupaten/Kota, seperti yang tertuang dalam Pasal 8-36. Akan tetapi terdapat beberapa pengaturan yang sifatnya sama dan/atau hampir sama antara satu dengan yang lain, misalnya seperti yang terdapat dalam tabel di bawah ini:
UU Pemilu |
Pasal 2 Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas Langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil. |
Pasal 167 ayat (1) dan ayat (3) (1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun
sekali (3) Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang
diliburkan secara nasional |
Pasal 488 Setiap orang yang dengan sengaja |
memberikan keterangan yang tidak |
benar mengenai diri sendiri
atau
diri |
orang lain tentang suatu hal yang |
diperlukan untuk pengisian daftar |
Pemilih sebagaimana dimaksud dalam |
Pasal 203, dipidana dengan pidana |
kurungan
paling lama
1
tahun
dan |
denda paling banyak Rp 2.000.000,00 |
(dua belas juta rupiah). |
UU Pilkada |
Pasal 2 Pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil. |
Pasal 3 Pemilihan dilaksanakan setiap 5
tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah
negara kesatuan republik indonesia |
Pasal 177 Setiap orang yang dengan sengaja |
memberikan keterangan yang tidak |
benar mengenai diri sendiri
atau
diri |
orang lain tentang suatu hal yang |
diperlukan untuk pengisian daftar |
pemilih, dipidana dengan pidana |
penjara paling singkat 3
bulan
dan |
paling lama 12
(dua belas) bulan dan |
denda paling sedikit Rp3.000.000,00 |
(tiga juta rupiah) dan paling
banyak |
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). |
Sumber: Analisis Penulis
Dari ikhtisar di atas dapat disimpulkan meskipun norma yang mengatur antara pemilu dan pilkada berbeda, akan tetapi antara keduanya saling memiliki keterikatan satu sama lain.
B. Dasar Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak Nasional Tahun 2024
Sebelum adanya pembaharuan sistem Pemilu, Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan terlebih dahulu sebelum Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Namun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XVI/2013 dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, MK menegaskan bahwa perhelatan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara serentak. Pada salah satu pertimbangannya Mahkamah menyatakan bahwa penyelenggaraan pilpres dan pemilu anggota legislatif secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga dari segi pembiayaan penyelenggaraan akan lebih menghemat uang negara. Dalam amar putusan MK tersebut, menetapkan penyelenggaraan pemilu serentak berlaku pada tahun 2019 dan pemilu seterusnya. Amanah Putusan MK a quo terakomodir dalam UU Pemilu Tahun 2017, yang mencabut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sedangkan dalam konteks perhelatan pilkada serentak secara langsung dan nasional kian mengemuka sejalan juga dengan Putusan MK di atas. Putusan MK ini mendorong DPR dan Presiden dengan kewenangan legislasi yang dimilikinya supaya bersama-sama mendesain ulang pemilu secara komprehensif-integral, termasuk menata ulang pilkada secara serentak.6 Hal tersebut juga termaktub melalui UU Pilkada tepatnya pada Pasal 3 ayat (1) yang menegaskan pemilihan dilaksanakan setiap 5 tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah terjadinya perubahan berkenaan dengan pelaksanaan pilkada serentak, beserta akhir masa jabatan dari kepala daerah terpilih pada setiap periodesasi pergelaran pilkada. Akhirnya berdasarkan perubahan kedua UU Pilkada Tahun 2016 tepatnya pada Pasal 201 ayat (8) mengamanatkan bahwa pilkada serentak akan dihelat secara nasional pada bulan November 2024.
C. Tantangan Pesta Demokrasi Tahun 2024
Pesta demokrasi tahun 2024 akan terasa spesial dan penuh tantangan bagi bangsa Indonesia. Di samping pelaksanaan pemilu dan pilkada secara serempak nasional untuk pertama kalinya dalam sejarah, juga diproyeksikan jumlah pemilih muda akan mendominasi sekitar 107 juta orang atau sekitar 53-55% dari total jumlah pemilih. Kesiapan semua unsur dalam perhelatan tersebut adalah suatu keniscayaan demi terwujudnya pemilu dan pilkada yang berintegritas, sehingga segala bentuk pelanggaran dapat diantisipasi.
