Oleh: Alya Fortuna Rismen
Pemerintah memberikan pengecualian bagi Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dari aturan larangan monopoli dalam Pasal 50
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tujuannya agar layanan publik bisa berjalan
lancar dan pembangunan ekonomi tetap kuat. Namun, saat ini belum ada lembaga
khusus untuk mengawasi BUMN, sehingga tanpa pengawasan yang ketat, monopoli ini
justru menjadi lahan subur bagi korupsi. Monopoli tanpa pengawasan yang jelas
membuka peluang bagi pejabat untuk menyalahgunakan kekuasaan, menaikkan
anggaran secara tidak wajar dan akhirnya merugikan keuangan negara.
Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dirilis pada 21 Maret 2022, sektor BUMN
memang sangat rentan terhadap korupsi. ICW mencatat bahwa sepanjang periode
2016–2021, terdapat 119 kasus korupsi di lingkungan BUMN dengan total 340
tersangka. Data ini menunjukkan bahwa monopoli tanpa pengawasan yang ketat
menciptakan lingkungan yang rawan penyalahgunaan kekuasaan, di mana pejabat
BUMN dapat dengan mudah menyalahgunakan wewenangnya untuk keuntungan pribadi. Praktik korupsi pun dapat terjadi secara berulang karena
tidak ada mekanisme yang mampu mencegah atau mendeteksi penyimpangan sejak
dini. Selain itu, lemahnya transparansi dalam pengelolaan keuangan BUMN membuat
praktik korupsi semakin sulit diungkap.
Pasal 50 huruf a UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan
bahwa BUMN boleh melakukan monopoli selama berkaitan dengan kepentingan umum
dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun, aturan ini sering
disalahgunakan karena lemahnya pengawasan dan minimnya transparansi. Salah satu
kasus terbaru adalah kasus korupsi di PT Pertamina. Pada Februari 2025,
Kejaksaan Agung mengungkapkan kasus korupsi di PT Pertamina yang menyebabkan
kerugian negara dalam jumlah fantastis, Rp193,7 triliun. Modus yang digunakan
adalah dengan mengoplos bensin bersubsidi RON 90 (Pertalite) dengan bensin
berkualitas lebih tinggi RON 92 (Pertamax), lalu dijual dengan harga yang lebih
mahal. Selain itu, ditemukan bahwa pejabat Pertamina mengabaikan regulasi yang
mewajibkan prioritas pembelian minyak mentah domestik dan malah memilih
mengimpor minyak dengan harga tinggi. Regulasi tersebut diatur dalam Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 18 Tahun 2021 tentang
Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.
Minimnya transparansi dalam pengelolaan BUMN membuat kasus seperti ini sulit
terdeteksi sejak awal.
Apabila monopoli terus diberikan kepada BUMN
tanpa pengawasan yang ketat maka akan memperbesar risiko praktik korupsi.
Pejabat BUMN bisa menyalahgunakan jabatan mereka untuk menguntungkan diri
sendiri atau kelompok tertentu, termasuk dengan cara suap dan kolusi dalam
proyek-proyek negara. Dampak korupsi ini sangat besar, bukan hanya menguras
keuangan negara tetapi juga merugikan masyarakat. Selain itu, korupsi di BUMN
juga bisa membuat proyek-proyek infrastruktur menjadi berantakan. Contoh nyata
adalah kasus korupsi di PT PLN pada tahun 2017, di mana anggaran untuk
membangun gardu induk dan jaringan listrik di Sumatera dan Kalimantan
diselewengkan. Akibatnya, tidak hanya proyek jadi tertunda dan negara mengalami
kerugian besar, tetapi banyak daerah di Sumatera dan Kalimantan yang mengalami
pemadaman listrik berkepanjangan, sehingga warga yang seharusnya bisa menikmati
listrik 24 jam malah harus bergelap-gelapan karena dana proyek yang dikorupsi.
Kasus ini menunjukkan betapa rentannya proyek-proyek besar terhadap manipulasi
dan penyalahgunaan wewenang.
Dampak dari praktik korupsi ini juga membuat
masyarakat kehilangan kepercayaan. Orang-orang jadi ragu apakah BUMN
benar-benar dikelola dengan jujur dan bertanggung jawab. Padahal, seharusnya
BUMN berperan penting dalam membangun negara dan memberikan layanan terbaik
untuk masyarakat. Maka, agar
masalah ini bisa diatasi, pengawasan terhadap BUMN harus diperketat. Salah satu
solusi yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk lembaga khusus untuk
mengawasi BUMN melalui regulasi lanjutan. Lembaga ini dapat berfokus pada
pengawasan proyek strategis dan pengadaan barang atau jasa dengan menggunakan
teknologi seperti blockchain dan Artificial Intelligence (AI) untuk
mendeteksi adanya korupsi dan penyimpangan. Selain itu, kerja sama dengan
Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga sangat
penting agar pengawasan bisa lebih luas. Transparansi juga harus ditingkatkan,
misalnya dengan mempublikasikan hasil audit dan menyediakan sistem pelaporan
yang aman bagi siapa saja yang ingin mengungkap praktik korupsi. Dengan
pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas, diharapkan BUMN bisa dikelola
dengan lebih bersih dan efisien. Keuangan negara pun bisa terselamatkan,
sementara masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik tanpa terbebani
dengan harga yang terlalu tinggi.
0 Komentar