REFORMASI PERADILAN: PENINGKATAN INTEGRITAS HAKIM UNTUK KEADILAN YANG BERKELANJUTAN DI INDONESIA

 

REFORMASI PERADILAN: PENINGKATAN INTEGRITAS HAKIM UNTUK KEADILAN YANG BERKELANJUTAN DI INDONESIA




  1. Latar Belakang

Integritas hakim dalam sistem peradilan adalah dasar yang menentukan kualitas dan kepercayaan publik terhadap keadilan. Integritas didefinisikan sebagai sifat moral yang harus dimiliki hakim untuk memastikan bahwa proses pengadilan bebas dari bias dan korupsi dan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, menurut The Bangalore Principles of Judicial Conduct. Jika tidak ada integritas, keputusan hakim mudah dipengaruhi oleh kepentingan luar, yang dapat merusak prinsip netralitas hukum dan menyebabkan ketidakadilan.

Integritas peradilan di Indonesia saat ini masih menjadi sorotan, terkhusus integritas hakim yang selalu dipertanyakan. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum terus menurun sejalan dengan menurunnya keintegritasan para penegak hukum di Indonesia, seperti banyak beredar kabar terkait kasus dugaan suap/main perkara serta penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan pejabat peradilan termasuk hakim. Peristiwa tersebut terjadi tidak lain karena pengawasan yang kurang maksimal serta kesejahteraan dan perlindungan yang kurang memadai bagi para hakim. Berbagai hal tersebut disinyalir dapat menjadikan para penegak hukum “rentan” terhadap tekanan dan intervensi politik.

Jika para penegak hukum yang kebijakannya dapat diintervensi, bagaimana dengan nasib masyarakat awam di luar sana yang haus akan kesetaraan, kesamaan, dan keadilan? Sebab keadilan harus terus ditegakkan sejalan dengan amanat konstitusi, yakni UUD NRI 1945 yang pada intinya mengungapkan bahwa setiap warga negara berhak atas keadilan tanpa pengecualian. Namun, tujuan ini sulit dicapai tanpa integritas yang tinggi. Tidak hanya penting untuk menjamin keadilan prosedural, integritas hakim juga penting untuk menjamin keadilan substantif yang sesuai dengan prinsip konstitusi Indonesia. Oleh karena itu, untuk memperkuat sistem peradilan yang adil, peningkatan integritas dan kesejahteraan hakim harus menjadi prioritas utama.

  1. Pembahasan

Melihat berbagai kasus pelanggaran kode etik yang menunjukkan pengawasan yang lemah dan kecenderungan korupsi yang tinggi dalam sistem peradilan, integritas hakim di Indonesia tengah dipertanyakan. Kasus suap yang melibatkan hakim di tingkat Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan bahwa pelanggaran integritas terjadi tidak hanya di pengadilan kecil tetapi juga di lembaga hukum tertinggi negara. Salah satu kasus yang menonjol, yaitu penangkapan seorang hakim konstitusi, Patrialis Akbar, yang didakwa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diduga menerima suap demi mempengaruhi keputusan uji materi undang-undang. Kasus ini menunjukkan bagaimana korupsi dapat memporak-porandakan lembaga yang harus tetap independen di Indonesia ini.

Menurut data yang dilansir oleh Komisi Yudisial (KY), pada tahun 2016 saja terdapat 1.682 laporan pelanggaran kode etik yang melibatkan hakim, yang mencakup berbagai jenis pelanggaran, seperti korupsi, konflik kepentingan, dan tindakan yang merendahkan martabat profesi hakim. Jumlah laporan yang signifikan ini menunjukkan ketidakpuasan publik terhadap perilaku hakim serta tingkat insiden pelanggaran integritas yang tinggi. Selain itu, data tahunan KY yang konsisten menunjukkan tren pelanggaran yang melibatkan hakim belum menunjukkan perbaikan yang signifikan meskipun berbagai upaya perbaikan telah dilakukan.

Kasus terkait penegak hukum terus merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan Indonesia. Masyarakat akan selalu meragukan kapasitas pengadilan untuk menjalankan penegakan hukum yang adil dan merata. Sebab, pelanggaran kode etik yang melibatkan hakim di berbagai tingkat peradilan ini menunjukkan bahwa reformasi kelembagaan yang signifikan masih sangat diperlukan. Pengawasan yang lebih ketat, transparansi yang lebih besar, dan peningkatan kesejahteraan dan keamanan bagi hakim adalah semua contoh dari reformasi yang diperlukan.

Tak hanya itu, perlu peningkatan integritas dalam sistem peradilan di Indonesia, terkhusus oleh hakim dengan berbagai cara, dapat dimulai dengan proses perekrutan yang ketat dan adil bagi siapapun yang pantas. Proses seleksi hakim seharusnya mampu memastikan hanya individu yang berkualitas dan berkomitmen terhadap nilai etika yang menjadi bagian dari sistem peradilan, namun faktanya banyak hakim yang diangkat tanpa seleksi atau pengawasan pasca-rekrutmen yang berkelanjutan. Seleksi yang melibatkan asesmen etika serta psikologis, wawancara mendalam, dan uji rekam jejak dapat mencapai tahap ini. Integritas para hakim akan diperkuat melalui pelatihan berkelanjutan yang berfokus pada etika dan profesionalisme. Ini akan memungkinkan mereka untuk menjalankan tugas mereka secara jujur dan adil.

Selain proses perekrutan calon hakim yang kurang bijak, pembinaan dan pengawasan yang lemah terhadap kinerja hakim pun memungkinkan munculnya berbagai pelanggaran, termasuk penyalahgunaan wewenang dan tindakan koruptif yang merajalela. Laporan KY pun menunjukkan bahwa banyak laporan pelanggaran kode etik oleh hakim yang diabaikan atau ditindaklanjuti dengan sanksi minimal, sehingga memberikan ruang bagi pelanggaran serupa untuk berulang. Selain itu, praktik korupsi dan pungutan liar dalam administrasi peradilan memperburuk situasi ini, memicu persepsi publik bahwa sistem peradilan lebih berpihak pada mereka yang memiliki akses dan dana untuk "membeli" Keputusan.

Dari banyaknya kasus dugaan korupsi atau main perkara dalam proses peradilan dapat dimaksimalkan upaya peningkatan mutu pelayanan peradilan dengan menggunakan sarana digitalisasi seperti e-court dan blockchain. Teknik digitalisasi ini penting untuk memastikan transparansi dan mencegah manipulasi dalam proses pengambilan keputusan pengadilan. Sistem digital ini memberi orang lebih banyak kesempatan untuk melihat jalannya persidangan dan memastikan bahwa semua keputusan tercatat dengan akurat dan dapat diakses. Selain itu, masyarakat umum memiliki kemampuan yang mudah untuk menilai setiap keputusan dan melaporkan jika terdapat indikasi pelanggaran kode etik. Langkah ini meningkatkan pengawasan sebab masyarakat dapat transparan menilai kinerja para hakim secara langsung.

Tidak hanya transparansi kinerja saja, peran KY dan KPK juga harus diperkuat sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam mengawasi kinerja para hakim. KY dapat diberi wewenang lebih besar untuk memeriksa dan menindaklanjuti pelanggaran etik serta dapat bekerja sama dengan KPK dalam menangani dugaan korupsi di lingkungan peradilan. Salah satu caranya, KY harus melakukan audit rutin terhada para hakim dan semua tokoh pengadilan untuk menemukan kemungkinan penyimpangan sejak dini untuk mencegah masalah integritas. Dengan dimaksimalkan serangkaian upaya yang telah dipaparkan, dimulai dari proses seleksi hakim yang diperketat yang menjamin tidak ada lagi proses kosong yang memungkinkan terpilihnya hakim yang tidak berintegritas nantinya yang akan goyah dengan intervensi luar serta pemaksimalan digitalisasi yang memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam proses peradilan yang transparan, dan terakhir yang terpenting pengoptimalan kelembagaan yang berwenang dalam proses pengawasan para hakim dalam melaksanakan tugasnya sebagai penentu keadilan yang berkelanjutan di Indonesia.

  1. Kesimpulan

Kualitas sistem peradilan dan kepercayaan publik terhadap keadilan salah satunya dipengaruhi oleh integritas hakim. Integritas ini mencakup kemandirian hakim dari segala bentuk bias dan korupsi. Hal ini sejalan dengan “Prinsip Perilaku Hakim Bangalore”. Sayangnya, integritas peradilan Indonesia masih menghadapi banyak masalah, seperti kasus suap/main perkara serta penyalahgunaan kekuasaan di berbagai tingkatan, tanpa terkecuali setingkat Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Profesi hakim tentunya rentan terhadap tekanan dari luar yang kapan saja dapat mengancam netralitas hukum dan akses keadilan. Ini terjadi karena kurangnya keadilan dalam proses perekrutan hakim, pengawasan yang efektif terhadap kinerja hakim, dan tingkat kesejahteraan hakim yang masih rendah. Jumlah tinggi ketidakpuasan publik dan pelanggaran etik telah menunjukkan betapa pentingnya reformasi terhadap peradilan di Indonesia. Pekerjaan berbasis meritokrasi, prosedur seleksi yang ketat, pelatihan berkelanjutan, dan penerapan transparansi melalui e-court dan blockchain, serta penguatan kelembagaan dalam pengawasan kinerja hakim, sangat diperlukan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Laporan Resmi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2024). Laporan Tahunan KPK: Kasus Korupsi di Lembaga Peradilan. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.

Komisi Yudisial (KY). (2016). Laporan Pengawasan Etika Hakim di Indonesia Tahun 2016. Jakarta: Komisi Yudisial.

Undang-Undang dan Peraturan

Peraturan Komisi Yudisial. (2009). Peraturan Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Jakarta: Komisi Yudisial.

UUD 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jurnal dan Sumber Online

Bangalore Principles of Judicial Conduct. (2002). United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Diakses dari https://www.unodc.org.

Posting Komentar

0 Komentar