UU ITE: PENGUNCI KRITIKAN RAKYAT



Suci Rizka Fadhilla


Kader Kombad Justitia 

 

Kebebasan berpendapat selalu menjadi pembahasan yang menarik untuk disimak dan dibahas, terlebih semakin banyaknya permasalahan terhadap kritikan kinerja para penguasa yang sewenang-wenang atas kekuasaannya. Baru-baru ini, seorang pemuda asal Lampung menjadi sorotan publik setelah mencoba mengungkapkan pendapatnya di akun tiktok pribadi miliknya terhadap  jalanan yang rusak parah di daerah Lampung. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa pembangunan Kota Baru sebagai pusat pemerintahan provinsi Lampung  yang sudah bertahun tahun mangkrak. Padahal, pemerintah sudah menggelontorkan uang miliaran rupiah untuk membangun Kota Baru tersebut.

Tak hanya itu, kritik lain pun ia lontarkan perihal soal tata kelola pemerintahan yang lemah, korupsi dimana-mana, birokrasi yang tidak efisien dan hukum yang tidak ditegakkan serta budaya suap. Namun, video tersebut menuai pro dan kontra oleh berbagai kalangan sebab disebut menyinggung anggaran yang lenyap begitu saja dan tugas pemerintah yang tidak sesuai. Atas aksi kritikan di media sosial tersebut, Bima (pemilik akun tiktok) dilaporkan oleh salah satu advokat asal Lampung, Ghinda Ansori Wayka yang menuding di dalam video tersebut terdapat penghinaan perihal diksi atau pilihan kata yang tidak tepat yang digunakan Bima dalam videonya.

Jika dilihat secara spesifik, memang terdapat diksi ‘dajjal’ yang dipakai Bima dalam mengkritik pemerintah. Namun, banyak warganet dan masyarakat yang berpendapat hal yang dipermasalahkan di sini persoalan sepelenya justru poin pentingnya adalah kritikan terhadap pemerintah Lampung yang belum bisa menjalankan tugas dan perannya dengan baik. Jika itu yang  dipermasalahkan, lantas bagaimana lagi anak muda bangsa akan mengkritik pemerintah di media sosial, setelah sebelumnya harus menggunakan bahasa yang baku kemudian sekarang diksi yang sesuai. Pelaporan atas kasus ini sangatlah tidak memiliki dalil yang cukup jelas. Mengingat diksi atau pilihan kata adalah sesuai selera si pemakai. Maka dari itu, ada baiknya diperjelas kembali cara bagaimana masyarakat dapat mengkritik pemerintah sesuai aturan yang berlaku tanpa harus dilaporkan.

Hal ini terus menjadi bahan kebingungan di tengah masyarakat yang menjadi tak berkutip dan susah bergerak untuk bersuara, terlebih di sosial media yang diancam-ancamkan dengan dikenakan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Padahal harusnya negara demokrasi lebih menjunjung tinggi pendapat dan menampung aspirasi masyarakat luas. Jika tak


ingin dilaporkan ke pihak berwajib, masyarakat haruslah menaati aturan untuk berkritik sebagaimana yang telah diatur di dalam UU ITE. Sejalan dengan hal ini, dilansir dari CNN Indonesia, menurut Jubir Presiden, Fadjroel  Rachman mengatakan bahwa adapun cara agar tidak dipolisikan saat ingin mengkritik pemerintah, yaitu masyarakat harus perlu melihat dan mempelajari UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 yang pada intinya berbunyi setiap orang itu berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Akan tetapi hal ini tetaplah menjadi sebuah hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut oleh pemerintah.

Jika ditinjau kembali, persoalan kritikan untuk pemerintah ini tidak sekali dua kali dilaporkan ke polisi. Hal ini tidak sesuai dengan permintaan Presiden Joko Widodo agar masyarakat lebih aktif lagi untuk mengkritik pemerintahannya karena nantinya pengkritik terancam berujung pada kasus hukum dengan dalih melanggar UU No. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut Pemelitik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Rivanlee mengatakan bahwa jika presiden benar menginginkan kritik, beri dan jamin ruangannya dari pasal karet yang ada selama ini. Hal ini bisa dimulai dengan bertanggung jawab kepada orang-orang yang menjadi korban pembatasan kebebasan sipil, baik karena surat telegram Kapolri maupun UU ITE.

Tak hanya yang terjadi pada Bima, kasus yang menjurus pada pengkritikan terhadap pemerintah banyak terjadi sebelumnya, seperti pada 2019 silam yang mana polisi menangkap aktivis dan jurnalis Dandhy Dwi Laksono akibat cuitan Dandhy mengenai kondisi di Papua. Pada masa itu, Dandhy diketahui banyak  membuat tweet mengenai kerusuhan di papua yang disebabkan oleh tindakan rasialisme. Selanjutnya, Dhandy ditetapkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian. Atas banyaknya kasus pelaporan dan penangkapan terhadap pengkritik di Indonesia diharapkan pemerintah harusnya lebih sadar dan peka terhadap kinerjanya agar tak semakin banyak masyarakat yang geram dan tidak puas yang mana  berakhir dengan kritikan tajam melalui media sosial. Adapun kebebasan berpendapat harus selalu digaungkan dengan mengikuti aturan hukum yang sepatutnya bukan pasal karet yang tidak jelas tolak ukurnya.

Posting Komentar

0 Komentar