Setidaknya terdapat 3 jenis pelanggaran pemilu maupun pilkada yang jamak terjadi dan diatur dalam undang-undang terkait. (1) Pelanggaran administratif, adalah pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu atau pilkada dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu atau pilkada. Pelanggaran administrasi diperiksa, dikaji dan diputuskan oleh Bawaslu. (2) Pelanggaran kode etik, merupakan pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu atau pilkada yang berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu atau pilkada. Penanganan atas pelanggaran kode etik dilakukan oleh DKPP. (3) Tindak pidana pemilu atau pilkada, adalah segala bentuk tindak pidana yang terdapat baik dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada. Penegakan hukum tindak pidana pemilu menggunakan instrumen Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali ditentukan lain dari UU terkait.
III. KESIMPULAN
Pemilu dan pilkada meskipun sama-sama bentuk perwujudan kedaulatan rakyat dalam bingkai negara demokrasi, namun secara normatif menjadi dua hal yang berbeda. Hadirnya UU Pemilu dan UU Pilkada menegasikan terdapat dua rezim dalam proses pemilahan di Indonesia. Meskipun memang terdapat beberapa karakteristik yang membedakannya, namun antara keduanya memiliki hubungan yang erat satu sama lainnya. Pasca terbitnya Putusan MK Nomor 14/PUU-XVI/2013 berimplikasi perubahan pada UU Pemilu maupun UU Pilkada. Karena putusan a quo mengamanatkan agar pergelaran pemilu haruslah dilaksanakan secara serempak nasional, begitu juga pada pegelaran pilkada. Sehingga berdasarkan alurnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang terkait, pada tahun 2024 akan diselenggarakan pemilu dan pilkada secara serempak nasional. Kesiapan semua unsur (stakeholders) dalam perhelatan pesta demokrasi besar-besaran tahun 2024 adalah keniscayaan, demi terselenggaranya pemilihan yang berintegritas di republik ini.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Antari, Putu Eva Ditayani, “Interpretasi Demokrasi Dalam Sistem Mekanis Terbuka Pemilihan Umum Di Indonesia”, Jurnal Panorama Hukum, Vol. 3, No. 1, (2018): 87-104, https://doi.org/10.21067/jph.v3i1.2359.
Bachtiar, Farahdiba Rahma, “Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi Dari Berbagai Referensi”, Jurnal Politik Profetik, Vol. 3, No. 1, (2014): 45-61, https://doi.org/10.24252/profetik.v2i1a3.
Subiyanto, Achmad Edi, “Pemilihan Umum Serentak yang Berintegritas sebagai Pembaharuan Demokrasi Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 17, No. 2, (2020): h. 355-371, https://doi.org/10.31078/jk1726.
Buku
Haris, Syamsudin, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.
Isra, Saldi, Pemilu dan Pemulihan Daulat Rakyat, Jakarta: Themis Publishing, 2017.
Internet
CNN Indonesia, Pemilu 2024 Digelar 14 Februari, Pilkada 27 November, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220125063357-32 750710/pemilu-2024-digelar-14-februari-pilkada-27-november, diakses pada 14 Februari 2023.
Hukumonline, Bawaslu RI Beberkan 4 Jenis Pelanggaran Pemilu, https://www.hukumonline.com/berita/a/jenis-pelanggaran-pemilu- lt620b23e1e29db?page=2, diakses pada 16 Februari 2023.
Republika, KPU: Pemilu 2024 Didominasi Pemilih Muda Berusia 17-40 Tahun, https://news.republika.co.id/berita//rpvb7k409/kpu-pemilu-2024- didominasi-pemilih-muda-berusia-17-40-tahun, diakses pada 16 Februari 2023.
0 Komentar