MENGGUGAT REVISI UU TNI: INKONSTITUSIONALITAS PEMBERIAN PERAN NON-PERTAHANAN KEPADA MILITER


Oleh: Reihan Resky Ananda

Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang digulirkan pemerintah dan DPR RI menuai polemik tajam karena dinilai membuka ruang bagi ekspansi peran militer ke wilayah sipil. Rancangan revisi yang dibahas oleh Komisi I DPR ini antara lain mengusung perluasan tugas TNI, termasuk dalam pembangunan infrastruktur, penanganan bencana, hingga pemberdayaan wilayah perbatasan—domain yang seharusnya menjadi tanggung jawab kementerian dan lembaga sipil. Yang lebih mengkhawatirkan, draf revisi juga memuat pasal-pasal yang dapat melegitimasi keterlibatan TNI dalam "mengamankan pembangunan nasional" dan "mendukung pemerintahan", suatu frasa multitafsir yang berpotensi disalahgunakan untuk intervensi militer dalam urusan politik dan administrasi publik.

Proses pembahasan revisi ini juga diwarnai ketergesaan dan minim transparansi. Meski menyangkut hajat hidup demokrasi, pembahasan dilakukan secara tertutup dengan keterlibatan publik yang sangat terbatas. Padahal, menurut Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, proses revisi Undang-Undang seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna. Ironisnya, justru ketika kritik dari kalangan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan mantan pejabat militer semakin menguat, pembahasan malah dipacu untuk segera diselesaikan—bahkan berpotensi masuk Prolegnas Prioritas 2024. Sikap tergesa-gesa ini mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam mengubah undang-undang yang menyangkut hubungan sipil-militer, sebuah isu konstitusional yang sangat fundamental.

Demokrasi Indonesia menghadapi ujian berat dengan adanya rancangan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ini yang membuka jalan bagi perluasan peran militer ke ranah sipil. Wacana yang digulirkan ini bukan sekadar perubahan administratif belaka, melainkan sebuah ancaman serius terhadap konstitusi dan prinsip supremasi sipil yang menjadi fondasi negara hukum. Jika diteruskan, revisi ini akan menjadi bumerang bagi demokrasi kita, mengembalikan Indonesia ke era kelam dimana garis pemisah antara militer dan sipil samar-samar.

Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas dan limitatif membatasi peran TNI pada fungsi pertahanan negara. Ayat (2) menyatakan dengan jelas bahwa "Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia". Pembagian peran ini dipertegas dalam ayat (4) yang menempatkan Polri sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban masyarakat. Tidak ada satu pun pasal dalam konstitusi kita yang memberikan mandat kepada TNI untuk terjun ke urusan-urusan sipil ini sejalan dengan teori pemisahan peran militer dan sipil (civil-military relations) yang dikembangkan oleh Samuel Huntington dalam bukunya "The Soldier and The State" (1957) juga menegaskan bahwa profesionalisme militer yang sesungguhnya justru terletak pada fokusnya yang ketat pada bidang pertahanan.

Prinsip supremasi sipil sebagai pilar demokrasi modern mensyaratkan adanya kontrol penuh pemerintahan sipil atas militer. Namun, perluasan peran TNI ke wilayah sipil akan menciptakan dualisme kebijakan yang berbahaya. Bayangkan saja ketika sebuah proyek infrastruktur bisa dijalankan baik oleh Kementerian PUPR maupun TNI - siapa yang akan bertanggung jawab? Lebih buruk lagi, militer tidak sepenuhnya tunduk pada mekanisme pengawasan sipil seperti DPR atau BPK, sehingga berpotensi menciptakan wilayah-wilayah abu-abu dalam akuntabilitas pemerintahan.

Kasus-kasus konkret sudah menunjukkan betapa berbahayanya perluasan peran militer ini. Data dari laman website resmi TNI tahun 2016 sampai tahun 2023 saja, TNI telah terlibat dalam 17 proyek infrastruktur dengan anggaran mencapai Rp1,2 triliun, sebuah angka yang tidak kecil untuk aktivitas di luar tugas pokok mereka. Padahal, urusan pembangunan seharusnya menjadi domain Kementerian PUPR dan pemerintah daerah. Fakta ini menunjukkan bagaimana secara perlahan tapi pasti, militer sedang mengambil alih peran yang seharusnya dipegang oleh institusi sipil. Contoh lain yang patut menjadi perhatian adalah keterlibatan TNI dalam penanganan bencana yang cenderung ingin dilembagakan secara permanen melalui revisi ini. Padahal, kita sudah memiliki BNPB yang secara khusus dibentuk untuk menangani urusan tersebut. Jika ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan proses militerisasi birokrasi secara sistematis.

Dari perspektif hukum tata negara, perluasan peran TNI ini jelas melanggar prinsip spesialitas (speciality principle) dalam teori pembatasan kekuasaan. Menurut A.V. Dicey dalam "Introduction to the Study of the Law of the Constitution", setiap lembaga negara harus memiliki domain kewenangan yang jelas dan terbatas. Perluasan peran TNI ke bidang sipil akan menciptakan tumpang tindih kewenangan yang berbahaya bagi checks and balances dalam sistem ketatanegaraan kita. Lebih jauh, hal ini bertentangan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang secara eksplisit membatasi peran TNI pada bidang pertahanan.

Pemerintah berdalih bahwa revisi ini diperlukan untuk menciptakan efisiensi birokrasi dan memperkuat ketahanan nasional. Namun argumentasi  ini sama sekali tidak di dukung dengan data atau logika pengambilan kebijakan yang kuat. Masalah inefisiensi birokrasi harus diselesaikan dengan memperbaiki kinerja kementerian sipil, bukan dengan mengalihkan tugas-tugas mereka kepada militer. Demikian pula dengan ketahanan nasional, yang justru akan terancam jika terjadi pengaburan peran antara sipil dan militer. Kita tidak perlu melihat jauh-jauh untuk memahami bahaya dari perluasan peran militer ini. Myanmar memberikan pelajaran berharga bagaimana militer bisa menggunakan celah hukum untuk mengambil alih kekuasaan sipil. Meskipun konteks Indonesia berbeda, sejarah Orde Baru sudah cukup membuktikan betapa berbahayanya militer yang terlalu jauh masuk ke ranah sipil.

Solusi konkret yang harus segera dilakukan adalah pembentukan tim independen yang terdiri dari pakar hukum tata negara, perwakilan masyarakat sipil, dan lembaga-lembaga demokratis untuk mengkaji ulang secara komprehensif rancangan revisi Undang-Undang TNI ini. Tim ini harus diberikan kewenangan yang jelas dan mengikat secara hukum, termasuk: (1) hak mengakses seluruh dokumen terkait revisi Undang-Undang TNI, termasuk naskah akademik dan draft revisi; (2) kewenangan memanggil dan meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, baik dari kalangan pemerintah, TNI, maupun ahli independen; (3) otoritas untuk merekomendasikan penghentian pembahasan pasal-pasal bermasalah yang mengancam supremasi sipil; serta (4) hak menyampaikan pendapat resmi yang harus dipertimbangkan dalam proses legislasi di DPR. Keberadaan tim ini harus dijamin melalui peraturan atau mekanisme formal agar rekomendasinya memiliki kekuatan hukum dan tidak diabaikan begitu saja oleh pembuat kebijakan. Selain itu, DPR harus membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya dalam pembahasan revisi ini, bukan justru mengesampingkan suara-suara kritis yang mempertanyakan dampaknya terhadap demokrasi.

Pada akhirnya, kita harus tegas menyatakan bahwa revisi Undang-Undang TNI dalam bentuk yang sekarang ini tidak bisa diterima. Negara demokrasi membutuhkan militer yang profesional di bidang pertahanan, bukan tentara yang merangkap sebagai birokrat atau politisi. Jika revisi ini dipaksakan, maka kita sedang melakukan pembangkangan terhadap konstitusi dan mengkhianati reformasi yang sudah diperjuangkan dengan susah payah. Sudah waktunya kita belajar dari sejarah dan mengatakan cukup pada segala bentuk militerisasi kehidupan sipil. Demokrasi Indonesia terlalu berharga untuk dikorbankan demi kepentingan segelintir elite yang ingin melanggengkan kekuasaan dengan mengorbankan prinsip-prinsip dasar negara hukum.

Militer yang kuat bukanlah yang menguasai urusan sipil, tetapi yang patuh pada konstitusi.”

 

Posting Komentar

0 Komentar