Oleh: Asarani
Akibat reformasi
pada tahun 1998, Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dalam berbagai
aspek, terutama dalam peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Reformasi tersebut mengarahkan TNI untuk lebih fokus pada fungsi pertahanan dan
keamanan negara serta mengurangi keterlibatan mereka dalam ranah sipil atau
pemerintahan, sebagai upaya untuk memperkuat demokrasi dan supremasi sipil.
Namun, seiring berjalannya waktu, tantangan keamanan yang dihadapi bangsa
indonesia semakin kompleks, mulai dari kejahatan siber, terorisme, hingga
bencana alam yang membutuhkan peran aktif militer dalam penanganannya. Oleh
karena itu, revisi atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia (TNI) adalah sebuah langkah strategis untuk mengharmonisasikan
peran militer dalam dinamika demokrasi saat ini.
Peranan TNI dalam
menghadapi ancaman non-tradisional seperti terorisme, bencana alam, dan
kejahatan lintas negara merupakan kebutuhan esensial bagi stabilitas nasional.
Dalam berbagai situasi, respons cepat, dan kapasitas logistik TNI terbukti
lebih efektif dibandingkan institusi sipil. Misalnya, dikutip dari detikNews
saat gempa bumi dan tsunami di Aceh pada tahun 2004, TNI berperan besar dalam
mengevakuasi korban, mendistribusikan bantuan logistik, dan membantu dalam
pemulihan infrastruktur, sesuai dengan tugas Operasi Militer Selain Perang
(OMSP) yang diamanatkan dalam Pasal 7 UU TNI. Selain itu, dikutip dari IDN Times dalam Operasi Tinombala di
Poso tahun 2016, TNI bersama Polri berhasil menumpas kelompok teroris Mujahidin
Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Santoso, yang menunjukkan sinergi
efektif dalam menghadapi ancaman terorisme yang mengganggu keamanan nasional.
Besarnya peranan
TNI dalam kasus-kasus tersebut, menegaskan urgensi dari revisi UU TNI yang
disahkan pada 20 Maret 2025 yang lalu. Dengan beberapa perubahan untuk
meningkatkan efektivitas dan fleksibilitas TNI dalam menghadapi tantangan
keamanan modern. Salah satunya perubahan dalam Pasal 7, yang menambah dua tugas
pokok dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yaitu membantu menanggulangi
ancaman siber dan melindungi kepentingan nasional serta menyelamatkan Warga
Negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Penambahan ini memungkinkan TNI untuk
berperan aktif dalam menghadapi serangan siber yang dapat mengancam stabilitas
nasional, mengingat meningkatnya ancaman di dunia maya terhadap infrastruktur
penting negara dan memberikan dasar hukum bagi TNI untuk terlibat dalam operasi
penyelamatan WNI di luar negeri serta perlindungan aset nasional di luar
negeri.
Selain itu, Pasal
47 juga direvisi guna memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh
prajurit TNI aktif, dari sebelumnya 10 menjadi 14 kementerian/lembaga, termasuk
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kejaksaan Agung. Tujuan dari perubahan
ini adalah memanfaatkan keahlian dan kedisiplinan yang dimiliki prajurit TNI
dalam posisi strategis guna meningkatkan koordinasi dan respons dalam
penanganan bencana serta penegakan hukum. Perubahan ini diharapkan dapat
memperkuat sinergi antara militer dan sipil dalam menjaga keamanan dan
stabilitas nasional. Namun, perlu dipastikan bahwa penempatan prajurit TNI
aktif dalam jabatan sipil tetap menghormati prinsip supremasi sipil dan
demokrasi.
Perubahan lainnya
mencakup penyesuaian batas usia pensiun prajurit yang diatur dalam Pasal 53.
Sebelum revisi, batas usia pensiun bagi bintara dan tamtama adalah 53 tahun,
sedangkan perwira hingga pangkat kolonel pensiun pada usia 58 tahun. Setelah
direvisi, batas usia pensiun diperpanjang menjadi 55 tahun untuk bintara dan
tamtama, 58 tahun untuk perwira hingga pangkat kolonel, 60 tahun untuk perwira
tinggi bintang satu, 61 tahun untuk perwira tinggi bintang dua, 62 tahun untuk
perwira tinggi bintang tiga, dan 63 tahun untuk perwira tinggi bintang empat,
dengan kemungkinan perpanjangan maksimal dua tahun sesuai kebutuhan yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Penyesuaian ini diharapkan dapat
memperkuat peran TNI dalam menjaga kedaulatan negara, sambil tetap mematuhi
prinsip supremasi sipil dan nilai-nilai demokrasi.
Meskipun revisi UU
TNI bertujuan memperkuat peran TNI dalam menghadapi tantangan keamanan modern,
penting untuk memastikan bahwa implementasinya tetap berada di bawah kendali
supremasi sipil dengan mekanisme pengawasan yang ketat. Supremasi sipil menegaskan
bahwa otoritas sipil memiliki kendali penuh atas institusi militer, sebuah
prinsip fundamental dalam sistem demokrasi. Perluasan peran TNI dalam ranah
sipil, seperti yang diatur dalam revisi ini, menimbulkan kekhawatiran akan
potensi kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan, yang dapat mengancam
nilai-nilai demokrasi yang telah dibangun pasca-Reformasi 1998. Oleh karena
itu, diperlukan mekanisme pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa
keterlibatan TNI dalam jabatan sipil tidak merusak batas antara fungsi militer
dan sipil.
Agar revisi UU TNI
tetap selaras dengan prinsip demokrasi, diperlukan langkah-langkah strategis
dalam implementasinya. Pertama, pemerintah harus memperjelas batasan dan
mekanisme kontrol terhadap keterlibatan TNI dalam jabatan sipil untuk mencegah
tumpang tindih kewenangan antara aparat militer dengan aparat sipil. Kedua,
pengetatan pengawasan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai badan
legislatif negara, Ombudsman, dan masyarakat sipil diperlukan guna memastikan
transparansi dan akuntabilitas dari jalannya revisi ini. Ketiga, reformasi
internal TNI harus terus dilakukan agar profesionalisme tetap terjaga, termasuk
pelatihan yang menekankan netralitas politik dan supremasi sipil. Dengan
langkah-langkah ini, revisi UU TNI dapat berjalan efektif tanpa mengancam
prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
0 Komentar