KEKERASAN TERHADAP JURNALIS : ANCAMAN NYATA BAGI KEBEBASAN PERS DI INDONESIA


Kebebasan pers merupakan komponen fundamental dalam sistem demokrasi dan pemerintahan yang transparan. Namun, dalam praktiknya, jurnalis kerap menghadapi berbagai bentuk kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi saat menjalankan tugas peliputan. Situasi ini tidak hanya mengancam keselamatan individu jurnalis, tetapi juga merusak prinsip-prinsip dasar kebebasan berekspresi dan hak publik atas informasi yang objektif. Ancaman terhadap jurnalis mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap profesi ini, serta menunjukkan adanya tantangan serius dalam menegakkan kebebasan pers secara utuh.

Dalam kurun waktu tiga bulan pertama tahun 2025, sedikitnya terdapat enam insiden serius yang melibatkan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis di Indonesia. Menurut Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Halimah Humayrah Tuanaya rangkaian kejadian itu tidak bisa dianggap sepele karena merupakan ancaman serius terhadap kebebasan pers yang merupakan salah satu pondasi demokrasi.

Kasus Ancaman dan Kekerasan Terhadap Jurnalis

Rangkaian kekerasan terhadap jurnalis mulai mencuat pada 27 Februari 2025, ketika Adhyasta Dirgantara, jurnalis Kompas.com, menerima ancaman langsung dari ajudan Panglima TNI. Insiden ini menjadi titik awal meningkatnya kekhawatiran terhadap keselamatan jurnalis di Indonesia. Selanjutnya, pada 19 Maret 2025, Francisca Christy Rosana dari Tempo menjadi korban teror setelah menerima kiriman kepala babi di kediamannya. Tiga hari kemudian, ancaman berlanjut dengan pengiriman bangkai tikus. Pada hari yang sama, terjadi kasus paling serius, yaitu dugaan pembunuhan atau femisida terhadap jurnalis perempuan berinisial J, yang diduga dilakukan oleh anggota TNI Angkatan Laut. Peristiwa ini semakin menegaskan adanya ancaman nyata terhadap jurnalis. Beberapa pekan kemudian, pada 4 April 2025, jurnalis berinisial SW ditemukan meninggal dunia di Hotel D’Paragon, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dalam kondisi yang masih dalam penyelidikan. Keesokan harinya, 5 April, kekerasan kembali terjadi dalam bentuk pemukulan dan pengancaman terhadap sejumlah jurnalis oleh ajudan Kapolri saat peliputan di Semarang.

Perlindungan Hukum Bagi Para Jurnalis

Di Indonesia, kebebasan pers dan perlindungan hukum bagi jurnalis telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Beberapa landasan hukum utama yang menjamin hal ini antara lain:

1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

Pasal 28F UUD 1945 menggarisbawahi hak setiap individu untuk berkomunikasi, mendapatkan, dan menyebarkan informasi melalui berbagai media, termasuk media massa. Jaminan ini tidak hanya mencakup kebebasan berpendapat dan berekspresi, tetapi juga merupakan dasar konstitusional untuk kebebasan pers di Indonesia.

2.      Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ( UU Pers)

Undang-undang ini menjadi regulasi utama yang menjamin kemerdekaan pers di Indonesia. Dalam Pasal 4, dijelaskan bahwa pers bebas dari intervensi dan tekanan dari pihak manapun serta memiliki hak untuk mencari, mendapatkan, dan menyebarkan informasi. Pasal 5 menegaskan peran pers sebagai kontrol sosial dan penyampai informasi yang mengutamakan kepentingan publik, sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi jurnalis dalam menjalankan tugas profesional mereka. Terkait dengan tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis. Pasal 18 UU Pers menetapkan bahwa siapapun yang menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenai sanksi pidana, baik denda maupun penjara, sehingga menegaskan perlindungan hukum bagi jurnalis dalam melaksanakan tugas peliputan.

3.      Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor I1 Tahun 2oo8 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

UU ITE memberikan jaminan perlindungan hukum di ruang digital, termasuk bagi jurnalis yang beroperasi di media daring. Meskipun Pasal 27 melarang penyebaran informasi yang mencemarkan nama baik, jurnalis yang bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik tidak bisa dikenakan sanksi pidana berdasarkan ketentuan tersebut.

4.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang ini mengakui kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Meskipun tidak secara spesifik mengatur mengenai profesi jurnalis, ketentuan ini semakin memperkuat posisi kebebasan pers dalam kerangka hak asasi yang dijamin oleh negara.

 

Kesimpulan

Tindakan Kekerasan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran berat yang harus direspons melalui penegakan hukum yang tegas. Pelaku dapat dikenai sanksi pidana, perdata, maupun bentuk perlindungan hukum khusus. Namun, keberhasilan penanganan kasus semacam ini sangat bergantung pada efektivitas aparat penegak hukum dan dukungan dari berbagai pihak. Negara memiliki kewajiban untuk memperkuat sistem hukum dan memastikan bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap jurnalis ditindak secara adil dan tidak dibiarkan tanpa konsekuensi hukum.


Referensi :

Haipon, dkk. (2024). Konsekuensi Hukum bagi Pelaku Kekerasan terhadap Jurnalis. Jurnal Kolaboratif Sains.  Vol 7 (8).

Dwi Jayanti, H. 2025. 6 Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis, Ancaman Serius Kebebasan Pers. 6 Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis, Ancaman Serius Kebebasan Pers .Diakses pada 10 April 2025

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar