Polri sudah acap kali terjerat berbagai jenis berbagai skandal mulai dari pemalakan, hingga pembunuhan rakyat yang tidak bersalah. AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja ditangkap pada Kamis (20/2) oleh Pengamanan Internal (Paminal) Polda NTT mendampingi Divisi Propam Mabes Polri dan masih ditahan di Mabes Polri untuk diperiksa hingga kini. Fajar diduga melakukan tindak seksual terhadap anak di bawah umur dan melakukan persetubuhan tanpa ikatan pernikahan yang sah, diperberat dengan konsumsi narkoba, dan merekam, menyimpan, serta menyebarluaskan rekaman perbuatan jahat tersebut.
AKBB Fajar sudah dicopot dari jabatan Kapolres Ngada setelah terjerat kasus narkoba dan asusila berat tersebut. Melalui Surat Telegram Kapolri Nomor ST/489/III/KEP/2025, pada 12 Maret 2025, AKBP Fajar sudah dimutasi sebagai Perwira Menengah Pelayanan Markas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pamen Yanma Polri). Kekosongan jabatan Kapolres Ngada sudah diisi oleh AKBP Andrey Valentino yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolres Nagakeo.
Fajar melanggar berbagai pasal kode etik berat dan terancam disanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PDTH) atas dasar pelanggaran sumpah anggota Polri. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Trudoyono menyampaikan “Pasal yang dilanggar adalah pasal 13 ayat 1 peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 1 tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Polri, Pasal 8 huruf c angka 1, Pasal 8 huruf c angka 3, Pasal 13 huruf d, Pasal 13 huruf e, Pasal 13 huruf f, dan Pasal 13 huruf g angka 5 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri,” dengan Divpropam Polri yang akan menggelar sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terhadap Fajar pada Senin, 17 Maret 2025.
Pelanggaran pidana Fajar meliputi Pasal yang dilanggar adalah Pasal 6 huruf c, Pasal 12, dan Pasal 14 ayat (1) huruf a dan huruf b, serta Pasal 15 ayat (1) huruf c, huruf e, huruf g, dan huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Pasal 25 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; serta Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pelanggaran tersebut atas dasar fakta bahwa Fajar telah melakukan pelecehan seksual dengan tiga anak di bawah umur dan satu orang dewasa. Korban di bawah umur berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun, sedangkan korban dewasa berusia 20 tahun. Terlepas dari hukum materil, tindakan keji tersebut menimbulkan pertanyaan sehancur apa kemanusiaan yang ada di dalam instansi kepolisian. Dengan besarnya perhatian publik kepada kasus ini, semakin besar pula pertanyaan masyarakat tentang kepada siapa mereka bisa berlindung jika para pelindung lah yang menghancurkan keselamatan dan keamanan yang seharusnya mereka lindungi.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak untuk penjatuhan sanksi etika dan pidana bagi Fajar. Koordinator Subkomisi Penegakan Ham Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing menyampaikan “Mendesak penegakan hukum yang adil dan transparan dengan perlunya sanksi etika dan pidana atas pelecehan seksual dan/atau tindakan pencabulan yang diduga dilakukan oleh Kapolres non-aktif Ngada.” Terlebih lagi, dalam keterangan tertulis Komnas HAM, dinyatakan permintaan untuk mengadakan perlindungan saksi dan korban, beserta pemulihan untuk para korban kekerasan seksual dengan menyediakan layanan psikologis, restitusi, maupun kompensasi dalam proses penegakan hukum.
Dalam konferensi pers divisi Humas Polri pada 13 Maret 2025, Ketua Harian Kompolnas Irjen (Purn) Arief Wicaksono Sudiutomo menyampaikan “Jabatan Kapolres itu adalah jabatan idaman, jabatan impian semua alumni Akpol”, “Dengan persaingan yang begitu berat untuk mencapai posisi Kapolres, kok begitu gampangnya yang bersangkutan bisa melakukan kegiatan yang kayak begitu?” Pernyataan tersebut memberikan kesan seakan Polri hanya peduli akan jabatan saja, bukannya penegakan etika yang seharusnya berdasarkan moral individu. Dapat dipertanyakan apakah instansi Polri hanya melakukan tindakan yang baik jika diberikan jabatan yang prestisius, bukannya pendirian yang kokoh sebagai pengayom masyarakat.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Munafrizal Manan, mengecam keras kasus pencabuan anak yang dilakukan eks Kapolres Ngada tersebut. Ia juga menyebut bagaimana tindakan tersebut adalah kejahatan keji yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan merusak kepercayan publik terhadap komitmen pemerintah dalam melindungi hak-hak anak. Namun tentunya, kepercayaan publik terhadap institusi Polri sudah lama jatuh sebelum adanya kasus oleh Fajar dan Polri memiliki tanggung jawab besar dan panjang untuk memperbaiki kembali kepercayaan masyarakat yang sudah rusak tersebut.
0 Komentar