POLEMIK PERATURAN KEPOLISIAN NO. 3 TAHUN 2025 TENTANG PENGAWASAN FUNGSIONAL KEPOLISIAN TERHADAP ORANG ASING

Pada 10 Maret 2025, Kepolisian Republik Indonesia baru saja mengesahkan Peraturan Kepolisian No. 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian Terhadap Orang Asing. Hadirnya peraturan ini ditengah gejolak masyarakat yang kerap mengkritisasi kebijakan-kebijakan pemerintah semakin menaikkan gejolak yang ada. Kebijakan ini seperti memercikkan minyak pada api perlawanan masyarakat, berbagai kecaman dari berbagai kalangan menjadi tak terelakan. Lantas mengapa peraturan ini mendapat banyak protes dari masyarakat?

Jika melihat pada bagian Menimbang pada peraturan ini, latar belakang penerbitan peraturan ini adalah untuk menjaga kedaulatan negara atas wilayah Indonesia dan untuk memberikan perlindungan bagi orang asing di wilayah Indonesia, sehingga perlu dilakukannya peningkatan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing. Dijelaskan dalam peraturan itu bahwa pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan oleh Polri dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakkan hukum, memberikan perlindungan, pelayanan terhadap orang asing.

Pengawasan fungsional yang dilakukan oleh Polri memiliki tujuh tujuan utama yang bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi berbagai ancaman terhadap negara, masyarakat, dan individu. Pertama, Polri berupaya untuk menjaga keamanan dan keselamatan orang asing yang berada di Indonesia, baik itu wisatawan, diplomat, atau individu asing lainnya, dengan memastikan mereka tidak menjadi sasaran ancaman yang dapat merusak ketertiban dan hubungan internasional yang baik. Kedua, Polri juga bertugas untuk mencegah keterlibatan dalam kegiatan spionase, sabotase, dan propaganda yang dapat merusak pemerintahan Republik Indonesia, seperti penyadapan informasi penting, perusakan infrastruktur, atau penyebaran ideologi yang mengancam stabilitas negara.

Ketiga, Polri berfokus pada pengawasan terhadap individu atau kelompok yang terlibat dalam kegiatan politik yang dapat merugikan integritas negara dan mengguncang sistem pemerintahan yang sah. Keempat, Polri memiliki peran vital dalam mencegah keterlibatan dalam aktivitas radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, dengan tujuan melindungi negara dari ancaman yang dapat membahayakan keselamatan publik. Kelima, Polri berkomitmen untuk menanggulangi tindak pidana yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, guna memastikan penegakan hukum yang adil dan efektif. Keenam, Polri juga mengawasi kegiatan yang berpotensi membahayakan atau yang patut diduga akan berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum, serta mengambil langkah-langkah preventif untuk menghindari terjadinya gangguan. Ketujuh, Polri bertanggung jawab untuk mencegah kegiatan yang melanggar norma sosial, adat, dan/atau kearifan lokal, sehingga tercipta keharmonisan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.

Secara garis besar, peraturan ini mengatur terkait perizinan jurnalis asing yang melakukan peliputan di Indonesia. Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Poin b, pengawasan ini diwujudkan melalui penerbitan surat keterangan kepolisian sebagai bentuk pengendalian terhadap aktivitas jurnalistik dan penelitian yang dilakukan di lokasi tertentu. Selain itu, dalam Pasal 9 Ayat 3, dijelaskan bahwa aktivitas penelitian yang dilakukan oleh orang asing juga harus mendapatkan izin dari instansi kepolisian. Ketentuan ini menunjukkan bahwa selain aktivitas jurnalistik, penelitian yang melibatkan lokasi tertentu di Indonesia perlu diawasi guna menjaga kepentingan nasional, termasuk keamanan, kedaulatan, serta norma sosial yang berlaku di masyarakat. Dengan adanya regulasi ini, pemerintah dapat mengontrol kebebasan pers dan penelitian bagi orang asing sehingga semakin mengekang demokrasi di negara ini.

Kecemasan terhadap peraturan ini diungkapkan oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Mustafa Layong mengkritik soal permintaan surat keterangan kepolisian terhadap orang asing yang melakukan kegiatan jurnalistik dan penelitian pada lokasi tertentu. Menurutnya, Indonesia sebagai negara demokrasi harus menerapkan prinsip HAM universal. Prinsip ini semisal menjaga dan menjunjung tinggi kemerdekaan pers kepada setiap insan, termasuk mereka jurnalis asing. Adanya peraturan ini dapat dicurigai jika aturan ini dibuat untuk membatasi ruang dan gerak jurnalistik.

Selain itu, Pembentukan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025 menimbulkan perdebatan karena hanya merujuk pada Undang-Undang Kepolisian tanpa mempertimbangkan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Padahal, dalam regulasi yang berkaitan dengan pers, UU Pers seharusnya menjadi dasar utama, karena mengatur secara khusus mengenai kebebasan pers, hak-hak wartawan, serta mekanisme pengawasan terhadap kegiatan jurnalistik. Ketidakhadiran rujukan terhadap UU Pers dalam Perpol ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih aturan dan berisiko membatasi kebebasan pers yang telah dijamin dalam undang-undang. Selain itu, kebijakan ini juga bisa menimbulkan kekhawatiran di kalangan jurnalis, terutama terkait independensi mereka dalam melaksanakan tugas tanpa adanya intervensi yang berlebihan dari pihak kepolisian. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi terhadap regulasi ini agar selaras dengan prinsip kebebasan pers yang diatur dalam UU Pers, sekaligus tetap menjaga aspek keamanan dan ketertiban yang menjadi kewenangan kepolisian

Penerapan Peraturan Kepolisian (Perpol) ini berpotensi menimbulkan persepsi negatif di mata masyarakat internasional, terutama dalam hal kebebasan informasi. Jika aturan ini diterapkan secara ketat tanpa mempertimbangkan prinsip transparansi dan kebebasan pers, Indonesia dapat dianggap sebagai negara yang kurang terbuka terhadap akses informasi, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi yang dijunjung tinggi di tingkat global. Selain itu, kewajiban penerbitan izin bagi jurnalis dan peneliti asing dapat berdampak pada pembatasan aktivitas jurnalistik di wilayah tertentu. Hal ini berisiko menghambat peliputan berita yang berkaitan dengan isu-isu penting, terutama yang menyangkut kepentingan publik. Lebih jauh, kebijakan ini juga dapat menghilangkan peran media dalam melakukan pengawasan serta kritik terhadap kebijakan pemerintah yang kontroversial. Jika akses jurnalis terhadap informasi dibatasi, maka transparansi dalam pemerintahan dapat terganggu, yang pada akhirnya berpotensi melemahkan kontrol sosial terhadap penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam agar tidak bertentangan dengan prinsip kebebasan pers dan hak publik untuk memperoleh informasi.


Posting Komentar

0 Komentar