Diki Wahyudi
Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, tidak seorangpun dapat dipidana
apabila tidak diatur oleh aturan pidana dalam
undang undang yang sudah ada dan berlaku sebelum perbuatan
tersebut dilakukan, begitulah apa yang disebut
dengan asas legalitas dalam hukum pidana. Pada 12 April 2023 di Kambang, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir
selatan, Sumatera Barat, terjadi peristiwa
tidak bermoral yang dilakukan oleh oknum masyarakat, yang mana
telah diarak dua orang perempuan pemandu karaoke ke
laut dan di telanjangi. Dikatakan belum dapat diketahui
penyebab kedua perempuan
pemandu karaoke tersebut
di arak oleh oknum masyarakat pesisir selatan.
Peristiwa tersebut
sangatlah tidak mencerminkan perilaku yang sesuai dengan norma masyarakat Indonesia, dimana pada kejadian
tersebut oknum masyarakat Pesisir Selatan telah melakukan tindakan
pidana pelecehan seksual
terhadap kedua perempuan pemandu karaoke tersebut, sebagaimana diatur
dalam KUHP lama yang masih
berlaku pada saat tulisan ini ditulis dan Undang Undang
No. 1 Tahun 2023 yang mulai berlaku tiga tahun lagi sejak tanggal
diundangkan, yakni berlaku pada tahun
2026 mendatang. Pasal 281 KUHP berbunyi “Diancam dengan pidana penjara
paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta”
1. Barang siapa dengan sengaja
dan terbuka melanggar kesusilaan
2.
Barang siapa dengan sengaja
dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar
kesusilaan.”
Selanjutnya
pada Undang Undang No.1 Tahun 2023 yang mana tidak dikenal istilah
pelecehan seksual namun istilah yang digunakan adalah perbuatan cabul yang
diatur pada pasal 406 “dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, setiap orang yang:
a. melanggar kesusilaan
di muka umum; atau
b.
melanggar
kesusilaan di muka orang lain yang hadir tanpa kemauan orang yang hadir tersebut
Aksi tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana asusila dan pelecehan seksual terhadap kedua perempuan pemandu karaoke tersebut karena, korban ditelanjangi secara paksa, dan diarak oleh oknum masyarakat ke laut tanpa sebab yang jelas.
Vigilantisme yaitu tindakan individu atau kelompok untuk menegakkan hukum secara mandiri tanpa melalui proses peradilan, sering kali digambarkan dalam fiksi sebagai sebuah tindakan pemberantasan kejahatan yang heroik. Namun, dalam kenyataannya, vigilantisme dapat melibatkan pelanggaran hak asasi manusia dan berdampak negatif pada sistem peradilan yang adil. Salah satu kesalahan utama dalam vigilantisme adalah melakukan tindakan di luar batas hukum yang berlaku. Dalam sistem peradilan yang adil, setiap individu dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya melalui proses peradilan yang objektif. Vigilantisme melanggar prinsip ini dengan mengambil tindakan hukuman sendiri tanpa melalui proses peradilan yang adil. Hal ini berarti bahwa pelaku yang diduga bersalah tidak diberikan kesempatan untuk membela diri dan menunjukkan ketidakbersalahan mereka secara sah.
Vigilantisme juga dapat melibatkan pelanggaran hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap individu, termasuk hak untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara sewenang-wenang, serta hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil dan terbuka. Dalam konteks vigilantisme, tindakan represif dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok vigilante dapat melanggar hak-hak ini, menyebabkan penderitaan dan trauma pada individu yang dituduh. Kemudian, salah satu implikasi dari vigilantisme adalah ketidakpastian hukum yang dapat terjadi. Ketika individu atau kelompok mengambil alih penegakan hukum, mereka mungkin tidak memiliki pengetahuan atau pemahaman yang memadai tentang hukum yang berlaku. Hal ini dapat mengarah pada tindakan yang tidak proporsional atau salah sasaran, menyebabkan ketidakadilan dan ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan yang seharusnya melindungi hak-hak individu.
Vigilantisme juga dapat menciptakan lingkungan di mana tindakan balas dendam menjadi norma. Ketika individu atau kelompok merasa bahwa sistem peradilan gagal melindungi mereka, mereka mungkin merasa terdorong untuk mengambil tindakan sendiri. Ini dapat menciptakan siklus kekerasan yang tidak berkesudahan, dengan kelompok-kelompok yang saling membalas dendam tanpa batas. Hal ini tidak hanya berdampak pada individu yang terlibat, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan dengan menciptakan ketegangan sosial yang tinggi.
Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa penegakan hukum yang adil dan sistem peradilan yang berfungsi dengan baik adalah kunci untuk menjaga perdamaian dan keadilan dalam masyarakat. Vigilantisme bukanlah solusi yang tepat, dan upaya harus dilakukan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menghormati prinsip hukum dan hak asasi manusia serta memperkuat sistem peradilan yang adil.
0 Komentar